Raika, telah lama hidup dalam kesendirian sejak kematian ayahnya. Dunia yang berada diambang kehancuran memaksanya untuk bertahan hidup hanya dengan satu-satunya warisan dari sang ayah; sebuah sniper, yang menjadi sahabat setianya dalam berburu.
Cerita ini mengisahkan: Perjalanan Raika bertahan hidup di kehancuran dunia dengan malam yang tak kunjung selesai. Setelah bertemu seseorang ia kembali memiliki ambisi untuk membunuh semua Wanters, yang telah ada selama ratusan tahun.
Menjanjikan: Sebuah novel penuhi aksi, perbedaan status, hukum rimba, ketidak adilan, dan pasca-apocalipse.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahril saepul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Mendadak.
Menarik napas, "Apa kalian siap?" tanya Yuya, menatap gerombolan Wanters di bawah.
"Tunggu apa lagi," saut Mio, memegang kedua pedang yang telah menyala. Begitu juga denganku, mengaktifkan sniper dan belati untuk berjaga-jaga.
"Baiklah, ayo!" terjun dari atas, mengaktifkan Fury mode.
SLING------SPLESS.
Yuya menyerang terlebih dahulu, membunuh beberapa Wanters dengan tebasannya saat turun. Mio dengan lincah menghindari setiap serangan kuat dan memotong-motong kaki Wanters dengan mudah. Yuto melontarkan energi, bergerak secara gesit mengincar setiap inti matanya. Karena ini adalah pertarungan jarak dekat, aku hanya bisa mengandalkan belati. Sialnya, setiap Arcis yang tersentuh, malah masuk ke dalam tubuhku. Kuharap mereka tidak melihat-nya.
Yuya bergerak lincah mengindari serangan jarak jauh Wanters terakhir, ia bersiap dengan pedang yang beruap-uap dan menghunuskan-nya tepat satu langkah di depan Wanters.
SILNG
Memotong rapih tubuh besarnya sekaligus mengakhiri pertarungan.
Aku berjalan mendekati Yuya.
"Ini, sangat melelahkan. Energiku banyak sekali yang terpakai," keluh Yuto.
"Hihi, apa penembak terbaik telah menyerah melawan para semut?" ejek Mio.
"Berisik apa ..." suaranya samar karena sedang ribut berdua.
"Gaya berpedang yang cukup bagus," ucapku memuji usaha Yuya.
"Kamu juga hebat," sahutnya sambil melempar senyum tipis. "Setelah ini, kita akan pergi ke Distrik 11 untuk beristirahat."
"Distrik 11?"
"Iya, menurut informasi yang aku tahu, diskriminasi di kota bebas hukum di sana tidak separah distrik-distrik lainnya. Namun, untuk ke sana, kita perlu menempuh perjalanan paling cepat 260 jam."
"Begitu ya ... baiklah, sudah lama aku tidak bepergian," ucapku, memandangi bulan biru yang menyala terang di atas jalanan.
***
Di dalam kamar.
Menatap foto ayah di tangan. "Ayah, anakmu akan melakukan hal yang akan membahayakan nyawanya. Apa kau bisa muncul dan mencegahnya," hening, hanya terdengar suara hembusan angin. 'Mana mungkin Ayah akan muncul seperti Yuriko. Fiuh ...' memasukan foto kedalam tas bersama peralatan lainnya.
Setelah cukup bersiap, aku berjalan keluar dan melihat Yuya meletakkan sepucuk bunga di depan bangunan.
"Apa sudah selesai berkemas?" tanya Yuya.
"Um, sudah semua."
"Baiklah, ayo." kami berjalan menuju mobil yang tengah diperbaiki Yuto.
Yuto mengeluarkan kepala gosongnya dari tangki mobil, "Teman-teman, aku punya kabar baik dan buruk! Mana yang mau kalian dengar terlebih dulu?"
Mio menahan tawa, kelepasan. "Bbehahaha ... Yuto, kau adalah pahlawanku," ejek Mio sambil melihatnya di atas mobil.
Menahan tawa.
"Oi, hah ... aku akan mulai dari yang baik terlebih dulu. Sisi baiknya, mobil ini masih bisa kita gunakan, dan sisi buruknya, bahan bakar hanya tersisa sedikit," Yuto melihat ke arah Mio, "Apa kau bisa berhenti tertawa?"
"Kurasa tidak apa-apa. Sebaiknya kita bergegas sebelum mereka bermunculan kembali," ucap Yuya.
Kami berangkat melaju di jalanan yang cukup rusak menuju timur. Hembusan angin dingin di atas mobil membuatku terjaga, mengingat kembali perjalanan yang telah kulalui bersama Ayah. Kuharap kejadian itu tidak terulang kembali.
***
B-Burm-Burmm
"Ah, sepertinya sudah habis," ucap Yuto. Kami turun dari mobil, dan Yuto mengeceknya kembali. "Yap, sudah habis."
