NovelToon NovelToon
Vanadium

Vanadium

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Cinta pada Pandangan Pertama / Epik Petualangan / Keluarga / Anak Lelaki/Pria Miskin / Pulau Terpencil
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: ahyaa

Ada begitu banyak pertanyaan dalam hidupku, dan pertanyaan terbesarnya adalah tentang cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ahyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode tiga belas

Kereta akhirnya sempurna berhenti di stasiun, petugas mengumumkan lewat spiker untuk mengecek kembali barang bawaan para penumpang jangan sampai ada yang tertinggal, juga berhati hati ketika akan turun takutnya tergelincir.

Aku sudah menggendong buntalan kain di lengan sebelah kiri, dokumen serta makanan semuanya sudah ku masukkan kedalamnya.

Aku sengaja menunggu penumpang agak reda baru mulai keluar, takutnya berdesak desakan.

Kejutan, ternyata om Rizal dan masinis Jefri menungguku di pintu keluar, atau jangan jangan mereka memang menunggu semua penumpang. Om Rizal memelukku erat

" Hati hati di sana Dium, jadilah anak yang baik, berjanjilah dalam hatimu bahwa kau akan menyelesaikan apa yang telah kau buat." ucap om Rizal sambil menahan air mata yang ingin turun.

Aku membalas pelukan hangat om Rizal, lalu menyalami masinis Jefri.

" Kalau kau naik kereta ini lagi dan aku masih hidup, aku pastikan kau akan mendengarkan ceritaku." ucap masinis Jefri bercanda.

Aku ikut tertawa, mengangguk, jika suatu saat nanti aku sudah menemukan jawaban atas setiap pertanyaan, aku akan menyempatkan diri untuk naik kereta ini lagi.

" Aku memiliki kenang kenangan untuk om Rizal, om masinis, serta untuk kereta api ini." ucapku sambil menyerahkan gulungan kertas yang semalam sudah aku coret coret, sekaligus mengembalikan pensilnya.

" Ini, ini bagus sekali nak." ucap om Rizal dan masinis Jefri hampir bersamaan.

" Kau sepertinya berbakat di banyak hal, dium." ucap om Rizal

Aku mengangguk, bukan hanya aku, tapi sebenarnya semua orang memiliki semua bakat, hanya saja mereka tidak menyadari serta tidak mau mengasahnya.

" Kau harus bergegas nak, bus mu sudah menunggu sejak tadi." ucap masinis Jefri mengingatkan.

Aku mengangguk, menyalami om Rizal dan masinis Jefri, lalu aku mulai melangkah turun dari kereta api menuju stasiun tempat para bus menunggu penumpang.

Om Rizal memandangi punggung ku hingga tidak terlihat lagi, dia menghela nafas pelan, tidak henti hentinya ia memanjatkan doa untuk keselamatan ku. Berharap akan segera menemukan apa yang aku cari.

Tanah dengan ukuran lima puluh kali tujuh puluh meter itu terasa sesak oleh puluhan bus, aku tidak sulit mencari bus ku karena warnanya paling mencolok di antara yang lain, aku bergegas menghampirinya, bertanya kepada knek yang bertugas apakah bus ini sesuai dengan yang ada di tiket ku. petugas itu mengangguk menyilakan ku naik karena bus akan segera berangkat, bertanya apakah buntalan kainku mau di simpan di bagasi atau tidak, aku menggeleng sopan. Sebelum naik aku menyempatkan diri mencuci tangan sebentar karena aku berencana untuk makan malam di bus. Tidak ramai penumpang bus itu, dari tiga puluh kursi yang kosong hanya terisi seperempat nya saja, aku memilih kursi yang paling belakang agar lebih leluasa untuk makan.

Sepuluh menit akhirnya berlalu, ketika aku sudah selesai makan dan mencuci tanganku, petugas bus memberitahukan bahwa bus akan segara berangkat. Mesin bus yang sedari tadi telah di panaskan sekarang terdengar menderum gagah, aku asik menikmati pemandangan, aku belum pernah menaiki bus, ini benar benar menjadi perjalanan panjang yang menyenangkan.

