Takdir Cinta Yang Salah

“Oh iya,” lanjut Tante Sindy, “karena kamu akan menikah sama Karina seminggu lagi, kamu harus putusin pacar kamu itu,” perintahnya tegas. Dion menggigit bibir, merasa terdesak. “Dan kamu juga harus putus dari Ricky, Karina,” tambah Ibu Mira.

“Udah putus, Bu,” jawab Karina sambil cemberut, suaranya rendah, matanya menatap lantai.

“Oh, bagus kalau begitu,” Tante Sindy tersenyum tipis. “Berarti tinggal kamu, Dion,” ujarnya sambil mengarahkan tatapan tajam ke anaknya.

Dion menarik napas panjang, merasa terpojok. “Oke, Mah. Dion bakal tanggung jawab nikah sama Karina. Tapi Dion nggak mau publikasikan hubungan ini. Itu bisa merusak karier Dion sekarang,” katanya, mencoba memberikan syarat.

Tante Sindy mengangguk pelan, mempertimbangkan permintaan itu. “Hmm, oke. Sejujurnya, itu juga lebih baik buat Karina. Kalian masih bisa sekolah seperti biasa. Kalau pun Karina hamil, itu nggak masalah. Sebentar lagi kalian juga Ujian Nasional,” jawab Tante Sindy, menyetujui syarat Dion dengan nada pragmatis.

...****************...

Setelah percakapan yang berat tentang pernikahan selesai, Dion menerima telepon dari Alisha. Wajahnya mendadak tegang, kebingungan menyelimuti pikirannya. Dia gelisah saat melihat nama Alisha muncul di layar ponselnya.

“Dion, kamu kapan pulang dari Bali?” tanya Alisha langsung, tanpa basa-basi.

“Emm… mungkin seminggu lagi deh,” jawab Dion, suaranya terdengar ragu.

“Hah, kok lama banget sih? Kamu ngapain aja di sana? Aku nyusul aja, ya!” Alisha menawarkan, terdengar ingin memastikan keadaan Dion.

“Jangan, Sha… Maaf banget, aku harus nemenin Mamah. Nanti kalau urusan udah selesai, aku bakal pulang. Kamu sabar, ya, cantik,” Dion mencoba menenangkannya, meski hatinya penuh kegelisahan.

“Kamu bohong, ya? Apa coba yang lebih penting dari aku? Kan kamu bisa pulang dulu, terus balik lagi ke Bali. Deket ini,” jawab Alisha, suaranya mulai penuh curiga. Dion merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, merasa bersalah karena berbohong. “Kamu nggak selingkuh di Bali, kan?” Alisha semakin mendesak, menyisakan rasa curiga yang tajam di nadanya.

“Enggak, Sayang. Beneran deh, aku sama Mamah di sini. Aku kirim foto Mamah, ya, biar kamu percaya,” jawab Dion, berusaha keras meyakinkan pacarnya.

“Ya udah, kali ini aku percaya. Tapi awas ya, kalau kamu bohong…” jawab Alisha dengan nada kesal, tak sepenuhnya yakin, namun akhirnya menyerah pada janji Dion.

Dion menutup telepon, rasa bersalahnya makin menumpuk, sementara pikirannya masih berkecamuk di antara tanggung jawab yang menjeratnya dan kebohongan yang terpaksa ia tutupi. Karina dan Dion duduk di tepi pantai, angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka. Namun, suasana di antara mereka terasa jauh dari tenang, meskipun pemandangan di sekitar begitu indah.

“Karina, gue udah bilang, gue itu punya pacar, dan gue cinta banget sama dia. Gue nggak bisa putusin Alisha,” kata Dion dengan nada tegas.

“Jadi, ini risiko lo nikah sama gue. Karena lo nggak nolak pernikahan ini, gue tetap akan jalanin hubungan gue dengan Alisha.”

Karina menatap ke arah laut, matanya kosong, tapi suaranya tenang. “Oke, gapapa kok. Gue juga nggak akan anggap pernikahan ini serius. Sekarang, gue cuma nggak mau ngecewain ibu gue,” jawab Karina sambil menarik napas panjang.

“Pernikahan ini cuma sebatas status di depan orang tua kita. Ada saatnya kita bakal cerai, dan gue akan pergi dari hidup lo. Jadi tenang aja, gue nggak akan ganggu hubungan lo sama Alisha.”

