Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22 : Alasan Yang Berdasar
Sore itu mansion keluarga Adyatama dalam keadaan sunyi. Terdengar samar suara langkah kaki pelayan yang hilir-mudik di kejauhan. Sagara melangkah tenang menuju ruang tamu di mana sosok pria yang sudah lama menunggu berada. Pria itu berdiri tegak, tampak tenang tapi dengan ekspresi penuh harap. Dialah orang yang dimaksud Lucas, kenalan ibunya yang berniat membeli rumah ini.
Setelah menyapa dengan sopan, Sagara mempersilakan pria itu duduk. Keduanya duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu yang megah, diterangi cahaya lampu kristal yang gemerlap di atas mereka. Sagara memandang pria itu untuk beberapa saat, matanya tajam namun tenang, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Sebelum pria itu sempat berbicara, Sagara membuka pembicaraan dengan nada tegas namun tetap sopan.
“Maaf, Pak. Saya harus memberi tahu dengan segera bahwa saya tidak akan menjual rumah ini," kata Sagara, suaranya tenang tapi tegas, seperti batu yang tak tergoyahkan.
Pria itu tampak terkejut, meski berusaha menyembunyikannya di balik senyum diplomatis. Ia bersandar sedikit ke belakang, mencari kata-kata yang tepat. “Tuan Sagara, saya mengerti mungkin berat bagi Anda melepas rumah ini, tapi saya benar-benar tertarik ingin membeli rumah ini. Saya harap Tuan dapat memikirkannya kembali.”
Sagara menatap pria itu tanpa berkedip. “Saya sangat yakin dengan keputusan saya. Dan saya menghargai waktu serta niat baik Anda, namun keputusan ini sudah final. Saya minta maaf jika hal ini menimbulkan ketidaknyamanan.”
Wajah pria itu perlahan berubah kaku, ketidaksenangan tampak jelas di matanya meski ia berusaha menahan diri. Setelah jeda beberapa detik yang seakan berlangsung lebih lama dari yang sebenarnya, pria itu akhirnya bangkit berdiri, menghela napas panjang. “Baiklah, kalau begitu. Saya hargai keputusan Anda, Tuan Sagara. Saya tidak ingin memaksa lebih jauh lagi.”
Sagara tersenyum tipis, lalu mengantarkan pria itu hingga ke pintu depan dengan penuh kehormatan. “Terima kasih atas pengertiannya. Saya harap kita dapat bertemu lagi di lain kesempatan dengan urusan yang lebih baik.”
Pria itu meninggalkan mansion dengan langkah berat, sementara Sagara tetap berdiri di depan pintu, menatap punggung pria itu yang semakin menjauh. Setelah memastikan tamunya benar-benar pergi, Sagara menghela napas dalam, merasakan beban di bahunya sedikit terangkat.
Setelah urusan dengan tamu itu selesai, Sagara naik ke kamarnya. Ia membuka pintu, masuk, lalu menutupnya dengan lembut sebelum mengunci rapat. Sekilas ia memandang cermin besar di sudut kamar, melihat bayangannya sendiri, seolah-olah mencari makna di balik keputusan yang baru saja dibuatnya. Perlahan, dia mulai melepas satu per satu pakaiannya, hingga tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya.
Tanpa terburu-buru, Sagara berjalan menuju kamar mandi dan membuka keran air. Suara gemericik air yang mengalir mengisi bak mandi besar dari marmer putih itu terdengar menenangkan. Setelah bak terisi penuh dengan air hangat, Sagara merendam dirinya, membiarkan kehangatan air meresap ke setiap pori-porinya. Mata Sagara terpejam, pikirannya melayang ke berbagai rencana yang terus berputar-putar di kepalanya.
Sagara memikirkan Lucas, sahabatnya yang selalu ada, namun juga selalu penuh pertanyaan. Bagaimana caranya menjelaskan kondisi yang ada sekarang? Sagara merasa perlu segera menemukan alasan yang tepat karena dia yakin Lucas akan segera menghubunginya setelah mendengar kabar dari orang itu.
Benar saja, ketika malam datang, saat Sagara tengah menyantap makan malam dengan beberapa pelayan yang setia berdiri di sisinya, ponselnya yang berada di dalam sakunya berdering. Sagara tanpa melihat pun tahu kalau itu adalah Lucas. Sagara sempat membiarkan ponsel itu berdering beberapa kali, matanya fokus pada makanan yang tersaji. Namun, setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang, merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya, lalu mengangkat panggilan itu.
