Aku Sudah Memaafkan
Kau pernah menjadi terang
dalam gelapku saat tersesat
Tapi kau juga pernah menyentuh
Rasa sakitku
Kepergian itu mengajarkan aku
Bahwa tak ada yang abadi
Sejak kau putuskan
Untuk melepaskan hidup ... (Lirik lagu Jikustik_tak ada yang abadi)
.
.
Sebuah lagu lama dari salah satu band yang pernah populer pada masanya mengawali perjalananku ke suatu tempat. Lagu itu seolah membangkitkan kembali kenangan kelam bersama seseorang yang pernah kupeluk erat dalam doa. Dia yang pernah menumbuhkan cinta dalam hatiku, tapi kemudian ikut menanam luka. Dia yang pernah menghadirkan asa di hidupku, tapi juga menenggelamkan aku dalam derai tangisku.
Ini adalah musim sendu yang berkepanjangan di hidupku. Semua terasa masih sama seperti dahulu, kecuali perasaanku untuknya. Rasaku yang dulunya tak terukur habis, kini tinggal menjadi debu. Meski begitu, goresan beling-beling sakit itu masih terasa acap kali mengingatnya.
"Bunda, kita mau ke mana?" tanya anak lelaki yang duduk di sampingku. Dia adalah putra tunggalku yang saat ini berusia tujuh tahun.
"Kita akan ke rumah sakit," jawabku sambil memperbaiki posisi jaketnya.
"Oh, kita mau ketemu ayah lagi, ya?"
Aku bergeming sejenak. Tanganku yang sedang memegang resleting jaket, mendadak membeku. Namun, sudut bibirku segera mengembang tatkala melihat binar matanya yang berkilau cerah. Hanya anggukan ringan yang dapat kulakukan untuk menjawab pertanyaannya. Bagaimana mungkin seorang ibu mematahkan keceriaan anaknya? Bahkan, jika keceriaan itu berasal dari sumber penderitaan sang ibu sendiri, tak mengapa ....
Aku melarikan pandangan ke jendela kaca mobil yang kami tumpangi. Masih berada di kota Metropolitan yang terus digempur dengan modernisasi. Kondisi jalan yang penuh dengan kendaraan, membuat perjalanan kami terasa semakin lama untuk sampai ke tempat tujuan.
Pemandangan dua insan muda-mudi yang saling berboncengan mesra melintas dalam pandanganku. Senyum ringkih lantas tercipta di bibirku. Seperti sedang melihat masa mudaku saat bersamanya. Ternyata sudah lama aku mengakrabkan diri dengan kesendirian yang tak terperi. Bukankah sudah saatnya beri kesempatan hati untuk sedikit bahagia? Sayangnya, cinta telah menjadi topik yang memuakkan bagiku. Membicarakannya hanya membuatku pusing dan mual.
Menurutku cinta hanyalah sebuah permainan kata. Dalam cinta, kita tak akan tahu apakah kita menjadi pihak yang tersakiti atau menyakiti, terluka atau melukai, dan melupakan atau dilupakan. Mungkin, inilah yang membuatku mengalami philophobia¹.
Aku kembali menoleh ke arah putraku ketika dia menarik lengan bajuku.
“Bunda, ceritakan dong gimana Bunda sama ayah bisa ketemu!”
Aku tersentak mendengar permintaan polos putraku. Sambil mengelus rambutnya, aku berkata, “Ayah dan bunda bertemu seperti orang-orang pada umumnya.”
“Tapi Bunda, kan, bukan orang Jakarta! Gimana sampai bisa ketemu ayah?
“Arai ....” Aku menyebut namanya dengan lembut.
“Please ... Arai pingin tahu!” Ia menangkup kedua tangannya di hadapanku.
“Karena Bunda pernah satu kampus dengan ayahmu,” jawabku seadanya.
“Terus?”
Aku menghela napas sesaat. Ternyata ia menuntut untuk diceritakan lebih jauh. Dia memang senang bertanya dan mencari tahu apa yang ingin diketahuinya. Namun, aku tak pernah melihatnya seantusias seperti ini.
Kenangan lampau lantas kembali mengaduk-aduk pikiranku saat ini. Kukunjungi kembali masa lampau yang berbaring tenang di sudut ingatanku. Memberanikan diri memundurkan memori lebih jauh, menyusuri setiap lembaran masa lalu di mana tawa, senang, dan sedih pernah menjadi satu.
Grittania Zefanya adalah nama yang diberikan orangtuaku untukku. Orang terdekat menyingkat namaku menjadi 'Ita'. Dulu, aku seorang remaja yang mabuk belajar. Bisa dikatakan, aku adalah pribadi yang tertutup dari dunia pertemanan dan pergaulan. Bahkan melewati masa-masa pubertas, semacam kenalan dengan lawan jenis, PDKT, hingga pacaran seperti yang marak dilakukan remaja seusiaku. Masa putih abu-abu yang menyenangkan untuk sebagian orang pun terasa biasa-biasa saja bagiku. Tak ada sahabat, tak ada kekasih. Tak ada pula memori indah yang bisa kukenang.
