Day Without Daylights
Bulan biru, memantul-kan cahayanya melewati jendela pecah, seperti meneror-ku dalam diam. Air keran membasahi tanganku dengan beberapa debu yang menyatu di dalamnya. Aku melirik ke sebuah cermin retak, menampilkan diriku, di penuhi luka lebam dari kepala hingga badan.
Setelah air memenuhi tangan, aku membasuh muka untuk menghilangkan beberapa kotoran yang menutupi luka. Kemudian, menatap kelopak mata biru-ku, bagaikan bulan di luar sana.
Setelah dirasa cukup, aku berjalan, menapaki lantai rusak, menuju hoodie hitam yang tergantung di atas kursi kayu, serta mengambil sniper hitam bergaris biru di atas meja—sebuah senjata yang dimodifikasi dengan Arcis, jantung Wanters, untuk menyalurkan energi Oaris.
Menatap foto pria berusia 40 tahun di atas laci kecil yang dihiasi vas bunga. Berkata pelan. "Aku berangkat, ayah. Langit biru dengan awan putih yang lembut," mencoba tersenyum setelah mengucapkan lelucon yang sering ayah katakan. Namun, entah kenapa, senyuman itu terasa sulit, meskipun hanya menaikan ujung bibir.
Aku melangkah keluar dari apartemen, berencana mencari Arcis kembali untuk dijual di Kota Bebas Hukum ...
Namaku: Raika Rosefate, nama yang di berikan ayah sejak usiaku 1 tahun, dan ia, telah meninggal dengan konyol saat usia ku 7 tahun. Namun, entah kenapa, aku melupakan hari itu, hari yang tidak pernah ku mengerti, meski sudah dicoba untuk mengingatnya, tetapi ... hasilnya nihil.
Seperti hari-hari lainnya, hari ini bulan biru bersinar terang. Ayah memang suka membual. Sejak awal, tidak ada langit berwarna biru, yang ada hanyalah kesunyian.
Aku menuruni tangga berkarat yang hampir roboh, kakiku menapak di antara jalanan aspal yang sudah rusak, aku berjalan lurus sambil dikelilingi oleh gedung-gedung terbengkalai, hingga pandanganku tertuju pada bangunan rusak namun masih berdiri kokoh.
Sesampainya di atas gedung, aku memantau sekeliling menggunakan scope. Lapangan luas yang dihasilkan dari runtuhnya gedung-gedung tampak kosong. Hingga mataku menangkap sesosok makhluk putih dengan garis merah di sekujur tubuh, mata kuning menyala di dalam kabut berdebu. Tingginya sekitar 7 meter, dengan lebar 4 meter—Wanters tingkat 1.
Tanganku mencengkeram sniper dengan kuat dalam posisi tengkurap, fokus membidik target yang sedang menyerap darah rusa. Energi biru (Oaris) mulai mengalir, membentuk garis-garis panjang pada sniper. Aku menarik napas dalam-dalam; dada terasa mengembang. Jemariku memegang erat pelatuk. Suara detak jantung bergema, menandakan saat yang tepat untuk bertindak.
BUM
Peluru biru melesat tepat mengenai sebuah mata di tubuhnya yang menjadi inti kelemahan. Wanters lain mulai mendekat akibat suara tembakan yang di lontarkan.
Aku menarik napas dan bersiap menembak empat Wanters lainnya. BUM. BUM. BUM. BUM.
Setelah memeriksa sekitar untuk memastikan situasi aman, aku memutuskan untuk turun.
Tempat ini merupakan zona kuning, jarang ada orang berburu di sini karena situasi yang tidak bisa diprediksi. Kadang terjadi badai, jumlah Wanters yang meningkat, dan kemunculan Wanters tingkat 4 yang dapat membantai ratusan orang dengan mudah.
Menghela nafas. "Hanya tingkat satu," bergumam sambil menatap Arcis di tangan. "Lebih baik daripada tidak ada sama sekali."
Setelah mengumpulkan Arcis, aku berjalan kembali menuju kota bebas hukum, sambil mencari beberapa Wanters tingkat satu.
***
Dalam perjalanan, tanpa sengaja aku bertemu dengan Wanters tingkat dua, berdiri tepat di perempatan jalan. Ukurannya lebih besar dengan garis merah yang lebih menyala.
