Seorang laki-laki diminta menikahi puteri pengusaha kaya mantan majikan ibunya. Padahal baru saja ia juga melamar seorang wanita. Bimbang antara membalas budi atau mewujudkan pernikahan impian, membuatnya mengalami dilema besar. Simak kisah cintanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 13
Nadya kini sudah duduk di tepi tempat tidur apartemennya. Rasa lelah sepulang bekerja rasanya menjadi berkali-kali lipat karena masalah yang dibicarakan Ardha tadi. Marah, sedih, kesal, nelangsa, semua seperti campur aduk.
Mendengar penjelasan Ardha, Nadya sebenarnya cukup memahami posisi Ardha yang serba salah. Tapi sebagai seorang manusia yang tentunya punya sisi egois, Nadya sungguh berharap Ardha menolak pernikahan itu apapun alasannya. Ia tak rela bila Ardha menjadi milik wanita lain sebelum menjadi miliknya meskipun sekedar untuk menutupi sebuah aib. Pernikahan tetaplah sebuah pernikahan dimana di dalamnya ada dua orang yang terikat.
Nadya tak sanggup membendung air matanya. Sedih akan nasibnya, kesal akan kejadian yang menimpanya, marah atas keputusan Ardha yang menerima pernikahan itu, nelangsa karena ia merasa tak sanggup untuk membatalkan lamaran yang telah diterimanya.
Ujung-ujungnya dia minta waktu berpikir lagi, walaupun dia sudah tahu pasti bahwa dia akan tetap menerima lamaran Ardha dan bersedia menikah dengannya setelah Ardha bercerai. Dia melakukan itu hanya agar Ardha mendapat kesan bahwa ia bukan wanita yang selalu menerima keadaan. Bahwa dia adalah wanita yang juga mempertimbangkan logika dan bukan perasaan semata.
Nadya merasa seperti mengalami pengulangan kejadian, tapi kali ini dengan aura negatif..
Dering telepon menyadarkannya. Nama Aris muncul di layar. Nadya tahu Aris pasti hanya ingin memastikan apakah Nadya baik-baik saja. Tidak Aris, aku tidak baik-baik saja, begitu ucapnya dalam hati. Nadya mematikan telpon tanpa menjawabnya. Kemudian dia menghempaskan tubuhnya di tempat tidur sambil terisak pilu.
**********
Aris menatap layar ponselnya dimana terlihat panggilan diputus oleh orang di seberang saluran. Aris hanya menghela nafas, tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Nadya saat ini. Lalu bagaimana dengan perasaannya sendiri?
Kalau saja ia tak bisa menempatkan diri di situasi Ardha, tentu rasa geram akan membuat kepal tinjunya langsung dihantamkan ke wajah atasannya itu. Tetapi ia paham bahwa Ardha pun sebenarnya sedang merasakan kesedihan yang sama dengan Nadya. Hutang budi bukan perkara sepele bagi seorang lelaki, termasuk bagi Aris sendiri. Andaipun dia pernah berhutang budi begitu besar pada seseorang dan memiliki kesempatan untuk menebusnya, Aris pasti akan melakukannya.
Ah, kenapa malah dia yang jadi pusing. Akhirnya ia meraih handuk dan segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mendinginkan kepalanya yang terasa panas.
**********
Sementara itu Ardha masih duduk di ruang kerjanya di restoran. Tapi ia sudah tidak semangat lagi meneruskan pekerjaannya. Akhirnya ia cuma duduk menelungkupkan wajahnya di atas meja. Rasa bersalah menguasai hatinya.
Awalnya dia berniat untuk tidak memberitahu Nadya tentang pernikahannya. Dia berencana hendak membuat alasan-alasan yang memungkinkan dia untuk menunda waktu pernikahan dengan Nadya sembari menyembunyikan status pernikahannya dengan Mawar.
Tetapi kemudian hati kecilnya merasa tercubit dan menolak itu. Bagaimana mungkin ketika ia ingin menjalin sebuah ikatan suci, tetapi dusta lah yang menjadi landasannya. Walaupun terpaksa, akhirnya Ardha memberanikan diri untuk berterus terang kepada Nadya tentang semuanya.
Tangan Ardha kini tengah menimang-nimang ponselnya. Ia masih ragu apakah perlu menghubungi Nadya lagi atau tidak mengganggunya dulu. Khawatir emosinya masih belum stabil, Ardha pun akhirnya memutuskan untuk mengurungkan niatnya dan memilih untuk pulang.
***********
Hari ini Nadya benar-benar tidak bersemangat untuk pergi bekerja. Rasa lelah datang bahkan sebelum ia melakukan apa-apa. Saat memanjatkan doa ba'da sholat subuh tadi kembali air matanya berurai, memohon pada Yang Maha Kuasa agar diberi kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani takdir hidupnya.
Namun seberat apapun, dia harus tetap bertanggung jawab atas pekerjaannya. Walaupun enggan, akhirnya dia berangkat menuju restoran dan berusaha tetap fokus pada pekerjaannya. Sedapat mungkin dia menghindari interaksi dengan Ardha. Hatinya masih terasa sakit mengingat kejadian kemarin.
Karyawan administrasi yang lain tentu melihat perubahan sikap Nadya yang seharian cenderung banyak diam, hanya bicara bila benar-benar perlu. Tapi mereka maklum, karena begitulah hidup. Kadang senang, tak jarang pula susah. Mereka hanya bisa berharap semoga masalah apapun yang dialami Nadya bisa cepat selesai.
Saat jam kerja telah berakhir, para karyawan terlihat mulai bersiap untuk pulang. Tetapi Nadya terlihat masih berkutat dengan pekerjaannya. Sepertinya bekerja sedikit mengurangi beban pikirannya agar tidak terlalu fokus kepada masalah Ardha.
"Assalamualaikum.. permisi.. ", ucap seseorang di ambang pintu.
Nadya tidak melirik sedikitpun ke arah sumber suara karena dia hapal siapa pemilik suara itu.
"Wa'alaikumussalam", jawabnya datar masih dengan mata dan tangan fokus pada pekerjaannya.
Beberapa detik terasa sunyi, karyawan administrasi yang lain sudah keluar ruangan, tapi sosok di ambang pintu itu tetap tak bergeming.
Sedih & lucu...
Masih ada beberapa kesalahan nama...