Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melarikan diri
Ajat dengan tergesa-gesa pergi meninggalkan jasad Pak Arifin yang berada di dalam candi. Dia menggendong keranjangnya pergi meninggalkan hutan larangan.
"Semoga, aku tidak bertemu dengan Kang Wijaya!" tegasnya, melangkah dengan cepat kembali ke jalan utama, saat kembali melewati rumah Pak Arifin, dia dihadang oleh Arini, anak gadis Pak Arifin yang menatapnya dengan tatapan penuh curiga.
"Ajat! Tunggu!" teriak Arini, berdiri di tengah jalan, membuat Ajat terhenti.
"Apa Neng?" tanya Ajat, mencoba bersikap tenang seolah tak terjadi apapun.
"Mana bapakku?" tanya Arini.
"Lha, kenapa tanya sama Aa?"
"Jangan pura-pura! Bapak kan tadi ngejar kamu!"
"Oh, jadi Pak Arifin disuruh Neng Arini buat ngejar saya ya?"
"Dimana bapak! Kalau gak jawab, aku bakal teriak sekenceng mungkin biar penduduk desa datang!" ancam Arini.
"Lakukan saja, toh. Aku juga sudah tahu rahasiamu, pemuda yang tewas di kolam ikan lele itu pacarmu kan? Dia cowok miskin ya," Ajat berusaha mencolek wajah Arini namun Arini menghindar.
"Kenapa kamu bisa tahu?" tanya Arini kaget, matanya membesar seketika, nafasnya juga tertahan di tenggorokan.
"Aku memiliki penawaran, kalau kamu mau. Ayo ikut denganku, pergi dari desa ini. Kalau kamu ikut, kita bisa menikah dan hidup bahagia di tempat lain."
"Kurang ajar! Siapa yang mau menikah dengan pemuda yatim piatu miskin sepertimu!" tegas Arini.
Lalu ajat menurunkan keranjangnya, dia menunjukan setumpuk emas di dalam keranjang itu.
Jantung Arini berdebar kencang, melihat setumpuk emas di keranjang Ajat. Lalu Arini mencoba memegang emas itu, tapi Ajat menepuk tangannya seraya berucap, "Jangan sentuh hartaku!"
"Aku mau ikut denganmu! Maafkan aku sudah mengatakan hal buruk padamu, bawa aku pergi dari desa adat ini."
"Bawa tidak ya, soalnya aku sudah terlanjur sakit hati disebut pemuda miskin yatim piatu,"
"Aku mohon Aa Ajat, ajak aku pergi dari desa adat ini. Aku sudah terlalu lama tersiksa di desa ini," pinta Arini.
"Begini saja, di hutan larangan itu masih banyak emas dan harta lainnya, letaknya ada di dekat batu besar, disitu ada peti berisi harta karun, cepat pergi sebelum warga lain menemukannya. Bapakmu juga ada disana kok!"
"Begitu ya! Baiklah, makasi Aa Ajat!" Arini lalu masuk ke dalam rumah.
"Dasar wanita gila harta, tertipu juga kamu." Ajat lalu segera pergi meninggalkan rumah Pak Arifin.
Ajat berlari menuju gerbang desa, namun saat di belokan, ternyata Wijaya Kusuma muncul dan memanggil sahabatnya, "Ajat!"
Tatapan Wijaya menyipit, matanya penuh keraguan. Dia mengerutkan dahinya sambil bertanya, "Habis dari mana, Jat?"
"Tadi habis dari sawah, Akang dari mana saja? Kok tidak ada datang ke ladang anggur?"
"Ya, tadi mendadak ada segerombol gadis dari kota yang datang jauh-jauh kesini untuk menemuiku," jawab Wijaya masih dengan tatapan ragu.
"Ya sudah, saya akan antarkan anggur ini ke bawah sendirian," jawab Ajat.
"Tidak perlu, ini sudah hampir sore. Lebih baik besok pagi saja, anggurnya kita simpan di rumahku, ayo Jat. Sekalian makan di rumah saya."
"Ah, tidak. Aku mau pulang dulu Kang."
"Oh, ya sudah. Kemarikan anggurnya, kamu pasti capek Jat. Gantian, giliranku menggendong anggur itu."
"Tidak usah Kang, saya kan sudah biasa memikul beban berat. Ayo atuh, kita pulang ke rumah Akang."
Ajat mencoba menyembunyikan kepanikannya, dia berharap Wijaya Kusuma tidak melihat isi dalam keranjangnya. Ajat mencoba mengulur waktu, dia tidak bisa menghindar dari Wijaya Kusuma.