Sebenarnya, aku tidak ingin melawan Wanters itu karena mereka sangat merepotkan. Meskipun Arcis tingkat 2 jauh lebih mahal, hampir semua usahaku sebelumnya berujung maut. Mereka tidak akan mati dalam satu kali tembak, karena memiliki inti mata yang cukup kecil. Akan jauh lebih mudah melawan mereka dalam sebuah kelompok, tetapi ... hal itu tidak akan pernah terjadi.
Aku hanya berjalan pelan bersembunyi di samping reruntuhan, berusaha menghindari perhatian Wanters.
Sialnya dalam posisiku sekarang, di samping reruntuhan dekat perempatan, terdengar suara mobil melaju cepat dengan gerombolan Wanters di belakangnya, menuju arah Wanters tingkat 2. Mobil itu tiba-tiba membanting setir dan menabrak tepat ke arah tempatku bersembunyi.
Degupan jantung berpacu cepat. Dalam posisi telentang, aku melihat ke sekitar; menyadari terdapat seorang pria paruh baya tertusuk besi mobil. Aku menyampingkan hal itu, tanpa pikir panjang, berlari sekuat tenaga meninggalkan lokasi, berharap asap dari mobil bisa menutupi pandangan Wanters. Namun, aku salah, Wanters yang paling merepotkan muncul dari asap dan mulai mengejar.
Aku berusaha berlari tanpa arah, melewati gang sempit dan masuk ke dalam gedung. Namun, suara gempuran dinding hancur selalu berada tepat di belakang.
Mungkin, hari ini adalah hari sial. Aku bodoh, malah masuk ke dalam tempat pembuangan air. Lorong bulat dengan genangan air setinggi betis kaki.
Di depanku, tumpukan reruntuhan memblokir jalan menuju saluran bawah air yang lebih besar. Cahaya hijau yang samar memperjelas setiap detail reruntuhan di dalam lorong yang lembap. Wanters masih terus mengejar-ku, tubuhnya yang besar menghantam dinding-dinding lorong, menghancurkannya dengan membabi buta.
Mengambil nafas yang dalam, menatap Wanters yang tersisa 10 meter di hadapanku.
"Tidak ada cara lain!"
Menggenggam bom dengan Arcis di dalam. Oaris perlahan menyelimuti bom. Saat Wanters semakin mendekat, aku melemparkan bom tersebut.
BUMM
Saluran bawah air meledak, menimbun Wanters di dalamnya.
Keluar dari lubang kotak di bawah tanah yang dipenuhi air di sisi lorong. "Fiuh ...."
Berjalan mendekati tubuh yang tertimbun sebagian; menatap dengan seksama pada titik lemah Wanters—mata kecil yang dibungkus kristal di bagian pundaknya. Setiap kali ia bergerak, kristal itu berkilauan, memantulkan cahaya kuning yang menyala terang.
Mengambil napas dalam-dalam, aku memfokuskan bidikan. Jemariku perlahan menarik pelatuk.
DOR
Peluru menghantam tepat pada kristal, menyebabkan retakan menyebar seperti jaring laba-laba. Dengan cepat, aku menembak lagi, dan lagi, hingga kristal hancur berkeping-keping dan menembus mata kecilnya sampai hancur. Perlahan, tubuh Wanters itu runtuh menjadi abu, menandakan telah mati. Arcis seukuran tangan terjatuh ke air.
Tubuhku terasa lemas dan terduduk di genangan air berusaha mengatur ritme pernapasan. Di atas tumpukan batu, bulan biru bersinar terang dari lubang yang terbuka akibat ledakan.
Aku berhasil merangkak keluar dan berdiri di atas jalanan kosong.
Setelah beristirahat di samping bangunan dan membalut luka di kaki, aku berencana pulang. Namun, karena sudah sejauh ini, ku-putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Hanya tinggal mengikuti jalan lurus, dan aku akan sampai di kota bebas hukum yang berdekatan dengan Distrik 3.
End Bab 1
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Luzor
Sumber kekuatan yang unik dan menarik, MC nya keren kombinasi antara cewek kuat dan sniper./Drool/
2024-10-29
0
Nicky
aku mampir nih author saling dukung yaa semangat up nya
2024-10-23
0
Listya ning
semangat author
2024-10-25
0