"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter Kesembilan Buku Itu
Separuh hatiku ingin pulang bersama orang tuaku, namun separuh lagi ingin tetap bertahan di sini untuk meneruskan kuliahku yang telah berjalan satu semester. Mataku sangat ingin menemui Rani, sedangkan otakku berpikir lain. “Apa yang akan ku katakan saat aku menemui Rani nanti? Haruskah aku bercerita tentang cita-citaku yang akan terlunta-lunta ini?
Aku belum bercerita kepada Rani tentang apa yang keluargaku alami seminggu yang lalu. Yang dia tahu, keluargaku masih baik-baik saja. Walau diriku sangat ingin berbagi beban ini kepada Rani, namun aku harus menahan dulu keinginan itu. Aku akan menceritakan semuanya kepada Rani di saat waktu yang tepat, di saat jiwaku sudah benar-benar tenang, dan di saat Rani sudah selesai dengan ujian sekolahnya yang baru dimulai empat hari yang lalu.
“Aku akan mencoba mencari pekerjaan di sini!” Akhirnya aku mengatakan keputusan yang sedang aku yakini di saat itu kepada orang tuaku.
“Pekerjaan apa yang akan kau cari di sini Nak?” tanya Ibuku, berat menerima keputusanku .
“Apa saja Bu! Yang penting bisa mendapatkan uang untuk biaya kuliahku,” jawabku mulai berpikir dewasa saat itu. Tak ada sedikitpun keraguan yang timbul di hatiku untuk bertahan di kota Pekanbaru.
“Ayah dan Ibu, tidak bisa lagi berbuat apa-apa untuk kuliahmu. Tabungan kita sudah habis semua untuk membayar denda yang diminta oleh atasan Ayah, kalau tidak, Ayah bisa di penjara. Kita tidak punya apa-apa lagi selain rumah dan sebidang tanah yang ada di kampung. Motor yang ada di rumah juga akan Ayah jual nantinya untuk modal Ayah bertani di kampung,” jelas Ayahku juga tampak berat mendengar tekadku.
“Aku akan mencoba dulu mengadu nasibku di kota ini. Jika dalam sebulan aku tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, aku akan balik ke kampung,” tekadku dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, terserah padamu Fan. Jika kamu tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, kembalilah secepatnya. Ingat pesan Ayah, jangan menyusahkan bibimu!” ujar Ayahku kembali mengingatkan.
Esoknya, setelah mengantar orang tuaku ke terminal, aku mengarungi kota Pekanbaru seorang diri. Berbekal ijazah SMA, aku hilir-mudik di setiap penjuru kota, mencari lowongan pekerjaan. Aku melangkah dari satu gedung perkantoran ke gedung lain, melihat-lihat papan pengumuman yang mengumumkan lowongan pekerjaan.
Setiap kali melihat peluang, aku berhenti dan menyodorkan ijazah yang aku punya. Tidak sedikit kawasan bisnis, pusat perbelanjaan, hingga kawasan industri di pinggiran kota, aku datangi, berharap mendapat kesempatan untuk memulai kembali kehidupan di kota itu. Hingga akhirnya senja pun menjelang, dan aku kembali menuju rumah bibiku.
Aku menaiki bis kota di sore itu. Aku yang telah berada jauh dari pusat kota, harus berdesak-desakan dengan penumpang lain untuk menuju rumah Bibi. Tak ada kursi yang tersisa di bis yang aku tumpangi, semua sudah terisi penuh. Aku hanya bisa berdiri dan menyelip di antara puluhan orang yang memenuhi lorong tengah bis yang aku tumpangi.
Menjelang maghrib, aku sampai di depan gang masuk rumah bibiku. Aku terus melangkahkan kakiku yang sudah terasa sangat letih di saat itu, menuju rumah Bibiku yang berjarak dua puluh meter dari mulut gang.
Otot-otot betisku menjadi tegang, dan terkadang ada rasa nyeri yang menusuk di telapak kaki, terutama di bagian tumit dan jari-jari. Sendi-sendi terasa kaku, dan punggung kaki juga mulai terasa panas akibat gesekan dengan sepatu yang kukenakan.
