Novel dengan bahasa yang enak dibaca, menceritakan tentang tokoh "aku" dengan kisah kisah kenangan yang kita sebut rindu.
Novel ini sangat pas bagi para remaja, tapi juga tidak membangun kejenuhan bagi mereka kaum tua.
Filosofi Rindu Gugat, silahkan untuk disimak dan jangn lupa kasih nilai tekan semua bintang dan bagikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ki Jenggo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Rusaknya Tempat Sakral
Saya juga memberikan penjelasan bahwa ada cungkup yang di sebut candi. Cungkup tersebut berada di Dukuh Peh Pandan Desa Candi Kecamatan Mlarak masih di area Kabupaten Ponorogo.
"Orang Marak menyebut pada Desa yang keberadaan cungkup tersebut, dengan nama Desa Candi, " kataku.
"Apa tidak mungkin dulu ada bangunan Candi yang besar di wilayah situ, Kak?" tanya Ima.
"Sejauh ini keterangan orang orang, yang di sebut candi adalah cungkup tersebut. Aku sudah dua kali berkunjung ke Desa Candi untuk mencari sebaran benda purbakala. Tapi juga belum maksimal dan tidak menemukan benda yang beridentitas bangunan candi di sekitar cungkup tersebut, " jawabku.
"Apa tak mungkin sudah di selamatkan orang," kata Hengki sambil menyeruput kopi.
"Bisa jadi, tapi kalau ada, orang orang tentu sudah menceritakan. Pada buku tulisan tangan Sejarah Desa di Ponorogo yang diperkirakan di tulis oleh Purwa Wijaya, ada kalimat, bahwa konon di lokasi candi itu ada arca seperti anjing," kataku.
"Sekarang..... " sahut Ima
"Tidak ada," jawabku.
"Wah, kalau arca batu hilang itu, dulu juga ada cerita, Mas. Di dukuh Ngasinan juga ada arca yang dulu di rusak. Tapi yang merusak itu orang sinting atau tidak waras," kata penjual kopi.
"Tidak waras merusak arca atau setelah merusak arca tidak waras, Mbak?" tanya Anika.
"Kurang jelas saya tentang cerita itu. Tapi konon di kisahkan, orang yang merusak arca tersebut orang tidak waras," jelas penjual kopi.
"Benar. Saya yakin itu... " ujar Hengki.
"Kok langsung yakin," Pras sangsi akan kata Hengki.
"Kalau waras jelas hak berani merusak. Sebab paham akan pentingnya penelusuran sejarah, " kata Hengki.
Kami semua tersenyum kecil, meski agak kecewa dengan kalimat gurauan Hengki.
"Tapi ada kisah, di suatu daerah merusak linggo dan Yoni. Orang yang merusak itu orang waras. Tapi setelah merusak menjadi gila," tutur Ima.
"Masa iya, Mbak," penjual kopi yang ikut ngobrol,bersama kami rupanya menyangsikan keterangan Ima.
"Entah, lah, Mbak," tapi yang kami dapat cerita dari masyarakat sekitar demikian," tegas Ima.
Ima menuturkan, bahwa ada sebuah peninggalan masa lalu di sebuah desa. Pada waktu tahun 1965, di wilayah tersebut ada lokasi yang di sebut sadranan. Sadranan sebetulnya adalah sebuah lokasi tempat melaksanakan upacara tradisional bagi masyarakat sekitar.
Selain ada pohon beringin besar di tempat itu terdapat sebuah benda, yang orang menyebut waru lumpang. Benda tersebut tak lain adalah linggo dan yoni. Di saat itu banyak orang yang kurang dalam pemahaman keagamaan atau bahkan baru mengenal ajaran agama. Mereka menganggap kafir bagi masyarakat yang datang ke lokasi sadranan.
Bahkan orang yang melaksanakan upacara tradisional di tempat itu di halang halangi. Sudah beberapa kelompok yang ingin datang ke lokasi tersebut, di halangi olehnya.
Sebab menurut pendapatnya, orang yang melakukan upacara daftaran memubazirkan makanan.
Suatu hari ada orang kampung sebelah, lebih dari delapan yang hendak melakukan upacara tradisional di Sadranan. Karena dari kampung sebelah, bisa jadi tidak berani menghalangi. Maka, orang itu hanya menyaksikan dari jauh, mereka yang melakukan upacara tradisional tersebut.
"Setelah para pelaku upacara tradisional itu pulang dengan meninggalkan sesaji, orang tersebut mendatangi lokasi sadranan," terang Ima.
"Paling mau mengambil dan memakan sesaji yang ditinggalkan, "kata Anika.
"Tidak begitu ceritanya," jawab Ima.