Dion menghela napas lega, meski sedikit ketus. “Bagus kalau begitu. Jadi, gue bisa terus jalanin hubungan gue sama Alisha tanpa merasa bersalah soal perasaan lo.” “Oke. Jadi kita bisa jalani hidup masing-masing, tetap bersama orang yang kita suka, tanpa drama apa pun,” sahut Karina, suaranya datar, tanpa emosi.

Mereka berdua terdiam, hanya suara ombak yang terdengar, seolah menjadi saksi perjanjian tak tertulis di antara mereka. Mereka pun akhirnya menyetujui pernikahan yang terpaksa itu dengan syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri sebuah pernikahan tanpa cinta, hanya untuk memenuhi ekspektasi orang tua.

Hubungan yang seharusnya bisa menjadi awal pertemanan yang baik kini berubah menjadi sesuatu yang dingin dan jauh, sebuah kesepakatan yang membuat mereka lebih memilih untuk saling menghindar, alih-alih saling mengenal Pernikahan itu diadakan secara tertutup di Bali, hanya dihadiri oleh kerabat terdekat. Di antara para undangan, Intan, sahabat setia Karina, hadir sebagai orang kepercayaannya.

Saat pemberkatan dimulai, Karina tampak anggun dalam gaun pernikahannya yang memukau, sementara Dion terlihat sangat tampan dengan jas hitam yang membalut tubuhnya. Keduanya tampak serasi, seolah-olah mereka memang ditakdirkan bersama. Di hadapan keluarga dan teman-teman yang menyaksikan dengan penuh haru, mereka mengucapkan janji suci untuk saling mencintai hingga akhir hayat.

Setelah upacara selesai, di tepi pantai, ibu Mira dan tante Sindy terlihat sedang mengobrol sambil tertawa diiringi debur ombak yang tenang. “Akhirnya anak kita menikah juga. Rencanamu keren banget, Sin. Tapi ya, walaupun agak kebablasan, anakku udah nggak perawan,” ujar bu Mira sambil tersenyum pahit.

Tante Sindy tertawa kecil. “Mau gimana lagi, ini satu satunya cara buat ngelepasin Dion dari pacarnya yang morotin dia. Tenang aja, Mir, aku yakin Dion pasti bakal jatuh cinta sama Karina,” jawab tante Sindy penuh keyakinan. “Semoga, Sin. Aku suka Dion, dia orangnya lembut dan sopan,” sahut bu Mira sambil memandang lautan yang luas.

...****************...

Flashback

Kedatangan Tante Sindy ke Rumah Karina Ternyata, ketika Karina pergi tidur di kamarnya, ibunya dan tante Sindy merencanakan perjodohan itu dengan matang. Mulai dari ide liburan ke Bali, kunjungan ke nightclub, hingga minuman yang sudah dicampur obat perangsang—semua adalah bagian dari rencana licik tante Sindy untuk memastikan mereka bersatu.

...****************...

Di balik pintu kamar mandi, air mulai mengalir, namun tak mampu menutupi isak tangis yang mulai keluar dari bibir Karina. Tangannya gemetar saat ia menyentuh air dingin yang mengalir di tubuhnya. Air mata bercampur dengan tetesan air, membasahi wajahnya. Karina tak percaya hidupnya telah berubah begitu drastis, hancur secepat kilat. Ia terjebak dalam pernikahan dengan pria yang sama sekali tidak dikenalnya, sementara hatinya masih terluka karena patah hati. Seolah-olah rasa sakitnya belum cukup, sekarang ia harus menghadapi masalah baru yang lebih besar.

Di luar kamar mandi, Dion duduk termenung. Kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran. Bagaimana caranya menjalani kehidupan yang tiba-tiba berubah? Sekarang ia memiliki seorang istri Karina, perempuan yang tak pernah ia cintai sedangkan di luar sana, ia masih punya pacar, seseorang yang sebenarnya ingin dia nikahi. Sementara pikirannya melayang, merenungi nasibnya, tiba-tiba ia merasakan sebuah sentuhan di pundaknya. Dion tersentak, seolah terbangun dari lamunan.

"Baju apaan nih?" Karina berteriak kesal, lalu melempar lingerie yang baru saja dilihatnya ke lantai. "Aduh, ngapain sih ibu ngasih baju tidur model beginian? Nggak ada yang lain apa?" gerutunya sambil memandang tak percaya.