NovelToon NovelToon
Angin Dari Gunung Kendan

Angin Dari Gunung Kendan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern / Toko Interdimensi
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Topannov

"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rahasia Jiwa Angin

Lorong yang baru terbuka di depan mereka tampak lebih panjang dan berliku daripada jalur-jalur sebelumnya. Tidak ada simbol bercahaya atau tanda-tanda mistis lainnya di sepanjang dinding batu, hanya keheningan mencekam yang menyelimuti. Udara yang mengalir terasa lebih lembut, hampir seperti embusan napas hangat, tetapi membawa rasa dingin yang mengingatkan mereka pada bahaya yang belum sepenuhnya berlalu.

“Ki,” Larasati memecah keheningan dengan suara pelan. “Apa kau merasakan sesuatu yang aneh di sini?”

Ki Jayeng, yang berjalan di belakang mereka, mengangguk perlahan. “Hawa ieu teu biasa. Ieu henteu bahaya lahiriah. Ieu nu bakal nguji naon anu aya di jero diri urang.”

Larasati merapatkan dirinya lebih dekat ke Rangga, meskipun ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Rangga sendiri tetap berjalan dengan kepala tegak, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di rahangnya. Ia tahu bahwa kata-kata Ki Jayeng benar—mereka tidak hanya akan diuji secara fisik, tetapi juga mental dan spiritual.

Setelah beberapa saat, lorong itu mulai melebar, membuka ke sebuah ruangan besar yang diterangi oleh cahaya alami dari lubang-lubang kecil di langit-langit gua. Di tengah ruangan itu, ada sebuah lingkaran batu dengan permukaan yang halus seperti cermin, dikelilingi oleh simbol-simbol ukiran yang mengalir seperti gelombang air.

Namun, yang paling mencolok adalah patung besar yang berdiri di belakang lingkaran itu. Patung itu menggambarkan seorang pendekar dengan tangan terangkat ke langit, matanya tertutup, dan wajahnya memancarkan ketenangan yang mendalam. Di dada patung itu, ada sebuah kristal besar yang memancarkan cahaya biru terang, mirip dengan bola kristal yang dibawa Rangga.

“Apa ini?” tanya Larasati, memandang patung itu dengan penuh rasa kagum sekaligus waspada.

Ki Jayeng melangkah maju, memeriksa lingkaran batu di tengah ruangan. Ia mengetuk permukaannya dengan tongkat kayu, lalu mengusap ukiran di tepinya. “Lingkaran ieu... sigana tempat keur nguji anjeun, Rangga.”

Rangga mengerutkan kening, menatap gurunya. “Ujianku? Apa maksudmu, Ki?”

Ki Jayeng menoleh, tatapannya serius tetapi penuh kebijaksanaan. “Angin nu anjeun kendalikan... éta teu ngan saukur kekuatan. Eta mangrupakeun bagian tina harmoni. Mun anjeun teu bisa ngahontal ketenangan jiwa, eta bakal balik ngalawan anjeun. Lingkaran ieu bakal ngukur naha anjeun layak.”

Rangga menelan ludah. Ia melangkah mendekati lingkaran batu itu, berdiri di tepiannya. Cahaya dari kristal di dada patung mulai bersinar lebih terang, seolah-olah menyambut kehadirannya. Ia merasa ada energi yang mengalir dari lingkaran itu, masuk ke dalam tubuhnya melalui kakinya, membuat setiap langkah terasa berat.

“Rangga,” Larasati memanggilnya dengan suara pelan tetapi penuh kekhawatiran. “Apa kau yakin ingin melakukannya? Kau sudah melewati begitu banyak ujian. Tidak ada salahnya untuk beristirahat dulu.”

Rangga menoleh ke arah Larasati, matanya penuh dengan tekad. “Aku tidak bisa berhenti sekarang, Laras,” katanya lembut tetapi tegas. “Semua ini... perjalanan ini... bukan hanya tentang diriku. Aku harus memahami kekuatan ini, bukan untuk diriku sendiri, tapi untuk semua orang.”

Larasati ingin membalas, tetapi ia tahu bahwa Rangga sudah membuat keputusannya. Ia melangkah mundur, memberikan ruang bagi Rangga untuk melanjutkan. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi jika sesuatu terjadi, kami akan ada di sini.”

Rangga mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam lingkaran batu itu. Begitu kakinya menyentuh pusat lingkaran, energi besar langsung mengalir ke seluruh tubuhnya. Cahaya biru dari kristal di dada patung memancar ke arahnya, menciptakan dinding cahaya yang memisahkan Rangga dari Larasati dan Ki Jayeng.

“Rangga!” Larasati berteriak, mencoba mendekat, tetapi dinding cahaya itu tidak bisa ditembus. “Apa yang terjadi?!”

