Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga
Setibanya di rumah, suasana hangat langsung menyelimuti kediaman sederhana itu. Rayan dengan sigap melepas sepatunya dan segera bergegas ke dapur, bersiap untuk membuat makan malam. Sementara itu, Zeline, putri kecilnya yang sudah mandiri, berlari kecil menuju kamarnya. Dengan lincah, Zeline membuka lemari, mengambil pakaian ganti, dan mengenakannya sendiri tanpa bantuan. Gadis kecil itu selalu bangga karena bisa mengurus dirinya sendiri, meski baru berusia beberapa tahun.
Setelah selesai mengganti bajunya, Zeline kembali ke dapur, di mana aroma sedap mulai tercium. Dia duduk di kursi tinggi yang ada di sudut meja, dengan mata bulatnya yang besar memperhatikan setiap gerakan ayahnya. Rayan sedang sibuk di depan kompor, mengaduk-aduk bahan-bahan dengan penuh konsentrasi, seolah berusaha menciptakan sesuatu yang istimewa malam ini.
Zeline tersenyum “ ayah masak apa ?” tanyanya dengan penasaran.
Rayan menoleh dan tersenyum hangat pada putrinya "Makanan kesukaan adek " jawabnya lembut. Namun, di balik senyum itu, ada rasa rindu yang tak tertahan.
Malam ini, Rayan memutuskan untuk memasak makanan kesukaan rai makanan yang selalu ia buat ketika rai masih ada di sampingnya. Masakan itu juga, kebetulan, adalah favorit zeline. Setiap kali ia memasaknya, kenangan tentang rai kembali memenuhi benaknya. Rayan sering kali merasa seperti ia sedang memasak untuk rai, seolah istri yang sangat ia cintai masih duduk di meja makan, tersenyum dan menemaninya.
“Wangi sekali !” seru zeline penuh antusias.
Rayan tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih sendu. “Iya, ini makanan kesukaan bunda adek juga ” ucapnya pelan, namun cukup jelas untuk didengar zeline.
Zeline menatap ayahnya sejenak. Meskipun ia masih kecil, Zeline tahu ada sesuatu yang berbeda setiap kali ayahnya memasak makanan ini. Dia tidak tahu persis apa yang terjadi pada ibunya, tapi dia bisa merasakan bahwa ayahnya selalu terlihat lebih tenang namun penuh haru setiap kali menyebut nama ' bunda.'
Ketika makanan akhirnya tersaji di meja, Zeline tersenyum lebar. " Adek suka ini ayah!" katanya sambil mengambil sendoknya dengan semangat. Rayan duduk di hadapan putrinya, melihat betapa miripnya zeline dengan rai, baik dari segi wajah maupun selera. Sambil menyantap makanannya, Rayan menatap zeline dengan penuh cinta, sambil terus mengingat sosok rai yang selalu hidup di hatinya.
Malam itu, meskipun kesunyian melingkupi mereka, ada rasa hangat yang memenuhi hati rayan dan zeline sebuah perasaan yang muncul dari cinta yang tak pernah pudar, meskipun mereka telah kehilangan seseorang yang sangat berarti.
Di tempat lain, seseorang yang dirindukan tengah duduk di atas ranjang kamarnya, terdiam dalam kesepian. Rai menunduk, menghapus air matanya yang terus jatuh setiap kali ia harus memompa asi. Perasaan campur aduk memenuhi benaknya, bingung, terluka, dan terjebak dalam sebuah kenyataan yang sulit dipahami. Bagaimana mungkin, setelah tiga tahun berlalu, asinya masih mengalir deras? Setiap kali ia memompa, rasa sakit fisik dan emosional itu semakin dalam, seolah tubuhnya tidak mampu menerima bahwa bayi yang seharusnya ia susui tidak ada di sisinya.
Rai menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang kian memuncak di tenggorokannya. Tangannya yang lemah bergetar saat ia berusaha menenangkan diri, tapi bayangan anak dan suaminya terus menghantuinya. Mereka seolah hadir dalam setiap tetes asi yang mengalir mengingatkannya pada kehilangan yang tak pernah bisa ia terima sepenuhnya.
