Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Senyum bahagia terukir di wajah Amara. Tiga hari sudah ia resmi menjadi istri Mas Radit. Rasa bahagia bercampur haru masih terasa di hatinya. Namun, kebahagiaan itu terusik saat Mas Radit memberitahunya bahwa ia harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan.
"Mas harus pergi tiga hari, Amara," ucap Mas Radit, suaranya lembut. "Mas akan pulang secepatnya."
Amara mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Hati-hati di jalan, Mas," ucap Amara, suaranya bergetar.
Mas Radit mencium kening Amara dengan lembut. "Tenanglah, Amara. Mas akan baik-baik saja," ucap Mas Radit, berusaha menenangkan Amara.
Ia kemudian menyapa Dewi dan Yuna, kedua istri Mas Radit yang lain, dengan singkat. "Jaga diri baik-baik," ucap Mas Radit, lalu beranjak pergi.
Dewi dan Yuna tersenyum sinis melihat Mas Radit pergi. Mereka tak sabar untuk menyiksa Amara. Selama ini, Amara selalu menjadi sasaran empuk mereka. Mereka selalu menindas dan menghina Amara.
"Sekarang saatnya kita bersenang-senang, Yuna," ucap Dewi, matanya berbinar-binar penuh kelicikan.
"Benar, Dewi. Kita akan membuat Amara menderita," jawab Yuna, senyum jahat mengembang di bibirnya.
Amara hanya bisa pasrah. Ia tahu, Dewi dan Yuna akan menyiksanya selama Mas Radit pergi. Ia mencoba untuk bersikap tenang, meskipun hatinya dipenuhi rasa takut.
"Amara, kemari!" teriak Dewi, suaranya dingin.
Amara mendekat ke Dewi dengan langkah gemetar. Ia tahu, Dewi akan menyiksanya.
"Bersihkan kamar ini!" perintah Dewi, menunjuk ke kamarnya.
Amara mengangguk, lalu mulai membersihkan kamar Dewi. Ia bekerja dengan hati-hati, takut melakukan kesalahan.
"Lambat sekali kau!" bentak Dewi, menendang kaki Amara.
Amara terjatuh, tubuhnya terasa sakit. Ia menahan tangis, takut membuat Dewi semakin marah.
"Dasar pembantu!" ejek Yuna, tertawa mengejek Amara.
Amara hanya bisa terdiam, menahan sakit dan air mata. Ia merasa sangat kecil dan lemah di hadapan Dewi dan Yuna.
"Amara, kau harus belajar untuk patuh," ucap Dewi, matanya tajam menatap Amara.
"Iya, Dewi," jawab Amara, suaranya lirih.
Amara tahu, hidupnya akan semakin sulit selama Mas Radit pergi. Ia hanya bisa berharap, Mas Radit akan segera pulang dan menyelamatkannya dari siksaan Dewi dan Yuna.
*****
"Amara, ganti baju!" perintah Dewi, melemparkan sebuah daster lusuh ke arah Amara.
Amara terdiam, matanya menatap daster itu dengan jijik. Dulu, ia dikenal sebagai perempuan yang keras kepala dan mandiri. Namun, setelah menikah dengan Mas Radit, ia menjadi sangat culun dan penurut.
"Kenapa kau diam? Cepat ganti!" bentak Dewi, suaranya meninggi.
Amara gemetar, matanya berkaca-kaca. Ia takut menolak Dewi. Ia takut Dewi akan mencelakai ayahnya yang sedang sakit keras.
"Aku mohon, Dewi. Jangan sakiti ayahku," lirih Amara, suaranya bergetar.
"Kau mau ayahmu mati?" tanya Dewi, matanya tajam menatap Amara.
Amara terdiam, air matanya mengalir deras. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa sangat tertekan dan putus asa.
"Cepat ganti bajumu!" bentak Dewi, lalu pergi meninggalkan Amara.
Amara terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Ia merasa sangat terpuruk. Ia merindukan masa-masa ketika ia masih bebas dan mandiri.
"Mira, pulanglah!" ucap Amara, matanya berkaca-kaca.
Mira, adik Amara, yang selama ini tinggal bersamanya, menatap Amara dengan heran.
"Kenapa, Kak?" tanya Mira, suaranya lembut.
"Aku tidak mau kau melihat perlakuan Dewi dan Yuna padaku," jawab Amara, suaranya bergetar.
Mira terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tahu, Amara sedang menderita.
"Tapi, Kak. Aku tidak punya uang untuk pulang," ucap Mira, suaranya lirih.
