Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KESUKSESAN PROYEK
Annisa tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya diantar bekerja oleh Damian pagi hari. Seperti hari ini, lelaki itu benar-benar menurunkannya di depan gedung perusahaannya. “Terima kasih sudah mengantarku, Mas,” ucap Annisa malu-malu.
Damian hanya mengangguk kecil. Tatapannya sempat tertuju pada gedung di depannya sebelum kembali melihat Annisa. “Kamu nggak masalah, kan, aku yang antar?”
Annisa mengangguk sambil tersenyum tipis. “Nggak, Mas. Lagipula, orang-orang di kantor nggak tahu kita sudah menikah.”
Damian hanya diam sejenak, lalu menatap jam tangannya. “Ya sudah, aku balik dulu. Jangan pulang terlalu larut.”
Annisa tersenyum, merasa ada sedikit perhatian dalam kata-kata Damian meski terasa singkat. “Iya, Mas. Hati-hati di jalan.”
Damian mengangguk sekali lagi, lalu berbalik masuk ke mobil dan pergi. Annisa menatap mobil Damian yang mulai menjauh, merasakan perasaan hangat yang pelan-pelan tumbuh meskipun ia tahu hubungan mereka masih sangat kaku.
Tadi setelah sarapan, Annisa sudah bersiap untuk mengantarkan Clara ke sekolah sebelum berangkat bekerja. Saat ia baru saja menggandeng tangan Clara, Damian tiba-tiba berkata, “Biar aku saja yang antar kalian.”
Annisa terkejut mendengar tawaran itu. Sejak perkataannya di rumah orang tua Annisa kemarin, Damian memang mulai berubah sedikit demi sedikit, tapi kali ini terasa lebih nyata. “Oh… nggak apa-apa, Mas?” Annisa bertanya ragu.
Damian mengangguk. “Iya, sekalian saja. Aku antar Clara dulu, baru kita ke kantormu.”
Clara tampak senang mendengar ayahnya yang akan mengantar, sementara Annisa masih agak canggung. “Terima kasih, Mas,” ucapnya pelan.
Damian mengangguk, lalu mengajak mereka masuk ke mobil. Sepanjang perjalanan, Annisa duduk di samping Damian, sesekali meliriknya sambil berusaha menahan senyum. Rasanya masih aneh baginya—duduk bersama Damian dalam perjalanan pagi ke kantor, sesuatu yang dulu bahkan tak pernah ia bayangkan.
Annisa memasuki gedung kantornya dengan senyum cerah yang sulit disembunyikan. Kali ini, hatinya terasa lebih ringan, dan bibirnya sesekali bersenandung kecil. Beberapa rekan kerja yang berpapasan dengannya, disapanya dengan ramah, sesuatu yang jarang mereka lihat dari Annisa yang biasanya tenang.
Saat tiba di depan lift, ia bertemu dengan Gina, Donita, dan Robert yang sudah menunggu. Gina langsung menyadari perubahan di wajah Annisa. “Wah, tumben banget kelihatan bahagia begini, Nis. Ada kabar baik, ya?” godanya sambil tersenyum penuh arti.
Annisa tersipu, mencoba menutupi perasaannya. “Ah, nggak ada apa-apa, kok. Cuma… ya, pagi ini lancar saja, hehe,” jawabnya singkat.
Robert yang berdiri tak jauh dari mereka ikut tersenyum, meskipun pandangannya tetap mengamati Annisa dengan kagum. “Kalau setiap pagi bisa bikin kamu bahagia seperti ini, baguslah. Bikin suasana kerja kita lebih cerah juga, kan?” ucapnya, setengah bercanda.
Donita tertawa kecil dan menimpali, “Iya, benar tuh, Nis. Kalau bisa, tiap hari begitu, ya.”
Annisa hanya mengangguk sambil tersenyum, merasa senang dengan perhatian teman-temannya, meskipun ia tahu bahwa kebahagiaannya pagi ini berawal dari perubahan sikap Damian. Pintu lift terbuka, dan mereka semua masuk. Annisa merasa pagi ini benar-benar berbeda dari biasanya, membuat harinya dimulai dengan semangat yang lebih.
•••
Annisa memasuki ruang rapat dengan perasaan campur aduk. Proyek besar yang ia kerjakan untuk Swan sudah mencapai tahap akhir, dan Annisa beserta timnya sudah melakukan perubahan sesuai permintaan detail tambahan dari Swan. Meski yakin dengan hasil kerja timnya, ia tetap merasa sedikit gugup.