“Tenang, Larasati,” kata Ki Jayeng sambil menahan bahunya. “Ieu waktuna keur Rangga nyanghareupan ujian ieu sorangan.”

Di dalam lingkaran, Rangga merasakan tubuhnya menjadi lebih ringan, seolah-olah ia melayang di udara. Ruangan di sekitarnya menghilang, digantikan oleh pemandangan padang rumput luas yang diterangi oleh cahaya matahari yang lembut. Di tengah padang rumput itu, ia melihat seseorang berdiri membelakanginya.

Bayangan itu berbalik perlahan, memperlihatkan wajah yang sangat ia kenal—wajahnya sendiri. Tetapi ada sesuatu yang berbeda. Ekspresi di wajah bayangan itu penuh kebencian, dan matanya bersinar dengan cahaya merah yang menyeramkan.

“Siapa kau?” tanya Rangga, meskipun ia tahu jawabannya.

Bayangan itu tersenyum dingin. “Aku adalah dirimu,” katanya, suaranya seperti gema yang memenuhi seluruh padang rumput. “Bagian dari dirimu yang kau coba abaikan. Dendammu. Amarahmu. Ketakutanmu.”

“Aku tidak takut padamu,” balas Rangga, meskipun ia merasakan desiran dingin di punggungnya.

“Oh, tapi kau takut,” bayangan itu berkata, melangkah maju. “Kau takut kehilangan orang-orang yang kau cintai. Kau takut gagal melindungi mereka. Dan yang paling penting, kau takut bahwa kau akan menjadi seperti aku.”

Rangga mengepalkan tangannya. “Aku tahu aku punya kelemahan. Aku tahu aku pernah membiarkan dendam menguasai diriku. Tapi aku juga tahu bahwa aku lebih dari itu. Aku tidak akan membiarkanmu menguasai hidupku.”

Bayangan itu tertawa kecil. “Kita lihat saja,” katanya, sebelum berlari ke arah Rangga dengan kecepatan yang mengerikan.

Rangga mempersiapkan dirinya, tongkat kayunya terangkat. Tetapi ketika ia mencoba menyerang, bayangan itu menghilang di udara, muncul kembali di belakangnya dan meluncurkan serangan balik. Rangga terhuyung, tetapi ia segera memutar tubuhnya, menggunakan angin untuk menjaga keseimbangannya.

“Serangan fisik tidak akan berhasil,” suara bayangan itu terdengar di sekelilingnya, meskipun tubuhnya tidak terlihat. “Ini tentang dirimu. Tentang apakah kau bisa menerima dirimu yang sebenarnya.”

Rangga menutup matanya, mencoba merasakan kehadiran bayangan itu. Ia mendengarkan aliran angin di sekitarnya, membiarkan dirinya terbawa oleh harmoni yang ia rasakan. Ketika bayangan itu muncul lagi, meluncurkan serangan terakhir, Rangga tidak melawan. Ia berdiri diam, membiarkan angin mengalir melalui dirinya.

“Aku menerima diriku,” katanya pelan, tetapi suaranya bergema di seluruh padang rumput. “Aku menerima kekuatan dan kelemahanku. Aku menerima ketakutanku, dan aku tidak akan membiarkan itu menghentikanku.”

Bayangan itu berhenti, tubuhnya memudar perlahan. “Kau akhirnya mengerti,” katanya, sebelum menghilang sepenuhnya.

Padang rumput itu memudar, dan Rangga kembali ke dalam lingkaran batu. Cahaya biru mereda, dan dinding cahaya yang memisahkannya dari Larasati dan Ki Jayeng menghilang. Rangga jatuh berlutut, tetapi matanya bersinar dengan keyakinan yang baru.

“Rangga!” Larasati berlari mendekatinya, membantunya berdiri. “Apa yang terjadi di sana?”

Rangga tersenyum lemah, tetapi ada kedamaian di wajahnya. “Aku menghadapi diriku sendiri,” katanya. “Dan untuk pertama kalinya... aku merasa bebas.”

Ki Jayeng mengangguk puas. “Urang geus nyieun langkah anu penting. Tapi ieu masih lain ahir.”

Rangga mengangguk. Ia menggenggam bola kristalnya lebih erat, lalu melangkah keluar dari lingkaran. Mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi untuk pertama kalinya, Rangga merasa benar-benar siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depannya.

1
Andre Oetomo
keren
Pangkalan 2405
up
Sri Wulandari Buamonabot
tolong gunakan bhs Indonesia...
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya
Pannov: baik kak, terimakasih masukannya
total 1 replies
Pannov
"Wow, novelnya bener-bener seru dan bikin penasaran! Ceritanya ngalir banget, karakternya juga terasa hidup. Salut buat penulisnya, sukses banget bikin pembaca susah lepas dari halaman ke halaman!"
Feri Fernando
menarik cerita ini
Pannov: terimakasi banyak kk, saya akan buat lebih seru lagi deh
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!