Dina, manajernya, ikut terjaga di ruangan sebelah. Mendengar isakan halus rai, Dina bangkit dari tidurnya dan berjalan pelan menuju kamar rai. Tanpa berkata-kata, Dina hanya berdiri di ambang pintu, menyaksikan bagaimana begitu hancurnya rai. Dina merasa tak berdaya. Ia selalu mencoba menguatkan rai, mengatakan bahwa hidup harus terus berjalan. Tapi malam ini, ia pun bingung harus berkata apa.
“Rai, kamu nggak apa-apa?” suara Dina lirih, memecah kesunyian kamar.
Rai mengangkat kepalanya, tersenyum lemah sambil menyeka air matanya dengan cepat. "Aku nggak apa-apa, kak dina. Cuma... setiap kali pumping, rasanya aneh. Kenapa sampai sekarang asiku masih keluar? Seharusnya kan... semua sudah berakhir."
Dina mendekat, duduk di tepi ranjang. "Mungkin tubuh kamu belum bisa melupakan mereka, sama seperti hatimu. Tapi ingat, besok kamu ada pemotretan. Kamu harus kuat untuk itu. Kamu bisa rai."
Rai mengangguk pelan, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. Malam itu, meskipun dina berada di sana untuknya, keheningan yang menyelimuti tetap tak bisa menghapus rasa rindu dan sakit yang menghantui setiap detik hidupnya. Rai tahu, meski ia berusaha bangkit dan menatap masa depan, ada bagian dari dirinya yang masih hidup di masa lalu bersama suami dan anak yang direnggut darinya.
Malam itu, meski jarak memisahkan mereka, hati rayan dan rai saling terhubung dalam kerinduan yang mendalam. Di kota yang berbeda, di bawah langit yang sama, keduanya terjaga, tenggelam dalam pikiran dan perasaan yang tak terucapkan.
Rayan duduk di kamar, mengusap lembut rambut zeline, gadis kecil yang begitu berharga baginya. Zeline sudah tertidur pulas, wajahnya tenang seperti malaikat kecil yang tak tahu apa-apa tentang luka dan kehilangan yang pernah menimpa keluarganya. Di dalam hati rayan, ada campuran kebahagiaan dan kesedihan. Bahagia karena ia masih memiliki zeline, tapi juga dihantui oleh kerinduan pada rai, sosok yang selalu ada di hatinya, meski kini tak lagi bersama.
Rayan menatap wajah zeline yang mirip sekali dengan ibunya. Setiap kali melihat gadis kecil itu, bayangan Rai selalu hadir. "Semoga kamu baik-baik saja di mana pun kamu berada rai " bisik rayan dalam hati, matanya mulai berat, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh kenangan masa lalu.
Di sisi lain, Rai terbaring di atas ranjang, tubuhnya terasa dingin dan hatinya kosong. Matanya menatap langit-langit kamar yang gelap, tetapi pikirannya melayang jauh. Air mata mengalir perlahan di sudut matanya, membasahi bantal. Setiap helaan napasnya berat, seperti ada beban tak terlihat yang menghimpit jiwanya.
Ia memikirkan rayan, suaminya, dan anak mereka yang kini tak ada di sisinya. Segala yang ia rasakan adalah rasa sakit yang tak berkesudahan, rasa kehilangan yang menyesakkan dadanya. Meski dunia seakan terus berjalan di sekelilingnya, Rai terjebak dalam ingatan, dalam harapan yang terus ia bisikkan dalam doa.
"Jika saja keajaiban itu ada, aku hanya ingin bisa melihat mereka lagi, meski hanya sekali..."
Malam itu, tanpa saling tahu, Rayan dan Rai sama-sama terjaga, tenggelam dalam kerinduan yang tak terucapkan, berharap pada keajaiban yang entah kapan akan datang. Meski dipisahkan oleh jarak dan takdir yang kejam, hati mereka tetap merindu, terikat oleh cinta yang tak akan pernah pudar.
-
-
Hari ini, kehidupan terus berjalan seperti biasa bagi rayan dan rai, meski hati mereka masih diliputi oleh rasa rindu yang mendalam. Pagi yang cerah, namun terasa berat, menyapa mereka berdua di tempat yang berbeda.
