WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA.
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA.
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka.
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon.
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari.
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama?
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah?
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu.
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Macaroon
#12
Dua hari kemudian, Al sudah ceria dan kembali ke sekolah. Bocah itu berseri bahagia karena pagi ini ke sekolah membawa bekal cukup banyak yang nanti akan dibagi-bagikan pada teman-temannya.
Tentunya Agnes juga bermaksud memanfaatkan momen ini sebagai sarana promosi toko barunya yang akan segera buka.
“Ini makanan kesukaan Al,” kata Al, ketika Bu Tyas menyuruhnya bicara di depan kelas.
“Mommy bilang, Al boleh makan semua warna-warni makanan, tapi tidak boleh yang berwarna coklat, rasa coklat, ataupun coklat.”
“Kalau telur coklat? Kan enak tuh, dapat mainan lagi,” cetus salah seorang teman Al.
“Tetap tidak boleh,” jawab Al sedikit cemberut. “Karena aku bisa sakit kalau makan coklat.”
“Jadi kemalyin, kamu da macuk cekolyah, kalyena cakit cetelah makan coklyat?”
“Iya.”
Bu Tyas tersenyum lalu menambahkan.
“Nah, Teman-teman, Al ini punya penyakit yang namanya a l e r g i.” Bu Tyas menjelaskan. “Teman-teman, siapa yang tak bisa makan udang?”
Beberapa siswa mengangkat tangan.
“Siapa yang tak bisa minum susu sapi?”
Ada lagi yang mengangkat tangan.
“Siapa yang tak boleh makan ayam?”
Hanya satu orang yang mengangkat tangan.
“Nah, begitu juga Al, yang tidak boleh makan coklat, semua larangan tadi berlaku, karena badan kalian akan sakit bila melanggar larangan tersebut. Sekarang, silahkan berterima kasih pada Al.”
“Terima kasih, Al,” ucap teman temannya bersamaan.
Al tersenyum bahagia, karena hari ini dengan bangga ia juga menceritakan bahwa kue tersebut buatan mommy-nya sendiri. Bocah itu kembali duduk di kursinya.
“Al, aku mau pindah ke lyumah kamu,” cetus Mayra dengan suara berbisik.
“Nggak boleh, enak saja mau numpang.”
“Iih, bukan numpang, tapi mau makan kue banak-banak, pacti cenang kali diliku lyihat yang cantik-cantik ini.”
Mayra mengangkat plastik yang sengaja Agnes hias dengan pita-pita lucu sebagai pembungkus 5 buah macaroon berbagai warna. “Sama aja, itu namanya numpang makan.”
Mayra menyeringai lucu. “Tapi bukan berarti kamu harus pindah,” gerutu Al. “Nanti kalau toko kue Mommy Al sudah buka, kamu boleh jajan di sana.”
Kedua mata Mayra bersinar, sesuatu yang berkaitan dengan membelanjakan uang selalu membuat si tuan putrinya Dean Geraldy ini bahagia.
“Kalyo gitcu, ada cupcake leinmbow juga?” tanya Mayra.
Al mengangguk, “Ada walna-walni ini juga?”
“Iya, pokonya banyak kue enak dan lezat, semua buatan Mommy Al,” imbuh Al bangga.
“Wah pintal kalyi Mommy kamu, cepelti Onty Aya yang pintal macak-macak banak.”
“Siapa Onty Aya?”
“Onty Aya ictlinya Daddy Apa.”
Al makin garuk-garuk kepala, bingung sendiri ketika Mayra menyebutkan nama-nama anggota keluarganya yang sangat banyak.
“Oh, iya, ini dari Mommy, buat Uncle kamu yang kemarin.” Al menyerahkan bungkus macaroon terakhir yang sengaja Agnes simpan di dalam tas Al.
“Ote, nanti aku kacih ke Uncle.”
“Bilang juga, terima kasih coklatnya, sayang, Al tidak boleh makan coklat lagi.”
Al menyampaikan pesan dari sang Mommy, agar lain kali tidak terulang kembali.
•••
Sore harinya ketika Dean pulang kerja, Mayra sibuk berceloteh menceritakan kesehariannya di sekolah. Dean yang lelah hanya pasrah saja mendengar dongeng dari putri kecilnya.
“Lihat, Daddy, tadi Mayla juga di kacih kue lyagi cama Al.” Mayra memamerkan macaroon miliknya yang masih utuh, kue berbentuk bulat dengan warna warni cerah menggoda. Ungu muda, pink, kuning lemon, serta biru muda.
“Wah, cantik sekali warnanya,” jawab Dean antusias.
“Apa yang cantik.” Adhis ikut bergabung.
“Ini, Mayra bilang dari Mommy-nya Al.”
Adhis tersenyum, “Oh Mommy-nya Al. Kapan hari aku juga sempet ngobrol sama dia.”
“Oh, iya? Kok aku tak tahu?”
“Iya, Daddy lagi terima telepon di mobil.”
“Ooh, begitu.”
“Hmmm, enak! Nndaa becok-becok belyikan ini di toko Mommy-nya Al!” teriak Mayra saking kag dengan kerenyahan serta harum aroma Almond dari kue Warna-warni tersebut.
Dean dan Adhis saling pandang, memang harus se antusias itu gayanya, hanya karena makan macaroon?
“Oh, iya, Nnda cudah bagi tahu Uncle, culuh datang kecini?”
