Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Seperti Bukan Dirinya Lagi
Beralih ke perjalanan Seo-Rin—atau Aluna—yang akhirnya tiba di rumah keluarganya. Meskipun berusaha bersikap biasa saja, hatinya diliputi kegelisahan. Rasanya aneh untuk menyebut tempat ini sebagai "rumahnya," mengingat ia hanya mengenal rumah ini dari cerita-cerita dalam novelnya sendiri.
Aluna menyadari bahwa di sini, sebagai Seo-Rin, ia memiliki tanggung jawab dan peran yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Saat ia melangkah masuk, orangtuanya menyambutnya dengan kehangatan, tapi Aluna bisa merasakan ada ketegangan yang tersembunyi di balik senyuman mereka. Mereka mungkin berharap banyak pada Seo-Rin—seorang selir pangeran, yang membawa kehormatan bagi keluarga mereka.
Namun, suasana berubah saat Aluna mendengar teriakan dari arah luar. Seorang pemuda tampak berdiri dengan gaya seenaknya, seakan tak peduli dengan kehadiran saudara perempuannya yang baru tiba dari istana. Adik laki-lakinya, Min-Ho, seorang pemuda berwajah tampan namun terkenal akan kelakuannya yang tak terkendali, tampak mabuk dengan langkah yang goyah. Pakaian dan rambutnya tampak acak-acakan, dan ada jejak lipstik samar di kerah pakaiannya—pertanda jelas bahwa ia baru saja pulang dari salah satu petualangannya yang biasa.
“Seo-Rin,” serunya dengan nada yang mencemooh, menatap Aluna dengan tatapan sinis. “Jadi kau kembali karena istana tak lagi membutuhkanmu?” lanjutnya, mengeluarkan kata-kata tajam dengan senyum miring.
Aluna berusaha menahan emosinya. Ia sadar bahwa sebagai Seo-Rin, dia harus menghadapi adik laki-laki yang penuh masalah ini dengan kepala dingin. Namun, melihat tingkah Min-Ho yang kurang ajar membuatnya ingin meluruskan sikapnya.
“Min-Ho, jaga bicaramu,” ujar Aluna dengan nada tenang tapi penuh ketegasan. “Aku pulang karena ada hal yang perlu dibereskan, termasuk mengawasi adik laki-laki yang terus membuat malu keluarga.”
Senyuman Min-Ho perlahan memudar, tergantikan oleh tatapan yang lebih tajam. “Jangan ceramahi aku, Seo-Rin. Kau mungkin selir pangeran di istana, tapi di sini kau hanyalah kakak perempuanku yang tak tahu apa-apa.”
Merasa ada jarak dan kebencian yang sulit dipahami, Aluna menyadari bahwa hubungan Seo-Rin dan Min-Ho jauh lebih rumit dari yang ia tuliskan dalam novel. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya sehingga Min-Ho menyimpan kebencian begitu besar? Apa yang telah dilakukan Seo-Rin di masa lalu yang membuatnya begitu terasing dari adik laki-lakinya?
Orangtua mereka, yang mendengar pertengkaran itu dari ruang dalam, mencoba menenangkan suasana. Ibu Seo-Rin melangkah maju, meletakkan tangan di pundak Min-Ho dan mengingatkannya untuk menghormati Seo-Rin. Namun, alih-alih mendengarkan, Min-Ho malah berbalik dan berjalan pergi dengan langkah kasar, meninggalkan Aluna yang masih berdiri di sana, merasakan beratnya peran Seo-Rin sebagai kakak yang dihadapkan pada tanggung jawab dan beban yang tak pernah ia duga.
Di antara rasa asing dan kehangatan yang seolah tak pernah benar-benar tulus, Aluna mulai memahami bahwa hidup sebagai Seo-Rin bukanlah perkara mudah. Selain menjadi selir pangeran, Seo-Rin juga harus berurusan dengan konflik di dalam keluarganya sendiri, dengan adik laki-laki yang membutuhkan bimbingan tapi jelas tidak menginginkannya.
Melihat wajah pucat Seo-Rin, ibunya segera menghampiri, menepuk pelan pundaknya dengan penuh kasih sayang. “Seo-Rin, sebaiknya kau beristirahat dulu. Perjalanan panjang pasti melelahkan,” ujarnya lembut. “Min-Ho bisa diurus nanti. Fokuslah pada kesehatanmu terlebih dahulu.”
Aluna hanya mengangguk, menyadari betapa lelah tubuhnya setelah perjalanan ini, ditambah dengan pertengkaran singkat dengan Min-Ho yang menyedot sisa-sisa energinya. Ibunya menggandengnya perlahan, menuntunnya menuju kamar yang telah disiapkan khusus untuknya.
Kamar itu tampak sederhana namun nyaman, dengan tirai sutra berwarna merah tua yang menghiasi jendela. Ada aroma harum rempah-rempah yang menenangkan, mengingatkan Aluna pada wangi yang biasa menghiasi paviliunnya di istana. Ia duduk di tepi ranjang, merasa sedikit lega namun juga dipenuhi oleh perasaan asing di rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung.
Setelah meneguk secangkir teh yang disediakan pelayan, Aluna perlahan merebahkan diri. Namun, pikirannya tetap melayang ke berbagai arah. Mengapa Min-Ho begitu marah padanya? Apakah ada peristiwa yang tidak pernah ia ketahui sebagai Aluna, atau mungkin ia telah melewatkan detail penting dalam penggambaran hubungan Seo-Rin dengan keluarganya di novel?
