Tipe pria idaman Ara adalah om-om kaya dan tampan. Di luar dugaannya, dia tiba-tiba diajak tunangan oleh pria idamannya tersebut. Pria asing yang pernah dia tolong, ternyata malah melamarnya.
"Bertunangan dengan saya. Maka kamu akan mendapatkan semuanya. Semuanya. Apapun yang kamu mau, Arabella..."
"Pak, saya itu mau nyari kerja, bukan nyari jodoh."
"Yes or yes?"
"Pilihan macam apa itu? Yes or yes? Kayak lagu aja!"
"Jadi?"
Apakah yang akan dilakukan Ara selanjutnya? Menerima tawaran menggiurkan itu atau menolaknya?
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Kalau ada typo tolong langsung komen gaisss😉
***
Tepat saat motor Ara memasuki garasi, mobil yang dikendarai Gevan datang. Gadis berkuncir kuda itu mendengus. Dia baru sampai rumah padahal dan belum istirahat atau makan.
"Saking kangen nya, ya?" cibir Ara. Dia pun menghampiri Gevan yang baru keluar dari mobil.
"Sebentar, ya, Pak, aku istirahat dulu," ucap Ara bernegosiasi.
"Jangan panggil, Pak," balas Gevan.
"Iya, Kek," balas Ara pula. Dia tertawa melihat wajah masam Gevan.
"Bercanda ih! Yuk masuk dulu. Aku laper," lanjut Ara.
Keduanya masuk ke dalam rumah yang tampak sepi itu. Ara berjalan menuju dapur setelah meletakkan tas dan juga almamater nya di sofa. Sedangkan Gevan masih terus mengikuti Ara.
"Bapak —"
"Jangan panggil saya Bapak, Ara. Saya bukan Bapak kamu," potong Gevan. Dia kesal mendengar Ara yang selalu memanggilnya dengan sebutan seperti itu.
"Iya, lupa. Terus, aku manggil apa, dong?" bingung Ara. Dia membuka lemari atas untuk mengambil telur.
Gevan hanya diam karena sudah kepalang kesal. Dia memperhatikan punggung kecil itu dari meja makan.
"Aku panggil Kak Gevan aja, deh," ucap Ara pada akhirnya. Dia menoleh menatap Gevan sambil menyengir tanpa dosa.
Padahal umur kedua kakaknya lebih tua dari Gevan. Ara hanya reflek saja memanggil Gevan dengan sebutan Om atau Bapak, tapi malah berakhir terbiasa.
"Terserah," ketus Gevan.
Ara terkekeh kecil. Dia mulai mengambil kentang, wortel, daun bawang, bawang merah dan putih sebagai campuran telurnya.
"Kak Gevan ada alergi makanan, gak?" tanya Ara.
"Gak ada," jawab Gevan.
"Bagus deh kalau gitu. Jadi aku punya partner buat kulineran nanti," ucap Ara.
Ara memang suka makan, kadang dia berburu jajanan saat sore hari, karena itu waktu yang pas untuk jalan-jalan. Dan sekarang, ada Gevan yang dia andalkan.
Beberapa menit kemudian, aroma telur dadar yang enak menyapa indra penciuman Gevan. Bahkan perutnya langsung berbunyi kala melihat telur dadar buatan Ara yang sudah tersaji di hadapannya.
"Taraaa! Gak lengkap rasanya kalo makan tanpa sambal," ucap Ara mengeluarkan satu botol sambal favoritnya.
"Kak Gevan harus cobain makan telur dadar pake sambel!" lanjut Ara. Dia menuangkan sambal itu ke atas piring kecil, agar bisa diambil dengan mudah.
Selain kopi, Ara juga menyetok beberapa botol sambal kesukaannya. Memang kesukaan Ara itu gak sehat semua. Padahal lambungnya sudah meronta-ronta.
Keduanya makan siang bersama, atau ini adalah makan sore? Entahlah, yang pasti keduanya makan dengan lahap. Menu sederhana namun sangat nikmat jika dimakan bersama pasangan.
Andai Ara tidak sekolah, Gevan sudah meminta gadis itu agar memasakkan makan siang untuknya setiap hari.
Gevan mengelap keringatnya dengan tisu. Benar kata Ara, makan telur dadar dengan sambal memang seenak itu ternyata. Enak tapi pedas, begitu kata Gevan.
"Minum ini aja, Kak. Aku gak punya soda, adanya susu," ucap Ara sambil menyodorkan satu kotak susu coklat pada Gevan.
"Gak punya soda tapi punya kopi, sama aja," cibir Gevan.
"Kopi lebih enak tau!" sahut Ara. Dia mencuci piring dan gelas kotor. Setelah itu dia bergegas ke kamar untuk mandi. Dia memang tidak tau Gevan akan membawanya ke mana, yang penting dia sudah wangi, itu saja.