"Lantas gimana?" tanya Pras, sambil menyulut rokoknya.
Ima menerangkan, orang itu datang mengobrak ngabrik sesali tersebut. Semula sesali yang ada telurnya, ia ambil dan dibuang ketengan jalan raya.
"Sedang sesali yang di sebut cok bakal, di letakkan di samping yoni ia lempar juga ketengah sawah, "lanjut Ima.
"Ini namanya, kurang fair. Justru dia yang memubazirkan benda tersebut. Ngapain di buang ke jalan raya..." tukas Pras.
"Kalau di bawa pulang, justru tidak mubazir bisa di manfaatkan," tambah Hengki.
Kami semua tersenyum mendengar celutuk Hengki.
"Kurang puas dengan itu, orang tadi membawa Martil besar. Cereknya yoni ia pukul dengan martil. linggo ia angkat dan ia lempar begitu saja, karena tidak berhasil mau mematahkan linggo tersebut, " tegas Ima.
"Wah, kok dramatis benar, Ima nih ceritanya, " ujar Anika.
"Memang... Saya yakin itu. Di tahun itu banyak cerita, pengrusakan pada benda yang di anggap sebagai benda keramat. Bahkan ada pembakaran kayu yang di pakai pemujaan lho, " ujar penjual kopi yang selalu ikut dalam pembicaraan kami.
"Memang di sini ada yang begitu, Mbak?" tanya Ima.
"Kurang tahu, Mak. Namun ada kisah di tempat nenek saya. Ada sebuah gunung yang di anggap keramat oleh masyarakat. Di situ ada dua pohon beringin besar. Tepatnya sih, di kaki Gunungnya. Namanya Waringin Kembar. Di situ banyak masyarakat yang datang untuk melaksanakan kegiatan ritual," ujar penjual kopi sambil mengunyah jajanan buatannya.
"Sebentar. Bagaimana ceritanya, yang merusak Linggo dan Yoni tadi," tanya Pras.
"Oh, tadi belum selesai to, saya kira sudah, " ujar penjual kopi.
"Setelah itu orangnya jadi sinting, lalu di panggilkan paranormal. Setelah itu sembuh, namun ya kadang masih sinting kata masyarakat setempat," terang Ima.
"Sekarang ganti Mbaknya yang cerita, " kata Pras.
"Wah sekarang ada moderatornya, " kata Ima di sambut tawa bersama.
Ketika si Penjual kopi mau bicara melanjutkan kisahnya, tiba tiba Pras menghentikan dan membuat penjual kopi agak terkejut.
"Sebentar, sejak tadi, Mbak, selalu nimbrung. Tapi belum mengenalkan siapa nama Mbake. Silakan kenalan dulu, ya... " kata Pras di sambut tawa Ngakak dari kami.
"Setuju. Dan sangat setuju," sahut Anika.
Kami serempak menyetujui usul dari Anika. Mau tidak mau Penjual kopi itu menjelaskan namanya. Dia bernama Indah yang merupakan masyarakat sekitar Suko Sewu.
"Sekarang Mbake saya persilakan untuk menceritakan kembali tentang sebuah gunung dan pohon beringin kembar, " ujar Pras.
Indah si penjual kopi itu kemudian mengisahkan bahwa, di kampung nenaknya ada upacara labuhan. Upacara itu dilaksanakan saat hujan baru turun. Sebagai bentuk rasa syukur pada Tuhan karena hujan telah turun sehingga masyarakat bisa menanami kembali lahan mereka. Dan acara labuhan juga sebagai doa untuk cocok tanam agar hasil panen nanti bisa baik dan bermanfaat.
"Upacara itu diikuti dari kampung tempat nenek tinggal, bahkan sampai luar kampung. Hampir seratus orang berkumpul dan masing masing membawa nasi yang diletakkan di encek (bentuk wadah sesaji nasi dari gedebog dan daun pisang)," terang Indah mengawali kisahnya.
Di kala upacara Tradisional dilaksanakan, juga tidak terjadi apa apa. Tapi setelahnya, beberapa orang mendatangi lokasi tersebut. Di bawah kedua pohon beringin itu ia kumpulkan dahan dan ranting ranting kering. Kemudian ia siramkan beberapa liter minyak tanah. Dibakarlah area sakral Waringin kembar itu.
"Tapi anehnya.... ", Indah, penjual kopi itu menghentikan ceritanya.
"Tetapi, kenapa, Mbak? tanya Pras.
*****
mari terus saling mendukung untuk seterusnya 😚🤭🙏
pelan pelan aku baca lagi nanti untuk mengerti dan pahami. 👍
bantu support karyaku juga yuk🐳
mari terus saling mendukung untuk kedepannya