Day Without Daylights

Day Without Daylights

Bab 1 Wanters.

Di dalam apartemen hancur, seorang gadis tertidur lelap di atas kasur berlubang. Wajahnya yang mulus dibasahi air liur yang mengalir ke atas bantal. Angin dingin berhembus melalui jendela pecah, meniup lembut rambut putihnya. Perlahan, ia membuka mata, menatap kosong dengan kelopak mata biru cerah.

Dia menyingkirkan selimut kumuh dari tubuhnya dan berjalan mengenakan kaus hitam serta celana pendek, di atas lantai yang rusak menuju cermin retak dengan sikat gigi di dalam gelas.

"Fiuh ... hari membosankan terulang kembali," ucap Raika Rosefate (15) sambil menatap kosong pantulan dirinya dalam cermin.

POV 1

Setelah membasuh wajah dengan air keran, aku berjalan menuju hoodie hitam yang tergantung di kursi kayu. Aku juga mengambil sniper hitam dengan garis biru di atas meja-sebuah senjata yang dimodifikasi dengan Arcis, jantung Wanters, untuk menyalurkan energi Oaris.

Menatap foto pria berusia 40 tahun di atas laci kecil yang dihiasi vas bunga, berkata pelan. "Aku berangkat, ayah. Langit biru dengan awan putih yang lembut," mencoba tersenyum tipis setelah mengucapkan lelucon yang sering ayah katakan. Namun, entah kenapa, senyum itu terasa sulit.

Aku melangkah keluar dari apartemen untuk mencari Arcis, yang akan dijual di kota bebas hukum.

Seperti hari-hari lainnya, hari ini bulan biru bersinar terang. ayah memang suka membual. Sejak awal, tidak ada langit berwarna biru, yang ada hanyalah kesunyian dan juga Wanters.

Aku menuruni tangga berkarat yang hampir roboh, kakiku menapak di antara jalanan aspal yang sudah rusak dan sepi, aku berjalan lurus sambil dikelilingi oleh gedung-gedung terbengkalai, hingga pandanganku tertuju pada bangunan yang masih berdiri kokoh.

Sesampainya di atas gedung, aku memantau sekeliling menggunakan scope. Lapangan luas yang dihasilkan dari runtuhnya gedung-gedung tampak kosong, hingga mataku menangkap sosok makhluk putih dengan garis merah di sekujur tubuh dan mata kuning menyala di dalam kabut berdebu. Tingginya sekitar 7 meter, dengan lebar 4 meter-Wanters tingkat 1.

Tanganku mencengkeram sniper dengan kuat dalam posisi tengkurap, fokus membidik target yang sedang memakan bangkai hewan. Energi biru (Oaris) mulai mengalir membentuk garis-garis panjang pada sniper. Aku menarik napas dalam-dalam, dada terasa mengembang. Jemariku memegang erat pelatuk. Suara detak jantung bergema, menandakan saat yang tepat untuk bertindak.

BUM

Peluru biru melesat tepat mengenai sebuah mata di tubuhnya yang menjadi inti kelemahan. Wanters lain mulai mendekat akibat tembakan yang di lontarkan.

Aku menarik napas dan bersiap menembak empat Wanters lainnya. BUM. BUM. BUM. BUM.

Setelah memeriksa sekitar untuk memastikan situasi aman, aku memutuskan untuk turun.

Tempat ini merupakan zona kuning, jarang ada orang berburu di sini karena situasi yang tidak bisa diprediksi. Kadang terjadi badai, jumlah Wanters yang meningkat, dan kemunculan Wanters tingkat 4 yang dapat membantai ratusan orang dengan mudah.

"Fiuh ... hanya tingkat satu," gumamku sambil menatap Arcis di tangan. "Lebih baik daripada tidak ada sama sekali."

Setelah mengumpulkan beberapa Arcis, aku berjalan kembali menuju kota bebas hukum, sambil mencari beberapa Wanters tingkat satu.

Setelah berjalan cukup lama, tanpa sengaja aku bertemu dengan Wanters tingkat dua, berdiri tepat di perempatan jalan. Ukurannya lebih besar dengan garis yang lebih menyala.