“Tarik nafas dan keluarkan perlahan. Aku tahu kau bisa,” ucap Robert setengah berbisik di telinga Annisa.
Annisa tidak menjawab, tetapi dia mengikuti saran dari Robert barusan.
Begitu presentasi dimulai, Annisa pun menjelaskan secara rinci perubahan yang mereka lakukan, mulai dari desain visual hingga optimasi fungsional yang diminta. Setiap slide dipaparkan dengan tenang, dan ia berusaha menjawab pertanyaan dari Swan dan beberapa rekan lainnya dengan penuh percaya diri.
Setelah presentasinya selesai, Swan menatap Annisa sambil tersenyum lebar. “Annisa, ini sangat bagus. Semua detail yang saya minta, termasuk yang teknis dan estetik, sudah kalian wujudkan dengan sempurna. Terima kasih atas dedikasi dan kerja kerasnya. Ini hasil yang luar biasa.”
Annisa tersenyum lega, dan ucapan itu segera disambut tepuk tangan dari rekan-rekannya. Gina yang duduk di sampingnya ikut memuji, “Kamu keren banget, Nis. Detail yang kamu tambahin itu emang bikin proyek ini beda!”
Donita juga menambahkan dengan semangat, “Iya, Nis, kamu berhasil bawa proyek ini ke level yang lebih tinggi. Aku yakin kita semua belajar banyak dari kamu.”
Annisa tertawa kecil, merasa tersipu dengan pujian itu. “Terima kasih, teman-teman. Tanpa dukungan kalian, aku nggak bisa melakukannya. Apalagi Swan juga sangat membantu dengan masukan detail yang jelas, jadi kami bisa lebih fokus.”
Swan mengangguk. “Benar, koordinasi kalian sangat solid. Kamu menunjukkan kalau detail sekecil apapun bisa membuat perbedaan besar. Terus terang, ini membuat saya semakin yakin untuk melibatkan tim kalian di proyek-proyek kami berikutnya.”
Annisa tersenyum, hatinya penuh rasa syukur atas apresiasi yang ia terima. “Kami sangat menghargai kesempatan ini, Swan. Semoga kerja sama kita semakin sukses ke depannya.”
Swan tersenyum, mengakhiri rapat dengan ucapan terima kasih pada Annisa dan seluruh tim. Ketika semua peserta rapat meninggalkan ruangan, Gina menepuk pundak Annisa dengan bangga. “Kamu bikin kita semua terinspirasi, Nis. Kamu tuh beneran profesional!”
Annisa menghela napas lega, menyadari bahwa usaha dan kerja kerasnya benar-benar diapresiasi. Hari itu menjadi salah satu hari paling membanggakan dalam kariernya, sebuah pencapaian yang membuatnya semakin percaya diri dan termotivasi untuk terus berkembang.
Siangnya, Jenny, manajer di perusahaan Annisa, memberikan pengumuman mendadak. “Karena proyek Annisa dengan Swan berjalan sukses besar, saya ingin mengajak kalian semua, tim proyek dan rekan satu divisi, untuk makan siang bersama. Ini perayaan atas kerja keras kita!” ucap Jenny sambil tersenyum lebar.
Usia Jenny terpaut 2 tahun di atas Annisa. Jenny merupakan wanita mandiri yang cantik. Sampai sekarang Annisa belum melihat maupun mendengar manager nya itu memiliki kekasih ataupun suami.
Ruangan yang awalnya sibuk mendadak dipenuhi sorak gembira. Gina dan Donita langsung menyambut dengan antusias. “Wah, ini yang kita tunggu-tunggu!” seru Gina sambil tertawa.
Donita menyikut Annisa pelan. “Ini semua berkat kamu, Nis! Kalau proyeknya nggak sukses, nggak mungkin kita ditraktir!”
Annisa tertawa kecil, sedikit malu tetapi juga bahagia. “Ah, bukan aku sendiri kok. Semua berkat kerja sama kita juga.”
Jenny tersenyum mendengar itu. “Jangan terlalu merendah, Annisa. Kamu sudah bekerja luar biasa. Ini pencapaian kita bersama, tapi hari ini kamu bintangnya,” ujarnya sambil mengangkat jempol.
Annisa tersenyum lega. Bersama rekan-rekannya, ia menikmati makan siang penuh tawa dan obrolan hangat. Sesi makan siang itu tidak hanya menjadi perayaan kesuksesan proyek, tapi juga menguatkan hubungan dan semangat tim di antara mereka.