"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.
Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Melepas Rindu
Perkuliahan telah berjalan lima bulan. Artinya, akhir semester sudah tak lama lagi. Hampir dua pekan aku dan kak Evan sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kami tak punya waktu berduaan seperti awal-awal pacaran. Sibuk dengan penelitiannya, membuat ia lebih sering di rumah sakit daripada di kampus, sementara aku sibuk bergumul dengan tugas dan ujian. Meski begitu, komunikasi kami tetap berjalan lancar.
Sedang berada di kos, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur tipis setelah melafalkan materi yang akan dipraktikkan Minggu depan. Kuangkat tinggi-tinggi jepitan rambut kupu-kupu pemberiannya waktu itu. Ya, melihat jepitan rambut ini adalah hal yang kulakukan ketika merindukannya. Kenapa dia belum juga menghubungiku dari pagi?
Begitu aku hendak mengecek ponselku, di saat yang sama terdapat panggilan masuk. Aku segera menerima panggilan telepon yang ternyata berasal dari ibuku.
"Halo, Ma ...."
"Ita, so pulang kuliah kau?"
"Udah, ini lagi di kos."
"Ada yang mama mau bilang. Kakakmu mau menikah tahun depan. Sudah didesak sama orangtua ceweknya supaya cepat datang melamar. Jadi, mama mau kumpul uang untuk acara nikahan kakakmu nanti. Uang makan bulananmu mama mau potong dulu untuk menabung acaranya kakakmu."
"Bukannya kakak udah nabung uang nikah dari tahun lalu?"
"Iya, dia memang menabung untuk naik lamaran. Tapi mama juga mau nabung untuk adakan pesta sendiri. Apa kata tetangga kalo kita tidak buat pesta besar sendiri khusus laki-laki?"
Aku memilih diam seraya memandang stok mie instan yang hampir habis. Sementara ibuku terus berceloteh seolah memintaku memahami keuangan mereka.
"Terus ... itu adikmu juga mau ikut turnamen Taekwondo di Bali. Mama mau kumpul uang jalannya juga. Sebenarnya mama tidak izinkan ikut, tapi anak tetangganya kita juga sudah mendaftar. Masa adikmu tidak!"
Aku menghela napas. Lagi-lagi kata tetangga. Aku tidak paham jalan pikiran ibu yang selalu ingin terlihat lebih di mata tetangga.
Hatiku seolah sedang menjerit untuk minta diprioritaskan sesekali. Meski aku mendapat tunjangan per semester dari beasiswa, tetap saja itu tak cukup untuk biaya hidup di kota besar. Belum lagi, pengeluaran pembelian buku-buku penunjang dan pembuatan tugas.
"Halo, Ita?" Ibu memanggilku karena aku tak kunjung bersuara.
"Ya ...."
"Kau kan anak pengertian dan penurut. Irit-irit saja dulu di sana, Nak. Nanti mama kirimkan lagi makanan kalo ada uang."
'Anak pengertian dan penurut' adalah sebuah doktrin dari ibuku agar aku tidak berani membantahnya. Menurut para ahli, Melabeli anak dengan sebutan baik atau buruk keduanya mengandung beban psikologis bagi anak itu sendiri. Seperti diriku yang dari kecil, aku tak pernah diberi hak dan kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku. Akibatnya, aku menjadi sosok yang sungkan berbicara apa pun bahkan sekadar untuk mengutarakan pendapatku di depan umum. Aku juga menjadi sosok yang tak pernah berani menolak permintaan orang lain.
Di saat sedang dilanda suasana hati yang buruk, teleponku mendadak kembali berdering. Dengan malas, aku mengambil kembali ponselku. Namun, begitu melihat kontak kak Evan yang memanggil, aku lantas segera bangun sambil merapikan rambutku secara refleks seolah dia akan melihatku saat itu juga.
"Halo ...."
"Ganggu, gak?"
"Enggak kok."
"Kalo gitu bisa keluar, gak? Aku ada di depan."
