Widia Ningsih, gadis berusia 21 tahun itu kerap kali mendapatkan hinaan. Lontaran caci maki dari uanya sendiri yang bernama Henti, juga sepupunya Dela . Ia geram setiap kali mendapatkan perlakuan kasar dari mereka berdua . Apalagi jika sudah menyakiti hati orang tuanya. Widi pun bertekad kuat ingin bekerja keras untuk membahagiakan orang tuanya serta membeli mulut-mulut orang yang telah mencercanya selama ini. Widi, Ia tumbuh menjadi wanita karir yang sukses di usianya yang terbilang cukup muda. Sehingga orang-orang yang sebelumnya menatapnya hanya sebelah mata pun akan merasa malu karena perlakuan kasar mereka selama ini.
Penasaran dengan cerita nya yuk langsung aja kita baca....
Yuk ramaikan ....
Update setiap hari...
Selamat membaca....
Semoga suka dengan cerita nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Widi, kamu kenapa Nak?" tanya Nia dengan lembut seraya menatap suaminya dengan heran.
Widi terlonjak kaget mendengar ucapan Ibunya, ia buru-buru menghapus air mata yang mengalir. Tidak ingin membuat Ibu dan Bapaknya kepikiran.
"Nggak apa-apa kok Bu," ucap Widi dengan tersenyum lebar, menutupi kesedihannya.
"Yuk, kita masuk ke dalam." ajak Widi dengan sumringah, Wendi dan Nia saling beradu pandangan, namun ia tetap jalan beriringan.
Tiba di dalam, mereka langsung duduk di sofa secara barengan. Widi memanggil pembantu rumahnya untuk menyiapkan minuman dan sedikit cemilan, agar nyaman untuk bercerita.
Beberapa menit terasa hening, bi Milah membawa sebuah nampan yang berisi minuman dan cemilan sesuai permintaan Widi.
"Silakan diminum Bu, Pak, non. Saya permisi dulu ke belakang," ucap Bi Milah dengan lembut. Bi Milah mundur beberapa langkah lalu berbalik badan menuju ke dapur.
"Terima kasih Bi," balas Widi dengan tersenyum.
"Terima kasih."
"Ayo Pak, Bu mari diminum," sahut Widi seraya mengambilkan segelas cangkir teh hangat.
"Iya Nak," balas Nia dan Wendi dengan komPak.
"Haaa! Alhamdulillah," ucap Wendi merasa lega setelah minum teh panas.
"Alhamdulillah," ucap Nia dengan lirih seraya meletakkan teh kembali di atas meja.
"Bagaimana penjualan hari ini, Pak?" tanya Widi sedikit basa-basi, Saya ingin menghabiskan waktunya bersama kedua orang tua.
"Alhamdulillah Nak lancar," balas Wendi dengan sedikit terPaksa tersenyum.
"Alhamdulillah hari ini lancar, cuma sedikit ." Wendi langsung menyenggol lengan istrinya, ia tidak ingin menjadi beban pikiran Widi tentang masalah di kedainya.
"Sedikit apa Bu, jangan setengah-setengah ceritanya?" tanya Widi. Memahami apa maksud ucapan dari Ibunya.
"Nak, apa kamu sudah punya pacar?" tanya Wendi mengalihkan pembicaraan.
Belum dapat jawaban dari Ibunya, terpaksa Widi mengabaikan pertanyaannya tadi.
"Pacar? Kenapa Bapak tiba-tiba bertanya soal ini?" heran Widi dengan mengernyitkan dahinya.
"Nggak apa-apa Nak, Bapak cuma ingin tahu saja. Usia kamu yang semakin bertambah, Bapak dan Ibu juga sudah tidak muda lagi." tutur Wendi.
"Iya Nak, Ibu ingin sekali menggendong cucu. Selagi Ibu dan Bapak masih hidup," sambung Nia.
Widi benar-benar tidak memahami apa maksud Ibu dan Bapaknya yang tiba-tiba membicarakan hal yang tidak pernah dilakukan, selama ini ia hanya fokus pada karirnya.
Di hati kecilnya, ia juga berharap ingin segera ketemu jodohnya. Karena ia sering dibilang perawan tua sesama teman bisnisnya, ya saat ini usia Widi memasuki 25 tahun.
Wanita jika umur di atas 22 tahun sudah di katakan tua, apalagi yang berusia 25 tahun belum menikah di juluki perawan tua. Namun, untuk wanita yang berkarir sangat berbeda dengan wanita yang biasa. Karena wanita karir tidak sempat memikirkan cinta, meskipun hati kecilnya juga ingin merasakan yang namanya jatuh cinta.
"Mencari pasangan tidak segampang kita mencari sesuatu di toko Bu, Pak. Kenapa? Ibaratnya sandal, kemana-mana selalu berpasangan. Jika salah satunya hilang, maka seseorang harus membeli yang baru. Misal, wedges sama bata, apa nyaman di guNakan meskipun sesama sandal tapi beda karakter? Pasti enggak nyamankan?" ucap Widi berusaha menjelaskan pada orang tuanya.