Tidak lama berjalan, aku sampai di teras rumah Bibiku. Di sebuah kursi kayu yang sengaja disediakan di beranda rumah minimalis milik Bibiku, aku melepas sedikit kepenatan yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku.
“Kamu kemana saja Fan?” sapa suami Bibiku yang akan pergi ke Masjid, melihat diriku yang tersandar lemah di kursi kayu.
“Jauh Paman, sampai-sampai ke pinggiran kota,” jawabku sambil meluruskan tubuhku agar tidak terlihat lesu.
“Sulit mencari pekerjaan di kota ini kalau hanya punya ijazah SMA. Apalagi kita tidak punya orang dalam, itu tambah susah! Tapi kamu jangan putus asa, kalau rezekimu ada, kamu pasti dapat pekerjaan,” ucap Pamanku memberi semangat.
“Iya Paman, aku akan usaha!” ujarku tersenyum.
“Hp kamu tidak aktif?” Pamanku tiba-tiba menanyai handphoneku.
“Habis baterai Paman! Semalam lupa ngecasnya. Kenapa Paman?
“Dari tadi Paman telpon pakai Handphone tetangga sebelah, tidak nyambung-nyambung! Bibimu khawatir, sudah jam setengah enam kamu belum juga pulang. Takutnya kamu nyasar! Tapi Paman yakin, kamu sudah hapal daerah sini!” ucap Pamanku tersenyum, lalu pergi menuju Masjid yang ada di tengah komplek perumahaan itu.
Aku melepas tas sandang warna hitam yang aku bawa dan meletakkannya di atas meja kecil yang ada di depanku. “Pasti pesan dari Rani juga sudah menungguku!” gumamku tersenyum sambil membuka resleting tasku.
Namun, tas itu hanya berisi map dan beberapa lembar photo copy ijazah yang tadi aku bawa, sedangkan handphone yang ku letakkan di dalamnya sudah tidak ada lagi. Aku terus mencari ke setiap saku yang ada pada tas itu, dan mengeluarkan isinya satu persatu, namun handphone yang kucari tak juga kutemukan.
Hati mulai gelisah, sesekali berhenti mencari untuk mengingat-ingat dimana aku meletakkannya. Kuperiksa semua saku yang ada di celanaku, namun barang itu tak juga ada. Kuperiksa sekali lagi tas yang ada di hadapanku, merasa tak yakin pada apa yang terjadi di saat itu. Tapi tetap saja, aku tidak menemukannya. Handphoneku telah lenyap di hari itu.
Aku teringat di saat aku berdesak-desakan di dalam bis sore itu. Aku teringat wajah-wajah orang yang berhimpitan bersamaku di dalam bis. Ada beberapa orang laki-laki bertato yang berdiri di belakangku. Wajah mereka sangat berbeda dengan penumpang lainnya, dan pakaian merekapun juga seperti preman pasar. Hatiku merasa, handphoneku telah dicopet.
Ingin rasanya aku menjerit karena tak sanggup lagi menahan cobaan yang bertubi-tubi datang kepadaku. Namun, siapa yang akan peduli dengan jeritan itu? Mungkin Bibiku yang sedang sakit lah yang akan mendengar jeritan itu, yang hanya akan menambah beban pikiran Beliau yang lelah menanggung sakit yang sedang dialaminya.
Aku tak tahu lagi pada siapa akan kuluapkan kesedihan ini? Aku yang telah berencana menceritakan semua beban ini pada Rani di malam itu, telah kehilangan cara untuk menghubunginya. Pamanku telah menjual handphone miliknya, sedangkan telpon rumahnya telah diputus akibat tunggakan.
Ternyata ujian hidup yang aku alami tidak hanya memutus cita-citaku, tapi juga telah memutus komunikasiku dengan Rani. Bumi yang terus berputar membawaku semakin jauh dari apa yang selama ini kupikirkan. Suratan yang dituliskan Tuhan, berbeda dengan karangan yang aku tulis di alam hayalan. Kerajaan langit seakan telah menghukumku tanpa alasan.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,