"Sekarang kita berada di dalam hutan. Apa di sini cukup aman, ya?" ujar Mio sambil menoleh ke sekitar, melihat semua pohon mengering tanpa daun.
"Lebih baik kita mencari goa dulu untuk beristirahat. Kurasa di sekitar sini mungkin ada," saran Yuya.
"Yah, badanku juga sudah cukup letih, sudah lama tidak tidur," saut Mio.
Kami berjalan masuk ke dalam hutan. Sejauh mata memandang, aku hanya melihat pepohonan kering.
Sejauh ini, masih tidak ada satupun Wanters yang terlihat. Kami juga tidak menemukan sebuah goa setelah cukup lama berjalan ... bulan bersinar terang memantulkan cahayanya ke air yang mengalir di samping kami.
Ketika aku terfokus menatap air, pandanganku teralihkan oleh asap biru yang memanjang di jalur kami berjalan. Aku mengibaskan tangan untuk menghilangkan asap itu.
"Raika? ..." Yuya menatapku heran, begitu juga dengan Mio dan Yuto.
"Eh, ini ... 'Tunggu, apa mereka tidak melihat asap ini?' Ah, mungkin aku kelelahan," jawabku sambil berjalan mendekati mereka.
"Begitu ya, apa sebaiknya kita beristirahat di sini?" tanya Yuya.
"Yahh ... aku juga sudah capek. Kita istirahat sebentar saja, yuk," jawab Mio dengan lesu.
Saat hendak mendekati mereka, langkahku terhenti, merasakan perasaan mencekam dari sisi hutan. "Semuanya! Menghindar!"
KRSRK-----BUSST!
Sesosok makhluk seperti cacing menerkam dari samping kami. Aku menoleh ke sekitar mencari keberadaan Yuya dan yang lain. Untungnya, mereka selamat dari sisi lain tubuh. Makhluk itu bergerak ke arahku, memperlihatkan mulut tajamnya.
Aku berusaha sebisa mungkin menghindari setiap terkaman. Sisik melengkungnya menghancurkan tanah dan pepohonan yang ia lewati. Yuya, Mio, dan Yuto mengejar dari belakang.
Saat makhluk itu hendak menerkamku, tanpa pikir panjang aku melemparkan bom tepat ke dalam mulutnya. Berkat ledakan kuat yang dihasilkan, tubuhnya menggeliat, memberikan aku kesempatan untuk berkumpul dengan Yuya dan yang lain.
Kami berlari menjauh dari sana.
"Mahkluk semacam apa tadi? Aku belum pernah melihat yang seperti itu," ucap Mio terbata-bata sambil berlari.
"Entahlah! aku juga tidak tahu," saut Yuto.
Raut wajah Yuya terlihat gelisah, "Semuanya! Berhenti!"
"Huh!"
BLOUM!
Sebuah pembatas berwarna oranye membentang jauh, mengurung kami, sama seperti Wanters Vicuris yang aku lawan dulu.
Tanah yang kami pijak juga bergetar, memperlihatkan dari jauh sesosok Wanters raksasa yang memiliki tangan batu dan tubuhnya hanya sebatas dada. Namun, ukurannya benar-benar besar.
Kami hanya terdiam saat melihatnya. "Kenapa Wanters itu ada di sini?" ucap Yuya.
Mahkluk Cacing itu bergerak ke arah kami, untungnya kami telah pergi dari sana sebelum ia menabrakkan tubuhnya. Mahkluk itu bergerak kembali mengejar tepat di belakang. Tidak berhenti di situ, satu ekor cacing dan sebongkah batu dari Wanters terbang mengarah ke sini.
BRUK!
Kami berhasil menghindar, namun cacing-cacing itu mulai mengejar secara bersamaan.
Dalam kondisi terdesak, aku merasa ada yang janggal dari semua ini. Aku menatap Yuya dan yang lain, lalu berbelok ke arah lain, berpencar dengan mereka bertiga untuk mencoba sesuatu.
"Raika!" teriak Yuya.
Saat Yuya hendak mengejarku, mereka menghentikan langkah melihat cacing-cacing itu hanya mengincarku, "Apa yang terjadi ini?" kata Mio.
"Cih! Bertahanlah, Raika," Yuya dan yang lain bergerak cepat ke arah lain.
'Sudah kuduga mereka benar-benar mengincarku, tapi ... kenapa?' Aku terus berlari, menghindari setiap serangan hingga berada dekat dengan tubuh utamanya. Ia melempar batu dari tangan besarnya dan mengeluarkan puluhan tentakel dari punggung, semuanya mengarah kepadaku.
'Apa yang harus aku lakukan?' Menatap semua itu yang berterbangan dari udara.
End Bab 13
gabung yu di Gc Bcm..
caranya Follow akun ak dl ya
untuk bisa aku undang
terima kasih.