Semua itu karena aku terbiasa menjadi pribadi yang mandiri dan tidak bergantung pada siapapun di keluargaku. Di keluargaku, aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Aku memiliki orangtua yang lengkap, seorang kakak dan juga adik laki-laki. Menjadikanku anak perempuan satu-satunya di keluarga inti. Kami tinggal di pulau Sulawesi, tepatnya di sebuah kota kecil yang mungkin tak tercantum dalam peta. PNS, Polisi, TNI dan pegawai bank adalah pekerjaan yang didewakan di kota ini.
Anak perempuan di keluarga besar kami hanya dipersiapkan untuk berlomba-lomba mendapatkan lelaki yang mapan. Tolak ukur cantik di keluarga besarku, bukan seberapa langsing tubuhmu atau seputih apa kulitmu, tetapi siapa dan apa jabatan pria yang akan melamarmu kelak.
Ibuku adalah sosok yang mendominasi keluarga. Dalam kehidupan bertetangga, beliau memiliki sifat tak mau kalah. Lingkungan tetangga yang saling bersaing, membuat ibu selalu menuntut kami agar lebih hebat dibanding anak tetangga. Sementara ayahku hanya memiliki fungsi sebagai pencari nafkah. Beliau tidak pernah berperan sebagai ayah yang semestinya. Sekadar mengobrol dengan kami pun jarang.
Finansial keluargaku bisa dikatakan berada dalam golongan menengah, tidak miskin dan tidak juga kaya. Setidaknya, kami tidak pernah merasakan kelaparan atau menunggak biaya pendidikan.
Sebagai anak tengah, aku tidak pernah menjadi satu-satunya seperti kakak sulungku, dan juga tidak punya banyak waktu menjadi yang paling dimanjakan seperti adik bungsuku. Aku harus sabar dengan sifat keras kepala kakakku. Begitu juga dengan sifat manja adikku. Tak jarang, aku menjadi penengah di saat kakak dan adikku bertengkar.
Karena aku menjadi anak perempuan tunggal di antara saudaraku, maka kerap dituntut untuk lebih banyak mengalah dibanding kakak dan adikku. Ketika duduk di bangku SMA, ibu sering meminta agar aku bisa menahan segala kebutuhanku, dengan alasan mereka sedang fokus membiayai kakak yang sebentar lagi tamat kuliah. Ketika aku mengatakan ingin kuliah ke luar kota, lagi-lagi ibu meminta meredam keinginanku karena mereka harus menghemat uang agar bisa mempersiapkan masa depan adikku kelak. Itulah kenapa aku bertekad meraih cita-cita dengan jerih payahku sendiri, meski harus melewati masa-masa indah remaja.
Obsesi gila belajar yang merasukiku bertahun-tahun tentu tidak sia-sia. Begitu tamat SMA aku meraih beasiswa di salah satu perguruan tinggi Jakarta. Tak tanggung-tanggung, aku lolos di fakultas kedokteran yang menjadi salah satu jurusan paling bergengsi. Lalu, dari sinilah semua kisah ini dimulai.
Hai, kau yang dulunya pernah sedekat embusan napas, tapi kini sejauh matahari. Sekarang, aku masih berjalan merangkak bahkan setelah kepergiaanmu bersama lipatan kenangan yang masih kugenggam erat. Jangan khawatir, aku sudah memaafkan! Tapi satu yang harus kau tahu, kau tak akan pernah menemui aku sebagai pribadi yang sama seperti dulu.
***
Jejak kaki
Philophobia adalah istilah yang mengacu pada rasa takut untuk jatuh cinta. Biasanya disebabkan trauma pada hubungan sebelumnya atau pernah gagal dalam hubungan asmara.
Catatan author.
Hai, saya Aotian Yu. Terima kasih telah singgah dan membaca karya ke delapan saya. karya ini sebelumnya diadaptasi dari cerpen saya dengan judul yang sama dan menjadi top 1. Terima kasih pada pembaca setia yang masih mengikuti jejak tulisanku hingga detik ini.
Novel ini memakai alur mundur dengan menggunakan multiple POV. Tolong jangan baca loncat-loncat bab dan baca dengan berbeda-beda akun. Bisa ngerusak retensi novel! Jangan lupa berikan komentar pertama kalian di novel ini sebagai bentuk dukungan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Santi Purwanti
salam kenal thor aku baru ketemu nih novel mu, bab pertama aja udah bagus banget gaya penulisan nya.. semangat
2024-11-06
1
Lenni Namora
awal yg menarik
2024-11-13
0
gyu_rin
ita udah di suruh ngalah sejak kecil di kuliah juga ada masalah serius kayak nya 😭 peluk jauh buat ita
2024-10-27
0