menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Sore itu, suasana terasa lebih menegangkan daripada sebelumnya. Aku, Rani, dan Tiara berkumpul di tempat yang ditunjuk oleh sang kakek, mempersiapkan diri secara mental.
Perlahan, sang jingga mulai kehilangan eksistensinya. Cahaya matahari meredup seiring dengan waktu yang terus berlalu. Suara guntur mulai terdengar, disertai kabut yang mulai menyelimuti kami. Serangga malam pun mulai menunjukkan bakatnya, dan di saat yang sama, seekor monyet putih muncul dari balik semak, berdiri di antara dua pohon besar sambil menatap ke arahku. Saat itulah kami tahu bahwa kami harus bergerak.
Aku pamit pada sang kakek. Saat aku menyentuh tangannya, terasa hangat. Ia mengusap rambutku dan menasihatiku untuk menjaga kedua temanku.
Kegelapan mulai menyelimuti hutan, dan setengah cahaya bulan bersinar redup. Kami merasakan ketegangan yang membara di dalam hati. Dalam hati, aku berdoa, berharap Aji dan Bimo masih hidup dan bisa kami bawa kembali.
“Sudah saatnya kita pergi,” kataku.
Kami mulai melangkah mendekati monyet tersebut. Monyet itu bergerak dengan tenang, seolah menjadi pemandu jalan, dan tampaknya tidak takut dengan keberadaan kami yang mengikutinya dari belakang.
Kami menyusuri jalur sempit, terbenam dalam kegelapan hutan. Setiap langkah, rasa takut dan harapan bertabrakan. Ada rasa bimbang dalam hati, tapi aku tidak bisa membiarkan ketakutan mengalahkan harapan untuk menemukan kedua sahabatku dan membawanya kembali.
Setelah berjalan beberapa waktu, monyet itu tiba-tiba berlari meninggalkan kami. Saat kami mencoba mengejarnya, kami baru sadar bahwa kami berada di tempat yang tidak biasa.
Suasana tiba-tiba berubah. Kami merasakan aura aneh di sekitar kami. Di hadapan kami, terlihat sebuah pasar tradisional yang ramai. Orang-orang berinteraksi dan bertransaksi satu sama lain. Kereta kuda melintas di depan kami yang sedang berdiri.
“Ra, kita mesti ke mana ini?” Tiara berbisik, ketakutan.
Sambil mengambil napas dalam-dalam, aku berkata, “Tunggu bentar. Sepertinya kita harus ke sana. Coba kalian perhatikan orang-orang di sana. Di antara mereka, hanya bapak itu yang gerakannya selalu berbeda. Yang lainnya sama semua.” Aku menunjuk seorang bapak yang berada di dalam jongko. “Iya bener, kalau diperhatikan, gerakan mereka sama semua,” jawab Tiara.
“Ya sudah, kita ke sana. Pegangan, jangan sampai terpisah!” kataku lalu berjalan mendekati bapak itu.
Kami melangkah maju ke pasar, jantungku berdebar kencang. Setiap langkah, aku mengingat pesan kakek untuk menjaga kedua temanku ini.
Sampailah kami di depan jongko. Suasana di sekeliling kami terasa semakin aneh. Suara tawa dan bisikan datang dari semua arah, mengisi udara dengan energi yang sulit dijelaskan. Kami merasakan ketegangan dan ketidakpastian, tetapi satu hal yang pasti: kami harus menemukan Aji dan Bimo.
Aku memberanikan diri untuk bertanya pada si bapak. Ketika hendak berbicara, si bapak langsung berkata dengan nada marah, “Pergi! Di sini bukan tempat untuk kalian!”
“Maaf, Pak. Saya ke sini karena mencari sahabat saya. Apa bapak pernah lihat mereka?” tanyaku dengan sedikit ketakutan.
Dengan wajah yang masih penuh emosi, si bapak menarikku masuk ke dalam jongko-nya.
“Auw, sakit, Pak!” teriakku spontan. Si bapak tidak menghiraukanku. Kini aku, Rani, dan Tiara berada di dalam jongko bersama si bapak. Untuk beberapa saat, si bapak tidak berkata apa-apa. Kami hanya bisa diam, memperhatikan sekeliling dengan penuh kebingungan.
“Kalian tidak seharusnya ada di sini. Sebaiknya kalian segera kembali. Kedua teman kalian tidak bisa diselamatkan. Pulanglah sebelum terlambat,” ucap si bapak sambil menatap kami bertiga.
“Tapi, Pak...” ucap Rani, memotong perkataan si bapak.
“Coba kalian perhatikan baik-baik,” ucap si bapak, menunjuk pada orang-orang yang berada di depan kami.
“Apanya yang aneh? Mereka kelihatan normal,” jawab Tiara polos.
Si bapak kemudian berkata, “Mereka semua dulunya sama seperti kalian. Mereka di sini karena melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Coba kalian perhatikan, setiap orang berjalan dari tempat yang sama, kemudian berinteraksi lalu pergi. Setelah pergi, suasana sepi, kereta kuda lewat dengan rombongan berjalan di belakangnya. Setelah mereka berlalu, aktivitas pasar kembali seperti sebelumnya. Mereka kembali ke tempat yang sama dengan gerakan yang sama. Terus berulang seperti itu,” jelas si bapak.