"Ambil saja uangku," jawab Amara, matanya berkaca-kaca.
Mira terdiam, matanya menatap Amara dengan iba. Ia tahu, Amara sedang dalam keadaan sulit.
"Ambil saja, Mira. Aku tidak butuh uang," ucap Amara, suaranya bergetar.
Mira mengangguk, lalu mengambil uang dari dompet Amara.
"Aku akan pulang, Kak," ucap Mira, lalu beranjak pergi.
Dewi yang mendengar percakapan mereka dari balik pintu, tersenyum sinis. Ia kemudian memanggil Mira.
"Mira, tunggu!" panggil Dewi, lalu memberikan uang kepada Mira.
Mira terdiam, matanya menatap Dewi dengan heran.
"Ambil ini. Gunakan untuk pulang," ucap Dewi, lalu menutup pintu.
Mira terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia merasa heran dengan sikap Dewi. Ia tidak mengerti mengapa Dewi tiba-tiba bersikap baik padanya.
Mira kemudian beranjak pergi, meninggalkan Amara yang terduduk sendirian di lantai, tubuhnya gemetar.
*****
Hati Amara terasa sesak, seperti dihimpit batu besar. Ingatan tentang ayah dan ibunya berputar-putar dalam kepalanya, membangkitkan gelombang kesedihan yang tak terbendung. Wajah ayahnya yang pucat pasi, terbaring lemah di ranjang rumah sakit, terbayang jelas. Matanya yang biasanya berbinar-binar, kini redup dan kosong. Amara merindukan sentuhan hangat tangan ayahnya, suara lembutnya yang selalu menenangkan. Ia ingin sekali memeluk ayahnya, berbisik kata-kata penyemangat, dan berjanji akan selalu ada untuknya.
Kemudian, wajah ibunya terlintas di benaknya. Ibu yang selalu tegar dan penuh kasih sayang. Amara teringat bagaimana ibunya selalu menasihatinya untuk menjadi perempuan yang kuat dan mandiri. Namun, kini Amara merasa sangat lemah dan tak berdaya. Ia merindukan pelukan hangat ibunya, nasihat bijaknya, dan kecupan lembut di keningnya. Ia ingin sekali bercerita kepada ibunya tentang semua yang terjadi, tentang perlakuan Dewi dan Yuna, tentang rasa takut dan kesedihan yang menghantam hatinya.
Amara meringkuk di sudut ruangan, air matanya mengalir deras. Ia merasa sangat kesepian dan terpuruk. Ia merindukan keluarganya, merindukan kasih sayang dan kehangatan yang pernah ia rasakan.
*****"
Dewi dan Yuna tertawa terbahak-bahak, tubuh mereka bergoyang gembira. Kepuasan terpancar dari wajah mereka. Mereka telah berhasil membohongi dan menyiksa Amara. Rasa senang yang tak terkira memenuhi hati mereka.
"Hahaha! Lihat, Yuna! Kita berhasil!" seru Dewi, matanya berbinar-binar penuh kegembiraan.
"Ya, Dewi. Amara benar-benar bodoh," jawab Yuna, senyum licik mengembang di bibirnya.
Mereka saling berpandangan, mata mereka bertemu dan terpancar rasa senang yang sama.
"Kita harus terus menyiksa Amara," ucap Dewi, suaranya berbisik penuh ancaman.
"Ya, Dewi. Kita harus membuatnya menderita," jawab Yuna, matanya menyala dengan api dendam.
Mereka berdua berjanji akan terus menyiksa Amara, membuat hidupnya semakin sengsara. Mereka merasa berkuasa atas Amara, dan mereka akan menggunakan kekuasaan itu untuk menghancurkan Amara.
Rasa puas dan kegembiraan mereka semakin menjadi-jadi. Mereka merasa sangat bahagia karena telah berhasil mengendalikan Amara. Mereka merasa seperti penguasa, dan Amara adalah budak mereka yang patuh.
Mereka berencana untuk terus menyiksa Amara, membuat hidupnya semakin sengsara. Mereka ingin melihat Amara terpuruk, hancur, dan putus asa.
"Kita akan membuat Amara menyesal telah menjadi istri Mas Radit," ucap Dewi, suaranya dingin dan penuh ancaman.
"Ya, Dewi. Kita akan membuatnya menderita selamanya," jawab Yuna, matanya menyala dengan api dendam.
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, suara tawa mereka menggema di ruangan, mengisyaratkan kekejaman dan kekejaman yang akan mereka lakukan kepada Amara.