Di satu sisi, Rai sedang bersiap-siap di depan cermin. Pagi menjelang siang, ia akan menjalani pemotretan untuk sebuah brand besar, ditemani oleh dina yang setia berada di sampingnya. Rai menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dan siap memulai harinya. Meskipun terlihat tenang di luar, hatinya masih penuh dengan kerinduan yang tak terungkap. Dina, yang selalu memahami perasaan rai, menepuk bahunya dengan lembut, memberikan dukungan dan semangat yang dibutuhkan Rai.
“Kau bisa rai. Semuanya akan baik-baik saja ” ucap dina dengan senyuman kecil. Rai membalas senyuman itu, berusaha menyingkirkan segala bebannya untuk sementara.
Sementara itu, di rumah yang berbeda, Rayan memutuskan untuk mengambil libur dari tokonya hari ini. Sebuah keputusan yang jarang ia ambil, namun ada alasan khusus. hari ini, bidan rahma, wanita yang pernah berjasa besar dalam hidupnya, akan datang berkunjung bersama suami dan anaknya yang masih berusia satu tahun. Rahma adalah sosok yang selalu ia hormati, seorang bidan yang tidak hanya membantu saat kelahiran zeline, tetapi juga menjadi penyokong moral rayan dalam menghadapi segala tantangan sebagai ayah tunggal.
Setelah memutuskan untuk tidak hadir di toko, Rayan menyiapkan segala sesuatu di rumah. Ia menanti kedatangan rahma dengan penuh syukur. Zeline yang selalu ceria pun ikut bersiap-siap menyambut tamu istimewa mereka. “Hari ini kita akan bertemu Tante Rahma sayang” ucap rayan lembut pada zeline, yang dengan cepat mengangguk sambil tersenyum. Meskipun zeline masih kecil, ia selalu merasakan kasih sayang yang besar dari orang-orang di sekelilingnya.
Tak lama kemudian, Rahma datang bersama suami dan anaknya. Mereka membawa suasana hangat ke dalam rumah rayan, dan kedatangan mereka menjadi momen yang begitu berharga. Rahma tersenyum melihat zeline, memuji betapa cantik dan cerdas gadis kecil itu tumbuh. Mereka duduk di ruang tamu, berbicara sambil sesekali terdengar tawa ringan dari rahma dan suaminya. Di tengah kesibukannya sebagai ayah tunggal, momen seperti ini menjadi pelipur lara bagi Rayan.
Hari itu berjalan dengan damai bagi mereka masing-masing, Rayan di rumah bersama tamunya dan zeline, serta rai di lokasi pemotretan dengan dina yang selalu mendukungnya. Meski takdir memisahkan mereka, masing-masing masih mencari cara untuk bertahan dan melanjutkan hidup mereka. Tanpa mereka sadari, harapan untuk bertemu kembali suatu hari nanti terus hidup di dalam hati mereka.
Di ruang tamu yang sederhana namun hangat, Tio, suami rahma, berbicara dengan lembut pada zeline yang sedang bermain di dekat mereka. “Ikut sama om yuk pulang, nanti kakak zeline bisa main sama adik nesya di rumah ” katanya sambil tersenyum ramah. Zeline menatap tio dengan mata penuh rasa penasaran, seolah mempertimbangkan ajakan tersebut.
Sementara itu, Rahma dan rayan saling bertukar pandang. Mereka berdua tahu bahwa ada lebih dari sekadar ajakan bermain di balik kata-kata Tio. Tio kemudian mengalihkan pandangannya ke Rayan, suaranya sedikit lebih serius ketika berkata,
“Bolehkah aku ajak zeline pulang ke rumah? Sudah tiga tahun, Rayan. Sampai kapan zeline tidak bertemu dengan ibunya?” Tio menatapnya penuh harap, berharap rayan akan mengerti maksudnya.
Rayan menghela napas panjang, rasa berat dan beban yang ia pikul selama ini terasa semakin menyesakkan dadanya. Ia menunduk, menggeleng pelan. Di hatinya, rasa takut dan kebingungan masih terus bergulat, seolah tidak ada jalan keluar dari dilema yang dihadapinya. Bagaimana mungkin ia bisa membiarkan zeline bertemu dengan ibunya setelah apa yang terjadi? Setelah semua ancaman yang ia terima dari keluarga rai.