“Sudah, Uncle sedang dalam perjalanan.”
“Apalagi ini, kok Daddy tak di bagi tahu?”
“Itu, loh, Mommy-nya Al juga titip macaroon untuk Leon, karena kemarin Leon juga kasih coklat buat Al,” jawab Adhis.
“Padahal, habis makan coklat, becokna Al da macuk cekolah,” celoteh Mayra.
“Lho kenapa?”
“Cakit, Ibu Gulyu bilyang nama penyakitna al— al—”
“Alergi?” tebak Dean.
“Nah, iya, alergi!”
“Sama kaya Uncle Leon dong.”
Tidak mungkin, ini terlalu kebetulan, membuat rasa penasaran Dean semakin tergelitik. Kemarin ia melihat wajah Al yang terlalu mirip dengan Leon, lalu sekarang alergi.
Bisa dibilang Alergi coklat seperti alergi turun temurun di keluarga Geraldy. Aunty Emira tidak alergi, tapi dia memiliki bakat untuk menurunkan potensi genetik alergi pada keturunannya, terutama bila anaknya laki-laki.
Mungkinkah, dulu? Ah, pasti tak mungkin. Karena bila itu terjadi, Agnes sudah mengatakannya pada Leon, tidak diam dan main kucing-kucingan.
“Kenapa, sebut-sebut namaku?”
Tiba-tiba saja, Leon sudah berdiri di depan pintu. Mayra menoleh, dan langsung turun dari pangkuan Dean.
“Uncle!” Mayra langsung melompat ke pelukan Leon.
“Makan apa itu?”
“Macalon, di kacih Mommy Al.”
“wah, enak. Uncle boleh coba?”
“No, makan punna Uncle cendili. Ini tellalu enyak untuk dibagi-bagi.”
Leon terkekeh, “Mana punya Uncle?”
Mayra pun melorot dari gendongan Leon, ia menghampiri tas sekolahnya kemudian memberikan bungkusan macaroon spesial untuk Leon.
“Ini, Al bilyang, telima kacih coklatna, tapi Al tidak bolyeh makan coklat lyagi, nanti bica cakit.”
Dean menanti reaksi Leon, “Kenapa?”
“Duh, nanya lyagi, lelah kali diliku ini kalyo di culuh menjelyaskan lyagi. Gini ya, Uncle, Al itu, bica makan cemua walna-walni makanan, tapi dak bolyeh yang belwalna coklat, lasa coklat, dan juga coklat.”
“T-tapi, kenapa?” Leon makin penasaran.
“Da tahu, tanya cendili cama mommy-nya Al, janan tanya cama aku, lelah diliku.”
Mayra ngeluyur pergi menyusul sang Bunda yang sedang menyiapkan makan malam. “Nnda, mau cusu!” pintanya.
Leon tertegun melihat macaroon yang berada di tangannya, kembali memorinya berlari ke masa lalu.
•••
Hari valentine mereka yang pertama setelah menikah, Leon membeli banyak coklat mahal untuk Agnes, tapi ia hanya bisa menatap Agnes yang tampak sangat menikmati coklat pemberiannya.
“Kenapa tak ikut makan, aku tak pelit untuk berbagi, kok.”
Agnes menyuapkan coklat ke mulut Leon, namun, pria itu tersenyum menggeleng.
“Aku alergi coklat, dan gejalanya cukup parah jika aku berani mencobanya.”
Agnes mengangguk, tapi wajahnya cemberut, ia bisa menikmati coklat dengan tawa bahagia. Tapi apa gunanya bahagia sendiri, karena Leon tak bisa memakannya.
Wanita itu pun meletakkan coklatnya di meja, kemudian menangkup wajah Leon, “Tidak apa-apa. Hanya coklat, kan? Kamu masih bisa makan semua makanan beraneka warna di dunia. Dan semuanya lezat, besok aku buatkan kue lezat untukmu.”
Leon tersenyum senang, “Makanan apa itu?”
“Macaroon.”
•••
Sebutir air mata menetes tanpa Leon sadari, pria itu buru-buru mengusapnya. Tak ingin Dean mengetahui dirinya menangis, Leon pun buru-buru pamit pulang.
“Kak, aku pulang dulu, ya?” Leon langsung bangkit dan berjalan menuju pintu.
“Tunggu,” cegah Dean. Pria itu ikut menyusul Leon ke teras rumah.
Leon sedang menghapus air matanya ketika Dean berdiri di sisinya. “Ada apa, Kak?”
“Apa kamu tak pernah tahu kabarnya?”
“Siapa?” Leon pura-pura bertanya.
“Tentu saja mantan istrimu, dimana dia sekarang? Sudah menikah lagi atau belum? Apakah dia—”
“Kak, kami berpisah secara baik-baik. Dan sudah sepakat memilih jalan kami masing-masing. Aku dengan keinginanku, dan dia dengan pilihannya yang tak ingin memiliki anak.”
“Kalau ternyata dia memiliki anak, apa yang akan kamu lakukan?”
ikutan perih ei.....
Apa Leon baru tersadar jika Agnes duduk di pelaminan sama Rama
kasihan kali kau leon, gak tahu apa-apa tapi seolah semua kesalahan tertimpa padamu... kamu yg ditinggalkan, ditolak, dan harus menanggung rasa sakit sendirian... huhuhu, sakit sakit sakitnya tuh di sini... kezaaaammm kezaaaammm, othor tega bikin ibu menangisss😭