Aku terkesiap mendengarnya. Dengan buru-buru, aku keluar dari kamar kosku menghampiri kak Evan yang tengah menunggu di depan sana. Meski remang, aku bisa melihat senyum yang terpatri di wajahnya. Cukup melihatnya seperti itu, sudah membuat kegundahan di hatiku lenyap.
"Ayo kita jalan-jalan!"
"Hah?"
Dia langsung memasangkan helm di kepalaku serta mengaitkan ikatan tali di daguku. Wajah dan binar mata yang hangat itu selalu membuatku enggan berpaling pada siapapun.
"Tunggu, aku mau ambil jaket dulu!" ucapku sambil berbalik hendak kembali ke kamar.
"Enggak usah." Dia bergegas menahan tanganku, kemudian membuka jaket tebal yang terpasang di badannya. "Pakai ini saja," ucapnya seraya memakaikan jaket tersebut di tubuhku dan menarik resletingnya agar tertutup penuh.
Kami pun meluncur, mengitari jalanan ibukota yang masih sesak dan penuh. Bahkan ikut menjadi salah satu dari banyaknya pengendara yang berhimpit seperti sarden dalam kaleng. Melewati lampu-lampu malam yang memantulkan cahaya penuh gairah, gedung-gedung bertingkat yang menjulang, dan orang-orang yang masih berebut rezeki di pinggiran jalanan.
"Kangen aku, gak?" tanyanya seraya menatapku lewat spionnya.
"Kangen," ucapku dengan malu-malu.
"Apa?" Dia menoleh sejenak ke arahku.
"Kangen." Aku mengulang kata itu dengan sedikit menaikkan intonasi.
"Enggak denger!" teriaknya.
"Kangeeen!" teriakku di telinganya yang terhalangi helm.
Dia menambah laju kecepatan motornya. Aku pun menyandarkan kepalaku pada punggung yang sudah kurindukan selama seminggu ini. Bolehkah aku berangan-angan, menjadi satu-satunya perempuan yang bersandar di punggungmu ini?
Jakarta menjadi saksi bagaimana kisahku dengannya terbingkai apik di setiap sudut kota yang kami jelajahi. Di tempat ini pula aku berani melambungkan impianku padanya. Meski angan yang aku anyam telah berada di hadapanku saat ini, tapi doaku untuk menjaga kebersamaan ini tak putus kuhaturkan. Sebab, aku tak ingin kehilangannya. Benar-benar tak ingin.
"Kak Evan mau bawa aku ke mana?" tanyaku sembari berjalan pelan dengan mata yang ditutup kedua tangannya.
"Ngelihat pemandangan indah!" ujarnya sambil terus menggiringku berjalan maju.
Dia lalu menarik kedua tangannya yang menutupi sepasang mataku dengan perlahan. Aku mengerjapkan mata dengan perlahan. Pupilku membesar kala melihat keindahan pemandangan malam kota Jakarta dari ketinggian lantai yang kami pijaki. Belantara gedung bertingkat yang sesak di siang hari kini terlihat menawan dengan kerlap-kerlip lampu.
Kak Evan yang berdiri di belakangku, lantas melingkarkan tangannya di badanku. "Kamu suka, gak?"
"Hum ...." Aku mengangguk dengan kepala yang tersandarkan di dadanya.
Tak hanya memuaskan indra penglihatan, tempat yang kami datangi itu juga memuaskan pengecapku dengan aneka menu makanan yang dipesan kak Evan. Dia juga meminta pramusaji untuk membawa pulang menu serupa. Ternyata itu akan dia berikan pada Arai, dan paman-bibinya.
Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kak Evan pun mengantarku pulang ke kos. Dia membantuku melepas helm dan jaketnya yang sempat kupakai. Dia merapikan rambutku yang sempat berantakan efek memakai helm.
"Masuk aja!" pintanya mempersilakan aku kembali ke kosku.
"Kak Evan aja dulu yang pergi."
