NovelToon NovelToon
Angin Dari Gunung Kendan

Angin Dari Gunung Kendan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern / Toko Interdimensi
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Topannov

"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak di Antara Batu Part.6 (Lanjutan Akhir)

Keheningan kembali menguasai lorong setelah makhluk itu lenyap sepenuhnya. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar samar, mengiringi perjalanan yang terasa semakin panjang. Batu-batu di dinding tampak seperti mengawasi, penuh ukiran-ukiran yang membentuk pola misterius, semakin rumit setiap mereka melangkah lebih jauh.

Rangga menahan napas, mencoba mengabaikan rasa lelah yang semakin terasa di tubuhnya. Ia tahu perjalanan ini belum berakhir, dan ujian yang lebih berat pasti menunggu. Namun, sesuatu dalam dirinya berubah setelah pertarungan tadi. Tidak lagi hanya tentang kekuatan atau teknik, tetapi tentang menyelaraskan dirinya dengan sesuatu yang lebih besar—alam, atau mungkin dirinya sendiri.

Larasati memecah keheningan. “Rangga,” katanya dengan suara lirih. “Kau tidak terluka, kan?”

Rangga menoleh, memberikan senyum kecil yang tampak letih. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Tapi kau? Kau terlihat gemetar sejak tadi.”

Larasati mencoba tersenyum, meskipun jelas bahwa ketakutan masih menyelimuti hatinya. “Aku baik,” katanya cepat, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Aku hanya... aku hanya ingin semua ini segera selesai.”

Ki Jayeng yang berjalan di belakang mereka memotong. “Urang moal bisa buru-buru. Setiap langkah ieu mangrupakeun bagian tina perjalanan. Ulah ngarepkeun jalan pintas.”

Rangga mengangguk pada gurunya, lalu melanjutkan langkah. Lorong semakin menyempit, hingga mereka harus berjalan satu per satu. Angin tipis mulai terasa lagi, kali ini lebih hangat, tetapi membawa suara yang nyaris seperti bisikan. Kata-kata samar itu tidak bisa dimengerti, tetapi cukup membuat bulu kuduk berdiri.

Ketika lorong akhirnya melebar kembali, mereka tiba di sebuah ruangan terbuka yang diterangi oleh cahaya redup dari lubang di atas langit-langit batu. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah pintu batu besar, dihiasi dengan ukiran simbol yang bersinar lembut. Di depan pintu itu, terdapat pedestal kecil dengan sebuah bola kristal yang tampak melayang di atasnya, memancarkan cahaya biru samar.

“Itu pasti kuncinya,” kata Rangga pelan, matanya tertuju pada bola kristal itu.

“Tapi pasti ada jebakan,” Larasati memperingatkan. “Semuanya di gunung ini selalu punya risiko.”

Ki Jayeng maju ke depan, memeriksa pintu batu dan pedestal dengan hati-hati. Ia menyentuh ukiran di pintu, lalu menarik tangannya kembali dengan cepat. “Hawa ieu... ngandung tekanan anu kuat. Kuncina aya dina bola eta. Tapi urang kudu ati-ati. Mun salah, ieu pintu moal pernah muka.”

Rangga melangkah ke pedestal, matanya mempelajari bola kristal yang tampak begitu sederhana, tetapi jelas menyimpan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan angin berputar di sekitar bola itu, membawa rasa hangat dan dingin secara bersamaan, seperti menantang siapa pun yang berani menyentuhnya.

“Rangga, pikirkan baik-baik,” kata Larasati, berdiri beberapa langkah di belakangnya. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau mengambilnya.”

“Aku tahu,” jawab Rangga tanpa menoleh. “Tapi kita tidak punya pilihan lain.”

Ia mengulurkan tangannya perlahan, jari-jarinya mendekati permukaan bola kristal. Saat ia menyentuhnya, bola itu bergetar ringan, dan cahaya biru yang dipancarkannya semakin terang. Dalam sekejap, udara di ruangan berubah—angin kencang berputar di sekitar mereka, menciptakan tekanan yang membuat mereka hampir kehilangan keseimbangan.

“Rangga, cepat!” teriak Ki Jayeng, mencoba menahan tubuhnya agar tidak terhempas oleh angin.

Rangga menggenggam bola itu dengan kedua tangannya, mencoba menariknya dari pedestal. Tapi bola itu terasa berat, seperti mengakar pada tempatnya. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya, sementara angin semakin liar, menerbangkan debu dan serpihan batu di sekeliling mereka.

“Rangga, awas!” Larasati berteriak ketika sebuah batu besar terlepas dari langit-langit dan jatuh ke arah mereka.

Rangga menghindar tepat waktu, tubuhnya berguling ke samping dengan bola kristal masih di tangannya. Ketika bola itu akhirnya terlepas dari pedestal, angin berhenti mendadak, dan ruangan itu menjadi sunyi sekali lagi. Namun, pintu batu di depan mereka mulai bergetar, diiringi dengan suara gemuruh yang mengguncang lantai.

Pintu itu perlahan terbuka, memperlihatkan lorong lain yang tampak lebih gelap dan lebih dalam. Cahaya biru dari bola kristal kini menyala terang, seolah-olah memandu mereka ke arah yang harus mereka tuju.

“Urang geus muka jalan,” kata Ki Jayeng, napasnya berat tetapi matanya tetap waspada. “Tapi ieu ngan bakal jadi bagian awal. Nu di hareup bakal leuwih hese.”

Rangga bangkit, menggenggam bola kristal itu dengan erat. “Apa pun yang menunggu di depan, kita harus melaluinya,” katanya dengan nada tegas. Ia menoleh ke Larasati, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. “Kita sudah sejauh ini, dan kita tidak bisa mundur.”

Larasati mengangguk pelan, meskipun ketakutan masih terlihat jelas di matanya. “Baiklah,” katanya. “Tapi janji padaku, Rangga. Jangan lagi mengambil risiko sendirian.”

Rangga tersenyum tipis. “Aku janji,” katanya, meskipun ia tahu bahwa janji itu mungkin sulit untuk ditepati. Karena apa yang ada di depan mereka, menurut semua yang telah terjadi sejauh ini, pasti akan menantang lebih dari sekadar kekuatan fisik.

Dengan langkah yang mantap, mereka bertiga melangkah ke dalam lorong gelap yang baru terbuka, meninggalkan ruangan itu di belakang. Pintu batu tertutup kembali dengan gemuruh berat, seperti menutup mereka dari dunia luar. Angin hangat kembali berhembus, membawa mereka lebih dalam ke rahasia Gunung Kendan.

1
Pangkalan 2405
up
Sri Wulandari Buamonabot
tolong gunakan bhs Indonesia...
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya
Pannov: baik kak, terimakasih masukannya
total 1 replies
Pannov
"Wow, novelnya bener-bener seru dan bikin penasaran! Ceritanya ngalir banget, karakternya juga terasa hidup. Salut buat penulisnya, sukses banget bikin pembaca susah lepas dari halaman ke halaman!"
Feri Fernando
menarik cerita ini
Pannov: terimakasi banyak kk, saya akan buat lebih seru lagi deh
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!