Rahma, yang duduk di sebelah tio, meletakkan tangan lembutnya di bahu suaminya. Ia memahami rasa cemas yang tersirat di wajah rayan, dan ia pun tahu betapa pentingnya keputusan ini. Tio menoleh ke istrinya, kemudian kembali menatap rayan. Dengan suara yang tegas namun penuh kasih, Tio berkata, “Jangan takut, Rayan. Kau tidak sendirian. Kami ada di sini untukmu. Aku dan Rahma, kami adalah keluargamu.”
Ucapan Tio menggema di ruangan itu. Sebuah janji yang membawa sedikit harapan di tengah ketakutan yang menghantui rayan selama bertahun-tahun. rahma selalu menganggap Rayan dan Rai seperti saudaranya sendiri. Itu sebabnya Rahma tidak pernah ragu untuk berbagi cerita tentang Rayan kepada suaminya, karena dirinya merasa terikat oleh kasih sayang dan rasa tanggung jawab yang kuat terhadap keluarga kecil ini.
Namun, meskipun begitu, hati Rayan masih penuh dengan keraguan. Sejenak ia menatap zeline, yang tampak tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sekelilingnya, dan hatinya semakin hancur. “Aku takut bang tio, kak rahma ” gumam rayan pelan, hampir tak terdengar.
“Aku takut apa yang terjadi dulu akan terulang. Aku tidak bisa membiarkan zeline mengalami hal yang sama…”
Rahma dan tio saling pandang, keduanya merasakan beban berat yang harus dihadapi rayan. Mereka tahu bahwa ini bukan keputusan yang mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa pertemuan antara zeline dan rai mungkin menjadi satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka yang masih menganga di hati rayan.
Dalam keheningan yang penuh beban, tiba-tiba tio membuka mulut dengan nada tenang, namun penuh keyakinan. “Rayan, Rai sekarang seorang superstar,” katanya pelan tapi jelas. Rayan mendongak, kaget dan tak percaya. Di wajahnya, tergambar campuran antara haru dan kebanggaan yang mendalam. Kata-kata tio menggema di pikirannya, seolah menghidupkan kembali harapan yang lama terkubur.
“Apa?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya mulai basah. Airmata perlahan mengalir di pipinya, tak mampu menahan perasaan yang datang begitu cepat. “Benarkah?”
Tio mengangguk dengan lembut, sementara rahma menatap penuh empati. Rayan terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Di tengah kesibukannya menjalankan toko, merawat zeline, dan berjuang untuk kehidupan baru mereka, ia tak pernah mendengar kabar tentang rai. Tak ada waktu baginya untuk mengikuti perkembangan dunia luar, apalagi mencari tahu tentang sosok yang begitu ia cintai.
Namun, mendengar bahwa rai sekarang dikenal banyak orang dan telah menjadi seorang bintang, hati rayan dipenuhi rasa syukur yang begitu dalam. Di balik semua rasa sakit dan pengorbanan yang telah ia lalui, kabar ini datang seperti hadiah yang tak terduga. “Rai ku,” gumamnya dalam hati, senyum kecil terbentuk di bibirnya di antara linangan air mata.
“Dia berhasil... Dia telah menjadi seseorang yang hebat.”
Rayan menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis bahagia. Di satu sisi, ada perasaan bangga yang luar biasa karena sosok yang dulu ia cintai kini telah mencapai puncak kesuksesan. Tapi di sisi lain, ada luka yang belum sembuh kenangan masa lalu dan perpisahan yang terpaksa mereka jalani.
“Dia pasti sangat kuat ” lanjut Tio, suaranya penuh penghargaan.
“Rai telah melalui banyak hal, tapi dia tidak menyerah. Dia berdiri tegak, dan sekarang dunia mengenalnya.”
Rayan hanya bisa mengangguk sambil menyeka air matanya. Dia merasa hangat dan bahagia, walaupun masih ada perih di hatinya. Setidaknya, dia tahu bahwa rai baik-baik saja, bahkan lebih dari itu dia telah menjadi bintang di langit yang dulu mereka impikan bersama.
" Selesai " ucap fotografer, menandakan akhir dari pemotretan. Rai menghela napas lega, rasa lelah bercampur dengan kepuasan karena pekerjaannya akhirnya selesai. Dina, yang selalu mendampingi dengan setia, menghampiri sambil membawa botol minum. Mereka berdua lalu duduk di bangku yang telah disediakan di pinggir lokasi, mengistirahatkan tubuh sejenak sebelum kembali pulang.