Ia mencoba menenangkan pikirannya, namun bayangan wajah Ji-Woon tak terelakkan muncul dalam benaknya. Pangeran Ji-Woon, yang biasanya berada di sisinya, kini jauh di istana. Rasa rindunya muncul begitu kuat, dan ia mulai merasa sepi dalam keheningan kamar ini. Kepergiannya ke rumah ini adalah pilihannya sendiri, demi menyelamatkan Ji-Woon dari tekanan istana, namun kini ia merasakan kerinduan yang sulit untuk diabaikan.
Di tengah lamunannya, terdengar ketukan pelan di pintu. Ibunya masuk dengan membawa semangkuk bubur hangat dan duduk di sisi ranjangnya.
“Kau tampak begitu letih, Seo-Rin. Di istana mungkin semua tampak gemerlap, tapi kau pasti tak pernah benar-benar tenang di sana, bukan?” ucap ibunya, menatap Aluna dengan mata penuh perhatian.
Aluna terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Ada kalanya, ibu. Istana bukanlah tempat yang mudah untuk dihuni, apalagi untuk seseorang seperti aku,” jawabnya, memilih kata-katanya dengan hati-hati.
Ibu Seo-Rin tersenyum tipis, mengelus lembut punggung tangannya. “Ibu bangga padamu, meski kau memilih jalan yang berat. Namun ingatlah, tempat ini selalu terbuka untukmu. Jika kau merasa letih, jangan ragu untuk kembali.”
Kata-kata lembut itu membuat hati Aluna sedikit lebih tenang. Dalam sekejap, ia merasa seakan-akan berada di tengah keluarga sejati yang menerima dirinya tanpa syarat. Namun di sisi lain, beban sebagai Seo-Rin, selir pangeran yang terikat oleh politik dan ambisi di istana, terasa kian berat di pundaknya. Apakah ia benar-benar bisa menjaga keseimbangan antara peranannya sebagai selir dan tanggung jawabnya sebagai putri dan kakak di rumah ini?
Sambil menyantap bubur yang disuapkan ibunya, Aluna diam-diam bertekad untuk mencari jalan keluar dari konflik ini. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Pangeran Ji-Woon dan keluarganya.
*
Di bawah sinar rembulan yang redup, ibu Seo-Rin menatap wajah suaminya dengan cemas, wajahnya terlihat semakin berkerut. Mereka berdiri di luar rumah, di bawah pohon tua yang rindang, melindungi mereka dari pandangan siapapun yang mungkin lewat. Ayah Seo-Rin, yang selama ini jarang mengekspresikan perasaannya, mengangguk pelan sambil menghela napas.
“Sejak ia pulang kali ini, ada yang berbeda darinya,” kata ayah Seo-Rin pelan. “Cara bicaranya, caranya memperhatikan sekeliling, bahkan caranya memandang kita… rasanya seolah-olah ia melihat sesuatu yang kita tak bisa pahami. Apa mungkin tekanan di istana telah merusak dirinya?”
Ibu Seo-Rin meremas tangannya, rasa khawatir begitu kentara di wajahnya. “Dia tidak lagi seperti Seo-Rin yang kita kenal. Biasanya, meski keras hati, dia tetap memperlihatkan senyumannya pada kita. Sekarang, senyumnya tampak begitu jauh… begitu asing,” lanjutnya dengan suara bergetar.
Ayah Seo-Rin berpikir dalam diam, membayangkan segala yang mungkin terjadi di istana. Keluarga mereka hanyalah keluarga terpandang yang dipanggil ke istana demi kehormatan kerajaan, bukan karena memiliki pengaruh atau kekuasaan besar. Mereka tahu sejak awal bahwa menjadi selir pangeran berarti hidup dalam bayang-bayang ambisi politik dan intrik-intrik istana. Namun, mereka tidak pernah membayangkan bahwa Seo-Rin akan berubah sedemikian rupa.
“Aku mendengar desas-desus dari pelayan di istana bahwa putri Kang-Ji tengah berusaha memengaruhi sang ratu untuk menguatkan posisinya,” ucap ayah Seo-Rin dengan hati-hati, takut jika kata-katanya mungkin terlalu menyakitkan bagi istrinya.
“Jika itu benar,” lanjutnya, “maka Seo-Rin mungkin terpaksa harus bertarung di dalam istana. Mungkin tekanan itu yang menyebabkan perubahan besar dalam dirinya. Tapi … tetap saja, perubahannya kali ini begitu mencolok. Cara bicaranya … bahkan pandangannya, terlihat berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi di sana?”
Ibu Seo-Rin menggeleng pelan, memeluk dirinya sendiri seakan mencari ketenangan. “Yang kita inginkan hanyalah kebahagiaan untuknya … namun sekarang dia tampak seperti orang yang terluka, seperti seseorang yang berusaha keras bertahan tetapi kehilangan dirinya.”
Ayah Seo-Rin menepuk bahu istrinya dengan lembut, berusaha menenangkan. “Yang bisa kita lakukan sekarang adalah membiarkannya beristirahat. Mungkin, dengan waktu, ia akan merasa lebih nyaman di sini. Kita hanya perlu bersabar dan berharap Seo-Rin akan kembali pada dirinya yang dulu.”
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya ditemani oleh suara angin yang berbisik pelan di antara dedaunan. Di dalam hati mereka, doa dan harapan terselip, berharap bahwa Seo-Rin, putri mereka, akan menemukan kekuatannya kembali dan mampu melawan segala cobaan yang ada.
Bersambung >>>