Sebenarnya, aku tidak ingin melawan Wanters itu karena mereka sangat merepotkan. Meskipun Arcis tingkat 2 jauh lebih mahal, hampir semua usahaku sebelumnya berujung maut. Mereka tidak akan mati dalam satu kali tembak, karena inti kelemahan mereka sangat kecil. Akan jauh lebih mudah jika melawan mereka dalam sebuah kelompok, tetapi ... hal itu tidak akan pernah terjadi.

Aku hanya berjalan pelan bersembunyi di samping reruntuhan, berusaha menghindari perhatian Wanters.

Sialnya dalam posisiku sekarang, di samping reruntuhan dekat perempatan, terdengar suara mobil melaju cepat dengan gerombolan Wanters di belakangnya, menuju arah Wanters tingkat 2. Mobil itu tiba-tiba membanting setir dan menabrak tepat ke arah tempatku bersembunyi.

Degupan jantung berpacu cepat. Dalam posisi telentang, aku melihat ke sekitar. Di dalam asap berdebu sekitar mobil, seorang pria paruh baya tergeletak tertusuk besi. Aku menyampingkan hal itu, tanpa pikir panjang, berlari sekuat tenaga meninggalkan lokasi, berharap asap dari mobil bisa menutupi pandangan Wanters. Namun, aku salah, Wanters yang paling merepotkan muncul dari asap dan mengejarku.

Aku berusaha berlari tanpa arah, melewati gang sempit dan masuk ke dalam gedung. Namun, suara gempuran dinding hancur selalu berada tepat di belakang.

Mungkin, hari ini adalah hari sial. Aku bodoh, malah masuk kedalam tempat pembuangan air. Lorong bulat dengan genangan air setinggi betis kaki.

Di depanku, tumpukan reruntuhan memblokir jalan menuju saluran bawah air yang lebih besar. Cahaya hijau yang samar memperjelas setiap detail reruntuhan di dalam lorong yang lembap. Wanters masih terus mengejarku, tubuhnya yang besar menghantam dinding-dinding lorong, menghancurkannya dengan membabi buta.

Mengambil nafas yang dalam, menatap Wanters yang tersisa 10 meter di hadapanku. "Tidak ada cara lain," gumamku sambil menggenggam bom dengan Arcis di dalam. Oaris perlahan menyelimuti bom. Saat Wanters semakin mendekat, aku melemparkan bom tersebut.

BUMM

Saluran bawah air meledak, menimbun Wanters di dalamnya.

Keluar dari lubang kotak di bawah tanah yang dipenuhi air di sisi lorong. "Fiuh ...."

Aku menatap dengan seksama pada titik lemah Wanters-mata kecil yang dibungkus kristal di bagian pundaknya. Setiap kali ia bergerak, kristal itu berkilauan, memantulkan cahaya kuning yang menyala terang.

Mengambil napas dalam-dalam, aku memfokuskan bidikan. Jemariku perlahan menarik pelatuk.

DOR

Peluru menghantam tepat pada kristal, menyebabkan retakan menyebar seperti jaring laba-laba. Dengan cepat, aku menembak lagi, dan lagi, hingga kristal hancur berkeping-keping dan menembus mata kecilnya sampai hancur. Perlahan, tubuh Wanters itu runtuh menjadi abu, menandakan ia telah mati. Arcis seukuran tangan terjatuh ke air.

Tubuhku terasa lemas dan terduduk di genangan air berusaha mengatur ritme pernapasan. Di atas tumpukan batu, bulan biru bersinar terang dari lubang yang terbuka akibat ledakan.

Aku berhasil merangkak keluar dan berdiri di atas jalanan kosong.

Setelah beristirahat di samping bangunan dan membalut luka di kaki, aku berencana pulang. Namun, karena sudah sejauh ini, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Hanya tinggal mengikuti jalan lurus, dan aku akan sampai di kota bebas hukum yang berdekatan dengan Distrik 3.

End Bab 1

Terpopuler

Comments

𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓

𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓

Hai ka,
gabung yu di Gc Bcm..
caranya Follow akun ak dl ya
untuk bisa aku undang
terima kasih.

2024-09-23

0

Ind

Ind

udah ngantuk,besok tak lanjut lagi yah,semangat pokonya

2024-09-16

0

🅷🆈🅰🅽🅳🅰🐿️

🅷🆈🅰🅽🅳🅰🐿️

aku sudah mampir kak, saling dukung ya🙏 iklan 1🙏

2024-09-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!