"Ngusir, nih?"
Aku buru-buru berkata. "Enggak ... enggak. Ya, udah aku aja yang duluan masuk."
Baru berbalik dan berjalan dua langkah, dia malah menarik tanganku sehingga tubuhku masuk ke dalam dekapannya.
"Ternyata aku masih kangen ma kamu," ucapnya sambil memelukku dengan erat.
"Kak Evan aku malu kalo ada yang lihatin," ucapku pelan walau sebenarnya aku juga senang mendapat pelukan hangat darinya.
Dia pun melepaskan pelukannya. Aku melambaikan tangan ke arahnya sebelum benar-benar masuk. Saat tiba di depan pintu kamarku, aku terkejut saat menyadari kunciku tertinggal di dalam sana sementara pintu kamarku telah tergembok. Aku segera berlari keluar menghampiri kak Evan yang baru saja menghidupkan mesin motornya.
"Kak Evan bantu aku! Kunci gembok kamarku tertinggal di dalam. Aku tadi buru-buru banget sampai lupa bawa kunci."
Kak Evan langsung turun dari motornya lalu menuju kamarku. Namun, sebelumnya dia sudah membawa batu cukup besar untuk dipakai membuka paksa gembok kamar. Dalam sekali pukulan, gembok itu berhasil terbuka.
"Makasih," ucapku padanya.
Kulihat pandangannya terarah pada wadah penampungan yang kuletakkan tepat di samping kasur tipis.
"Kamar kamu bocor?" tanyanya sambil melangkah masuk serta melihat ke plafon kamarku.
"Itu baru Minggu lalu. Sebelumnya gak bocor."
Aku sedikit malu memperlihatkan kondisi kamar kosku yang kecil, sempit, dan bocor. Saat menoleh ke samping, aku tersadar dalamanku yang berwarna merah jambu tercecer keluar dari box pakaian kotor. Aku lantas menjepit dalamanku itu dengan jari kakiku dan melemparnya kembali ke tempat semula.
"Jadi kamu tadi lagi ngerjain tugas?" ucapnya tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya. Ternyata dia sudah duduk di ranjangku sambil memegang buku catatanku yang kuletakkan begitu saja di atas kasur.
"Enggak, aku cuma belajar doang."
"Kamu kurang tepat. Bukan kayak gini urutannya."
Dia mengambil pulpen lalu mencoret kesalahan yang kutulis dan menggantinya ke urutan yang benar. Aku lantas duduk di sampingnya, sambil melihat koreksiannya.
"Ini baru tepat!" ucapnya sambil menoleh ke arahku.
Mata kami berkontak satu sama lain. Entah kenapa, suasana hening mendadak tercipta di kamar ini. Mataku pun seolah tak bisa berpaling dari pandangannya. Di saat yang sama, wajahnya mendekat secara bertahap ke arahku. Kelopak matanya pun meredup seiring bibirnya yang hangat menjamah bibirku dengan sempurna.
aku setiap baca novel gini kadang suka bayangin kalo jadi mereka apakah mampu untuk menghadapi dan berjuang, kayaknya cm bisa nenangin hati dan pikiran sendiri dgn kata "jalani aja udah takdir nya" 😄🤭
pdhl aq gk hapus aplikasi ini krn kk yu dan kk septira yg masih bertahan disini. dan kalian adalah org2 baik yg selalubagi2 ilmu gratis dan selalu menganggap readers sahabat bahkan sodara😭minta doanya buat author kesayanganku yg 1 lg kk septira wihartanti, yg lg sakit smg lekas sembuh.
sukses selalu kalian author kesayangan, smg gk berhenti berkarya😭
nah kenapa orgtua jawa selalu mempertimbangkan bibit bebet bobot calon pasangan anaknya ya salah satunya masalah bibit ini, ya ttg pentakit, sifat ortu calon dll😥yg paling di hindari klo ada bibit skizrofenia sih sblm thalasemia, cancer dikenal luas