"Sama halnya dengan kita memilih baju, kalo kita masuk ke sebuah toko baju. Lalu kita memilih mana yang nyaman untuk di Pakai, karna kalo nyaman bisa di Pakai jangka lama berbeda dengan gak nyaman." sambungnya lagi berusaha tidak menyinggungkan orang tuanya.
Wendi dan Nia mengangguk kepalanya, mereka paham maksud ucapan Widi. Gimana pun juga orang tua mana yang tidak ingin melihat anaknya selalu sendiri, mereka juga berharap akan di pertemukan seseorang sebagai pengganti orang tua ketika tiada nanti.
"Iya Ibu paham, Ibu berharap kamu segera menemukan jodohnya."
"Aamiin ya Allah, semoga doa Ibu di dengarkan Allah."
"Bapak mengerti Nak, Bapak harap semoga kamu menemukan laki-laki yang baik dan Sholeh, agar bisa membimbing kamu ke Jannah Allah," sahut Wendi sembari mengusap kepala Widi dengan lembut.
"Aamiin Allahumma Aamiin, semoga doa Bapak di dengarkan sama Allah. Widi juga berharapnya seperti itu Pak," balas Widi sembari memeluk Bapaknya dengan terharu.
Wendi, Nia dan Widi tak kuasa menahan tangis, mereka sudah membayangi bagaimana kehidupan di masa depan nanti. Apalagi membayangi Widi menikah, itu sebuah perpisahan yang menyayatkan hati seorang ayah sebagai cinta pertamanya untuk anak perempuan.
"Eh ngomong-ngomong, waktu kamu ke kedai ada laki-laki yang mengagumi kamu, Nak," ucap Nia antusias.
Widi menatap Ibunya penuh tanya.
" Siapa Bu?" tanya Widi mengernyitkan dahi.
"Kurang tahu juga sih, dia tiba-tiba nanyain ke Ibu sama Bapak kalo dia suka sama kamu."
"Sepertinya dia laki-laki yang baik, Nak." sambung Wendi yang sudah menebak karakter laki-laki tersebut.
"Ibu, Bapak. Lain kali hati-hati ya, memang sih niat Ibu sama Bapak itu baik mengenali Widi ke orang itu. Tapi Widi tidak tahu siapa dia, Widi minta untuk hati-hati sama orang asing," titah Widi memberi peringatan pada orang tuanya agar tidak terlalu gegabah.
"Yang Bapak maksud itu, laki-laki yang kamu tabrak saat itu," seketika Widi kembali mengingatkan kejadian saat itu.
"Sepertinya Widi pernah lihat laki-laki itu, tapi di mana ya?" gumam Widi sembari memikirkan pertemuan sebelumnya.
"Jangan-jangan dia jodoh kamu."
.
.
.
Keesokan harinya.
Seperti biasa Widi melakukan aktivitas karirnya, sebelum berangkat ia selalu ikut sarapan bersama.
"Bu, Pak. Widi berangkat kerja dulu ya, assalamualaikum," pamit Widi sembari mencium punggung tangan kedua orang tuanya secara gantian.
"Assalamualaikum."
"Hati-hati kerjanya Nak, Waalaikumsalam."
Beberapa menit kemudian, Widi tiba di kantor. Setelah menekan tombol absen, ia bergegas masuk ke dalam ruangan kerjanya.
"Bagaimana persiapan laporan hari ini, Dina?" tanya Widi yang baru masuk dan langsung duduk di kursi.
"Sudah saya sediakan di atas meja, Bu," balas Dina dengan sedikit membungkukan badannya.
"Terima kasih, apa ada jadwal meeting hari ini?" tanyanya lagi yang tengah fokus ke layar laptop.
"Hari ini kita mau ketemu sama perusahaan Cakra, Bu Widi."
"Baik, jam berapa?"
"Habis makan siang Bu," Kembali bekerja masing-masing, tanpa di sadari sudah memasuki jam makan siang. Dina kembali masuk ke dalam ruangan Widi. Ternyata Widi sudah menunggu kedatangannya dan langsung bergegas menuju cafe yang sudah di atur untuk ketemu klien.
Sesampainya di cafe, mereka langsung duduk di kursi yang sudah di booking. Karna masih ada waktu panjang, mereka menghabiskan jam makan siang di cafe itu sembari menunggu kedatangan kliennya.
Tak berselang lama, ketika selesai makan orang yang di tunggu-tunggu akhirnya tiba juga.
"Maaf lama, di jalan macet." ucap laki-laki itu dengan santai tanpa menoleh ke wajah Widi.
"Tidak apa-apa Pak, maaf saya makan siang terlebih dahulu," balas Widi mengelap mulutnya dengan tisu.
Begitu laki-laki itu duduk, lantas membuat mereka saling bertatapan. Lama menatap seketika baru teringat pertemuan sebelumnya.