Di dekat mereka, terdengar suara tawa riang anak-anak yang bermain, suara yang memecah keheningan siang itu. Rai, sambil meneguk air yang diberikan dina, menatap mereka dengan senyum tipis di wajahnya. Matanya berbinar, namun di balik senyum itu tersimpan kesedihan yang hanya bisa dia rasakan. Dalam hati, Rai membayangkan andai saja anaknya masih hidup mungkin dia bisa mendengar suara tawa anaknya yang sama riangnya dengan anak-anak yang sedang bermain itu. Mungkin dia akan berlari bersama mereka, tertawa, dan memeluknya.
Namun kenyataannya berbeda. Kenangan pahit dan rasa kehilangan yang mendalam masih membayangi hidupnya, meski sudah tiga tahun berlalu. Hatinya terasa perih setiap kali ia memikirkan anaknya yang tak pernah sempat ia gendong, tak pernah sempat ia dengar tawa bahagianya.
Dina, yang duduk di samping rai, seolah memahami pikirannya. Dia tak berkata apa-apa, hanya memberikan ruang bagi rai untuk menikmati momen kebahagiaannya yang singkat. Dina tahu, betapa sulit bagi rai untuk merasakan sedikit kebahagiaan di tengah-tengah kesedihannya. Jadi dia memilih diam, membiarkan rai menikmati pemandangan anak-anak yang berlarian dengan riang, walau hanya sejenak.
"Yuk, Rai, kita pulang " kata dina dengan lembut, menepuk bahu rai pelan. Rai mengangguk pelan, menghela napas lagi, mencoba menyingkirkan kesedihan yang muncul. Dengan langkah perlahan, mereka berdua beranjak dari bangku, siap kembali ke dunia nyata, meninggalkan sepotong mimpi yang tak pernah bisa terwujud.
"Bagaimana rayan?" tanya tio sekali lagi, Rayan menoleh, menghela napas panjang sebelum menggeleng pelan.
"Tidak bang. Zeline di sini saja. Lagipula, aku tak ingin menyusahkan kalian. Kalian sudah sangat banyak membantuku " jawab rayan dengan nada tulus, meski ada beban yang terasa berat di dalam hatinya.
Tio mengangguk, menerima jawaban itu tanpa paksaan. "Ya sudah, tidak apa-apa. Tapi jika rai ada acara, bolehkah aku membawa zeline menonton? Agar zeline bisa melihat ibunya meskipun ia belum tahu siapa ibunya. Setidaknya, mereka sudah pernah bertemu walau belum saling kenal " ucap Tio lagi, nada suaranya penuh harapan. Rahma, yang duduk di samping suaminya, mengangguk setuju atas usul tersebut, matanya penuh perhatian pada rayan.
Rayan terdiam sejenak, tak langsung memberikan jawaban. Pikirannya melayang pada zeline yang sedang bermain dengan anak rahma dan tio, tertawa riang tanpa beban. Dia menatap gadis kecilnya itu dengan rasa sayang yang mendalam, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya perlahan.
"Baiklah... kalian boleh membawanya nanti " ucapnya pelan, menyerah pada kenyataan bahwa zeline mungkin perlu melihat ibunya, walaupun dalam situasi yang penuh dengan batas.
Namun kekhawatiran masih membayang di hatinya, membuatnya merasa gelisah. "Tapi... kuharap kalian hati-hati. Aku takut... takut kalau ibu rai melihat atau melukai zeline." Kalimat terakhir itu keluar dengan berat, cemas yang telah lama menghantui dirinya.
Tio dan rahma saling menatap sebelum menoleh kembali ke rayan. Serempak, mereka mengangguk, penuh kesungguhan. "Jangan khawatir rayan. Kami akan menjaga zeline seperti anak kami sendiri " kata Tio, suaranya penuh dengan keyakinan. Rahma menggenggam tangan rayan dengan lembut, menambah rasa tenang dalam suasana yang sempat menegang.
Rayan menarik napas dalam-dalam, sedikit merasa lebih lega. Dia tahu, meskipun takdirnya kini jauh dari rai, ada keluarga lain yang mendukung dan menjaga dirinya serta zeline.