“Ya, Lucas. Ada apa?” ujar Sagara pelan, suaranya terkesan malas, tapi penuh kesadaran bahwa percakapan ini tidak akan mudah.
“Ga, serius, lu apaan sih? Gue denger lu batalin jual rumah kakek lu?" Suara Lucas terdengar gusar, nyaris tak sabaran. "Apa lagi nih, Bro? Bukannya lu bilang udah mau deal?”
Sagara menelan ludah, dia sudah mempersiapkan jawabannya. “Iya, gua berubah pikiran. Gua sempat ketemu sama kenalan kakek gua yang nawarin kerjasama. Jadi, gua rencananya bakal terusin bisnis keluarga gua.”
“Bisnis? Lu serius, Ga? Bisnis apaan? Jangan bilang lu ketipu atau terseret masalah yang aneh-aneh.” Lucas makin serius, suaranya terdengar lebih dalam. “Ga segampang itu kali jalanin bisnis! Wah, lu yang bener aja Ga.”
Sagara tersenyum kecil, walau Lucas tak bisa melihatnya. Sagara benar-benar geli mendengar alasan yang dibuatnya sendiri. “Santai aja. Gua ga sebodoh itu kali sampe ketipu, gua juga tau batasannya, gua ga bakal ikutan bisnis yang aneh-aneh. Ini cuma perdagangan antar tempat, ga ada yang ilegal kok. Gua juga sambil belajar ngejalanin bisnis ini. Tenang aja.”
Lucas terdiam beberapa saat. “Perdagangan antar tempat? Maksud lu apa, Ga? Kok gua baru denger ya bisnis kaya gitu?"
“Udah, ga usah banyak tanya. Intinya, gua dapet akses ke pasar baru. Ga ada yang perlu lu khawatirin. Semua aman terkendali.” Sagara menjelaskan, meskipun ia tahu Lucas masih meragukan jawabannya.
Lucas mendesah panjang. “Oke, tapi lu harus hati-hati, Ga. Gue ga mau lu kena masalah baru gara-gara ini.”
"Iya, iya, tenang aja," balas Sagara.
“Eh iya, kapan jadinya lu balik? Lu udah tiga hari ga nongol di kampus, Bro. Besok jadi empat hari kalau lu ga hadir lagi. Gua cuman ngingetin, jangan sampe lu cabut kuliah gara-gara bisnis ini doang ya, kuliah itu juga penting, Bro.”
Sagara terdiam sebentar, dia sedang mengatur ketenangannya agar tidak tertawa setelah mendengar ucapan Lucas. Bagaimana bisa seorang Lucas mengucapkan kata-kata itu pada dirinya yang merupakan mahasiswa berprestasi? Seharusnya kata-kata itu keluar dari mulut Sagara untuk Lucas yang hobi bolos kuliah. Sagara benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikir anak sableng itu.
“Gua bakal balik secepatnya setelah urusan di sini selesai. Gua juga kayanya bakal menetap di rumah ini. Setelah gua pikir-pikir, gua masih bisa bolak-balik dari sini ke kampus. Paling butuh sejam doang di perjalanan, ga masalah.”
Lucas terkejut mendengar hal itu. "Lah, terus buat apa gua bayar tunggakan kontrakan lu kemarin, kalo lu mau pindah ke sana? Lu kan bisa bilang dari awal, Gaga setan!”
Sagara menghela napas panjang, merasa sedikit bersalah. “Sorry, gua bakal ganti duit lu kok. Gua juga bakal ngomong ke pemilik kontrakan buat minta pengembalian dana. Santai aja, gua ga bakal bikin lu rugi.”
Lucas akhirnya mengalah. “Ya udah deh, Ga. Lu jaga diri aja, ya. Kalo butuh bantuan, lu tau gua ada di sini buat lu.”
Sagara tersenyum tipis, walau Lucas tidak bisa melihatnya. “Gua tau. Thanks ya.”
Setelah menutup telepon, Sagara kembali menyantap hidangannya. Meskipun percakapan tadi cukup melelahkan, dia merasa satu beban telah lepas dari pundaknya.