Aku sejak tadi hanya menatap keluar jendela bus, suasananya benar benar berbeda, aku bisa melihat gedung gedung tinggi yang menjulang, kendaraan yang semakin bervariatif, bahkan terkadang aku menemukan truk truk besar yang berpapasan dengan bus, aku menelan ludah mencoba memikirkan apa yang sebenarnya sedang ia bawa. Aku mulai mengeluarkan peta yang tadi di berikan oleh om Rizal, tidak sulit membaca peta itu, sesuai yang di sampaikan oleh om Rizal aku hanya perlu jalan lurus hingga akhirnya menemukan sebuah rumah tingkat dua.

Bus beberapa kali berhenti di terminal, menaikkan serta menurunkan penumpang, terkadang ada pengamen yang naik, terkadang juga ada penjual makanan seperti gorengan serta penjual air, ada juga malahan yang menawari obat obatan, aku baru tau kalau ternyata bus bisa di jadikan sebagai tempat berjualan.

Sudah hampir dua puluh lima menit berlalu, petugas bus menghampiri ku mengatakan bahwa aku turun di terminal selanjutnya. Aku mengangguk, mulai menggendong buntalan kain di lengan. Lima menit kemudian aku sudah turun dari bus setelah mengucapkan terimakasih banyak kepada petugasnya yang membantu di pintu bus.

Aku di turunkan persis di antara perempatan jalan, kalau menurut peta yang di berikan maka aku harusnya ke arah kiri. Baiklah aku mulai menelusuri gang kecil yang ada di sebelah kiri ku. Setelah berjalan hampir kurang lebih dua kilo meter entah mengapa tiba tiba jalannya memiliki percabangan, padahal di peta tidak ada, jangan jangan om Rizal sudah lama tidak ke sini makanya tidak tau kalau jalannya sudah bertambah. Beruntungnya aku bertemu dengan seorang ibu ibu yang bertanya dengan ramah apakah aku sedang tersesat. Aku mengangguk, mengatakan bahwa aku sedang mencari sebuah tempat yang biasanya di panggil rumah bersama. ibu itu tersenyum, menunjuk ke arah kanan, mengatakan bahwa lima kilo meter lagi setelah jalan yang agak sedikit menanjak aku akan menemukan rumah yang aku cari. Aku balas tersenyum, mengucapkan terimakasih banyak kepada ibu ibu itu.

Aku sudah hampir dua kilo meter berjalan, tanjakan yang tadi di maksud oleh ibu ibu itu sudah terlihat di ujung mata. Semakin aku jauh melangkah semakin pula banyak aku temukan para nelayan dengan wajah ramah, terkadang mereka sambil membawa jaring besar atau terkadang membawa ikan besar hasil tangkapan. Sepertinya mata pencaharian penduduk di sekitar sini adalah sebagai nelayan, juga ada beberapa yang menanam padi. Aku sedikit kesulitan mendaki tanjakan karena perutku yang kekenyangan sejak tadi.

Lima menit setelah bersusah payah akhirnya aku bisa tiba di atas tanjakan dan aku akhirnya terdiam. Lihatlah pemandangan ini. Aku sudah sering menyaksikan matahari tenggelam di kampung ku, tapi yang satu ini benar benar berbeda. Matahari yang tenggelam benar benar secara harfiah tenggelam di ujung lautan, semburat jingga nya terlihat memenuhi sekitar. Anak anak terlihat bertelanjang kaki berlarian di sekitar pantai, orang orang dewasa sibuk memperbaiki jaring atau perahu sambil mengingat kan anak anak mereka untuk pulang karena sudah hampir malam. Aku benar benar berdiri mematung menyaksikan semua keindahan itu. Dua puluh lima detik berlalu, benar benar dua puluh lima detik yang mengesankan, ketika akhirnya bola gas panas itu sempurna menghilang. Aku tersenyum lalu mulai menuruni jalan mendaki, kurang lebih seratus meter aku berjalan hingga akhirnya aku menemukan apa yang aku cari sejak tadi. Rumah dengan ukuran yang sangat besar, terbuat dari beton kokoh dan langsung menghadap lautan, aku akhirnya telah tiba.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!