“Jadi, semua itu sama, seperti pengulangan,” ucapku sambil terus memperhatikan.
“Apakah orang itu yang kalian cari?” tanya si bapak, menunjuk pada sebuah rombongan yang melintas.
Kami semua kaget setengah mati. Terlihat jelas di depanku, Aji dan Bimo berjalan melewati kami, sebuah rantai terlilit di leher mereka, dan punggung mereka terus dicambuk oleh orang di belakangnya.
“Ra, itu mereka, Ra! Tolongin, Ra! Kasihan! Kenapa mereka disiksa seperti itu?” ucap Tiara sambil menangis.
Aku mencoba untuk keluar dari jongko si bapak, tapi si bapak menahanku. Ia berkata, “Kalian tidak bisa melakukan apa-apa. Yang kalian lihat hanyalah sukma. Mereka sudah menyatu bersama yang lainnya.”
Ucapan si bapak tak kuhiraukan. Dengan sedikit paksaan, aku berlari ke arah rombongan tersebut, diikuti Rani dan Tiara.
“Aji! Bimo!” teriakku.
Mereka menoleh padaku, tersenyum, lalu berlalu.
Kejadiannya terus berulang. Apapun yang kami ucapkan, hasilnya selalu sama. Aji dan Bimo hanya tersenyum lalu berlalu.
Saat itu, perasaan kami benar-benar hancur. Kami tidak bisa melakukan apa-apa selain melihat Aji dan Bimo disiksa.
Kami pun duduk di tanah karena tak kuat menahan beban siksaannya.
“Maafkan aku, teman-teman. Aku tidak bisa pulang bareng kalian. Maafkan aku,” suara Bimo terdengar jelas di telingaku.
“Maafkan aku. Gara-gara aku, kalian semua jadi seperti ini. Kalian tidak usah khawatir, kita berdua baik-baik saja. Nanti kalau waktunya tiba, kita akan kembali. Jaga diri kalian,” suara Aji menggema di sekitar kami. Aku melihat ke sekeliling, tetapi tidak melihat keberadaan Aji.
Akhirnya, waktu perpisahan pun tiba. Terlihat segerombolan monyet putih berkumpul di perbatasan pasar.
Dengan langkah berat, aku, Rani, dan Tiara meninggalkan pasar. Hati kami dipenuhi rasa sakit dan kehilangan. Setiap langkah terasa seolah mengiris perasaan kami, mengingat semua kenangan indah yang pernah kami lalui.
“Kenapa jadi begini?” ucap Tiara sambil menangis. Saat itu, aku hanya bisa terdiam. Hatiku terasa hancur. Nafasku pun terasa sesak.
Kami berjalan mengikuti segerombolan monyet putih tersebut. Langkah yang semakin berat, fisik yang semakin lemas membuat aku beberapa kali terjatuh. Sampai akhirnya, kami bertiga jatuh bersama-sama.
Sekilas, aku melihat Aji dan Bimo melambaikan tangan mereka ke arahku. Aku mencoba menggapai mereka, namun seiring dengan rasa putus asa yang menggerogoti hatiku, semuanya menjadi gelap, dan aku pun pingsan.
Ketika aku tersadar, suara-suara ramai di sekelilingku membangunkanku dari ketidakberdayaan. Begitu membuka mata, aku mendapati diriku dikelilingi oleh orang-orang yang khawatir. Kenangan tentang Aji dan Bimo kembali menghempaskanku, dan air mata pun mengalir deras di pipiku.
Setelah proses pemulihan, aku, Rani, dan Tiara memutuskan untuk kembali ke Bandung.
Sebelum kami menaiki kendaraan, aku menoleh ke arah hutan dengan penuh rasa berat. “Selamat tinggal, Aji. Selamat tinggal, Bimo. Kami akan merindukan kalian selamanya,” ucapku dengan suara yang hampir tercekat oleh tangis.
Dengan air mata yang masih menggenang, kami melangkah masuk ke dalam kendaraan, meninggalkan Gunung Lawu dan segala kenangan indah yang pernah kami bagi di sana.
Sesampainya di Bandung, perlahan kami merasakan dunia kembali bergerak, namun rasa kehilangan itu masih membekas di hati. Kami tidak bisa mengubah kenyataan yang telah terjadi, tapi kami berjanji bahwa Aji dan Bimo tidak akan pernah dilupakan.
“Mulai sekarang, kita akan mengadakan pertemuan setiap bulan untuk mengenang mereka,” usulku, dan Rani serta Tiara mengangguk setuju. “Kita akan bercerita tentang semua petualangan yang telah kita alami bersama.”
Kami berjalan menyusuri jalanan kota Bandung, dengan rasa kehilangan yang mendalam. Tak ada lagi tawa Aji dan Bimo yang akan menemani kami. Namun, meskipun begitu, kami bertekad untuk selalu mengingat setiap momen yang telah dilalui bersama.
“Aji, Bimo, aku sayang kalian... Maafkan aku,” bisikku penuh rasa haru, saat kami melanjutkan perjalanan dengan hati yang berat.