Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Experiment terakhir
Malam itu, suasana di warkop terasa sedikit berbeda bagi Rehan. Setelah melakukan berbagai eksperimen yang membingungkan selama beberapa minggu, akhirnya ia sampai pada titik di mana ia merasa yakin—perasaan ini bukan hanya sekedar logika atau fenomena yang bisa dijelaskan dengan rumus. Cinta. Perasaan yang selama ini ia coba jelaskan dengan sains, ternyata semakin rumit dan mendalam dari yang ia kira. Dan hari ini, ia ingin membuktikan itu dengan cara yang sangat ilmiah, yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri.
Dinda, yang sudah mengenal Rehan cukup lama, sudah terbiasa dengan pembicaraan aneh tentang eksperimen dan data yang tak terhitung jumlahnya. Tapi malam ini, ada yang berbeda. Ada ketegangan di udara yang tak bisa dijelaskan, bahkan oleh Rehan yang selalu mengandalkan logika. Dinda merasa ada sesuatu yang mengubah dinamika hubungan mereka.
"Lo siap?" tanya Rehan dengan nada serius sambil mengatur buku catatannya, siap untuk mencatat segala detail eksperimen yang akan dilakukan.
Dinda duduk di hadapannya, mencoba untuk tetap tenang meski perasaan aneh menyelimuti hatinya. "Eksperimen apa lagi nih? Gue rasa eksperimen lo kali ini bakal lebih gila dari sebelumnya."
Rehan tersenyum kaku. "Gue rasa ini bakal jadi eksperimen terakhir," katanya, matanya berbinar, penuh keyakinan. "Dan gue butuh lo untuk jadi subjeknya."
Dinda menatap Rehan dengan penasaran, tapi juga dengan sedikit kebingungan. "Subjek eksperimen apa lagi kali ini?"
Dengan kaku, Rehan mulai menjelaskan, seolah-olah ini adalah pertemuan di laboratorium, bukan pertemuan yang lebih personal. "Jadi gini, Dinda. Gue udah melakukan berbagai eksperimen sebelumnya, dengan lo sebagai subjek yang tidak sadar. Gue ngumpulin data tentang perasaan gue—dan perasaan lo juga, meskipun lo nggak tahu itu. Dan sekarang, gue mulai yakin bahwa apa yang gue rasakan itu... mungkin bukan hanya sekadar data."
Dinda hanya bisa terdiam, merasa sedikit canggung dengan penjelasan panjang lebar yang diutarakan oleh Rehan. Tapi di dalam hatinya, ada debaran yang semakin cepat. Apa yang sedang terjadi di sini? Perasaan apa yang sedang berkembang di antara mereka?
Rehan mengeluarkan selembar kertas dan mulai menunjukkan grafik serta data yang telah ia buat. "Ini dia. Data detak jantung kita, waktu kita duduk bersama, waktu kita ngobrol. Lo lihat di sini," ia menunjuk salah satu grafik yang menunjukkan detak jantung Dinda yang sedikit lebih cepat dari biasanya. "Setiap kali lo deket sama gue, detak jantung lo meningkat. Itu bukan kebetulan, kan?"
Dinda menatap data tersebut dengan bingung. "Lo serius, Rehan? Lo ngukur detak jantung gue?"
"Iya," jawab Rehan sambil mengangguk dengan serius. "Dan gue juga ngerasa hal yang sama. Detak jantung gue juga lebih cepat ketika lo deket. Gue nggak bisa jelasin ini dengan logika lagi, Dinda. Gue yakin, ini bukan cuma hasil eksperimen sains. Ini perasaan."
Mata Dinda mulai melembut. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar eksperimen atau data. Ada perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka, yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan angka atau rumus. Detak jantungnya semakin cepat, dan ia tahu, inilah saatnya.
"Rehan..." suara Dinda terdengar agak tersekat. "Jadi lo yakin? Ini bukan eksperimen lo lagi, kan?"
Rehan menatap Dinda dengan serius. "Iya, gue yakin. Gue nggak bisa terus menerus mengukur ini semua dengan data atau sains. Ini tentang perasaan, Dinda. Gue rasa, gue mulai cinta sama lo."
Dinda terdiam sesaat, mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan oleh Rehan. Perasaan yang sudah lama ia rasakan, ternyata juga dirasakan oleh Rehan. Tidak ada kata-kata ilmiah lagi yang perlu dijelaskan, hanya perasaan yang mengalir di antara mereka.
"Rehan..." Dinda akhirnya bisa berbicara, suaranya lembut namun penuh arti. "Gue juga ngerasa hal yang sama. Tapi kenapa lo nggak bilang dari dulu?"
Rehan menggaruk-garuk kepalanya, merasa sedikit canggung. "Karena gue terlalu fokus sama logika dan eksperimen gue. Gue nggak pernah bener-bener ngedengerin perasaan gue sendiri. Tapi sekarang, gue yakin... perasaan ini nyata."
Dinda tersenyum tipis, lalu dengan perlahan meraih tangan Rehan yang terletak di atas meja. "Kadang, eksperimen terbaik nggak butuh data, Rehan. Cinta itu nggak bisa diukur sama rumus."
Rehan menatap tangan Dinda yang kini berada di tangannya. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sesuatu yang lebih kuat daripada semua teori fisika yang pernah ia pelajari.
"Apa lo yakin?" tanya Rehan dengan suara pelan, seolah ingin memastikan sekali lagi.
Dinda mengangguk. "Iya, gue yakin."
Di malam itu, di warkop yang sederhana, mereka berdua akhirnya mengakui perasaan yang selama ini tersembunyi. Tidak ada lagi data atau rumus yang perlu dijelaskan. Yang ada hanya perasaan yang tumbuh di antara mereka, lebih nyata daripada eksperimen apapun yang pernah dilakukan Rehan.
Eksperimen cinta mereka akhirnya mencapai titik yang tidak bisa dijelaskan dengan angka—tapi cukup dengan hati.