Beberapa menit kemudian, Ara sudah wangi. Gadis itu melangkah riang mendekati Gevan yang duduk di sofa ruang tamu.
"Yuk!" seru Ara.
Gevan yang tadinya memainkan ponsel pun langsung menoleh menatap Ara. Wangi manis dari parfum yang Ara pakai membuat Gevan terus menarik nafas untuk mencium aroma itu.
Mereka berdua berjalan beriringan keluar rumah. Gevan lebih dulu masuk ke mobil sedangkan Ara menghampiri satpam yang menjaga di depan gerbang rumahnya.
"Pak, Ara titip rumah, ya! Kalau ada yang nyariin, bilang aja Ara lagi keluar," ucap Ara.
"Siap!"
Ara pun segera masuk ke mobil Gevan yang sudah menunggunya.
"Kita mau kemana, Kak?" tanya Ara.
"Ke rumah saya," jawab Gevan.
"What?!" pekik Ara membuat telinga Gevan berdengung.
"Jangan teriak-teriak, Ara," tegur Gevan.
"Kenapa gak bilang dari tadi, sih?!" kesal Ara.
"Kenapa?" tanya Gevan.
"Tau gitu aku bakal nolak pas Kak Gevan jemput!" jawab Ara.
Benar, dia lebih baik menghabiskan waktu di rumah daripada ikut Gevan seperti ini. Dia belum siap bertemu dengan orang tua Gevan.
"Kenapa harus nolak?" tanya Gevan lagi.
"Belum siap, lah!" kesal Ara. Dia selalu ngegas saat menjawab ucapan Gevan.
"Belum siap ngapain? Kamu cukup menampakkan diri kamu aja. Gak usah bicara panjang lebar," ucap Gevan.
Tujuannya memang hanya mengenalkan Ara pada orang tuanya saja, agar Mom Bella tak lagi menjodohkannya. Dia tak meminta gadis itu untuk bicara banyak dan lemah lembut.
"Tetap aja aku gak siap!" Bibir Ara cemberut. Dia menatap ke depan dengan kesal.
"Kan ada saya," ucap Gevan.
"Kalau orang tua Kak Gevan galak gimana? Kalau mereka gak suka aku gimana?" tanya Ara.
Mereka memang baru kenal, tapi melihat keseriusan Gevan tentang pertunangan, Ara mulai sedikit yakin dengan pria itu. Karena Ara tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kapan lagi, kan, bisa nikah dengan tipe idamannya? Apalagi Gevan sendiri yang menawarkan hal itu.
"Kita yang menjalani. Kalau mereka gak suka ya saya gak peduli," jawab Gevan acuh. Dia mengenalkan Ara pada orang tuanya, semata-mata untuk memperlihatkan bahwa dia bisa mencari istri tanpa dijodohkan.
Ara tak menyahut lagi. Dia sedang kesal sekarang.
Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di rumah Gevan yang mewah. Lebih tepatnya rumah orang tua Gevan.
"Aku tidak mau turun!" ucap Ara membuat Gevan menoleh ke arah si gadis.
"Aku takut! Gak mau pokoknya!" lanjut Ara tak terbantahkan.
"Hanya sebentar. Setelah orang tua saya melihat kamu, kita akan pulang," ucap Gevan membujuk. Mana mungkin dia membiarkan rencananya pupus begitu saja.
"Gak mau, Kak!" kesal Ara. Rasanya dia ingin menangis sekarang. Jujur, Ara tak pernah berada di posisi ini. Seharusnya Gevan mengatakannya lebih dulu, jadi dia ada persiapan.
"Jangan membantah, Ara," kata Gevan. Dia menatap datar Ara. Namun, gadis itu tak menghiraukannya.
"Ayo, keluar. Atau mau saya seret?" lanjut Gevan.
"Jangan paksa aku!" kesal Ara. Dia menatap sebal ke arah pria tampan itu.
"Jangan membantahku," balas Gevan tak kalah keras kepalanya.
Ara berdecak keras. Tak ingin dibantah tapi memaksa, pikir Ara.
"Ayo," ucap Gevan. Dia turun lebih dulu lalu berjalan ke arah pintu sebelah dan membukanya.
Ara menatap Gevan dengan kesal. Dia pun terpaksa keluar dari mobil.
"Bener, ya, cuma sebentar," ucap Ara.
"Iya," jawab Gevan supaya cepat selesai.
Keduanya pun masuk ke dalam rumah mewah itu. Sebelumnya, Gevan tak mengabari sang Mommy. Sengaja ingin membuat mommynya itu terkejut.
***
LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE
indah banget, ga neko2
like
sub
give
komen
iklan
bunga
kopi
vote
fillow
bintang
paket lengkap sukak bgt, byk pikin baper😘😍😘😍😘😍😘😍😘