Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Usaha baru dan pertemuan yang sudah direncanakan
Fajar mulai menyingsing dari timur, namun sinarnya masih malu-malu menembus kabut tipis yang menyelimuti Kampung Pinggir Rel. Di sini, di antara tumpukan barang bekas dan gubuk-gubuk semi-permanen, kehidupan sudah menggeliat. Bunyi kaleng-kaleng yang didorong, derit gerobak yang sarat muatan, dan sahutan samar para pemulung menjadi simfoni pagi yang keras namun akrab. Udara pagi terasa lembap, bercampur bau asap pembakaran sampah yang tipis, aroma khas yang menjadi penanda dimulainya hari di kawasan ini.
Di salah satu gubuk kecil, yang lantainya sudah disemen rapi berkat bantuan orang-orang baik, Inara sudah terjaga. Matanya mengerjap, menatap sinar lampu temaram yang masih menyala. Di sebelahnya, terbaring damai putranya yang masih berusia dua minggu, sang malaikat kecil, sumber kekuatan dan tekad barunya.
"Kamu adalah matahari Ibu, Nak. Semangat Ibu untuk bangkit," bisik Inara lembut, kemudian ia mengecup kening mungil itu.
Meskipun rasa lelah dan kurang tidur masih membelit, Inara bangkit. Ia segera bersiap, karena hari ini bukan hanya hari biasa, melainkan hari ini adalah langkah awalnya menuju mimpi yang ia rajut ulang.
Setelah memastikan putranya tertidur pulas dalam dekapan kain jarik yang hangat, Inara bergegas keluar. Di teras gubuk, Bu Farida sudah menunggu, menyajikan segelas teh hangat dan singkong rebus. Bu Farida, dengan senyum teduhnya dan tatapan penuh kasih, adalah sosok yang lebih dari sekadar penolong, ia adalah ibu angkat yang menuntun Inara keluar dari jurang keterpurukan, saat Inara harus kehilangan segalanya dan berjuang sendirian.
"Sudah siap, Nduk?" tanya Bu Farida, tangannya mengusap bahu Inara.
"Insya Allah, Bu. Doakan Inara," jawab Inara, matanya memancarkan tekad yang membara.
"Melihat anakku, rasanya semua kesulitan kemarin jadi tidak berarti. Ini demi masa depan kami."
"Pasti, Nduk. Usaha tidak akan mengkhianati hasil," kata Bu Farida. "Ayo, biar Ibu bantu menata mesin jahit yang diangkut semalam, oh iya...kita tunggu sebentar, Nak Sumi akan menunggu Daffa sebentar di sini, kasihan kalau Daffa di tinggal sendirian di rumah!" Ucapnya menatap ke arah pintu masuk.
Tak lama Sumi datang dengan nafas yang masih tersengal.
" aduh Bude, maaf telat...tadi Sumi di suruh ke warung Cing Nelan dulu bentaran!" Sumi sampai mengelap keningnya yang berkeringat.
Bu Farida tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala." Yo wis ra opo-opo Nduk, maaf ya kalau Ibu sudah merepotkan!"
" Merepotkan apa sih Bude, kita kan sudah seperti sodara, yasudah Bude sama Kak Inara cepet pergi gih ke ruko, bukankah pagi-pagi buta begini kalian harus merapihkan ruko pinggir jalan?"
" Iya Nduk!"
Kemudian Inara mendekat ke arah Sumi.
" Maaf ya Sumi, aku sudah menyusahkan mu pagi-pagi begini, untung sekolahmu libur hari ini!"
"Sudah, tidak usah di pikirkan hal itu Kak Inara, yasudah cepetan sana pergi ke ruko, mumpung Daffa masih tertidur pulas."
Akhirnya mereka pun bergegas menuju ruko pinggir jalan yang disewa sederhana, letaknya tak jauh dari kawasan pemukiman pemulung. Ruko itu kecil, kusam, dan pintunya sedikit miring, namun di mata Inara, tempat itu bersinar terang, laksana istana harapan.
Dengan bantuan Bu Farida, Inara mulai merapikan ruangan. Menyapu debu, menyeka meja, dan menempatkan mesin jahit milik Bu Farida dan juga mesin obras yang berhasil dibeli dari ibu Umar, dan semua itu adalah modal dari hasil dirinya menjual perhiasan.
di sudut yang paling terang. Setiap sapuan, setiap geseran perabot, adalah doa yang terwujud.
Di tengah kesibukan itu, Inara menoleh ke arah Bu Farida, yang wajahnya basah oleh keringat, namun matanya tetap tersenyum.
"Terima kasih banyak, Bu. Tanpa Ibu, mungkin Inara masih terpuruk. Ibu sudah memberi Inara segalanya," ucap Inara tulus.
Bu Farida memeluknya erat. "Sudah menjadi kewajiban Ibu, Nduk. Sekarang, fokus. Jadikan setiap jahitan sebagai lembaran baru hidupmu. Tunjukkan pada dunia, Inara yang baru sudah lahir, bersamaan dengan putramu."
Pagi itu, di ruko kecil pinggir jalan yang mulai dihiasi benang dan kain warna-warni, kisah baru dimulai. Kisah tentang cinta seorang ibu, ketangguhan, dan kekuatan untuk merajut harapan di tengah kerasnya hidup. Usaha menjahit itu bukan sekadar bisnis, melainkan monumen tekad seorang Inara, yang kini memiliki semangat terbesar yakni senyum damai dan kesembuhan putranya.
.
.
Sementara itu pagi ini Rayyan libur bekerja dan ia memulai aktivitasnya dengan berjoging pagi di kawasan taman kota, tidak lupa Nyonya Martha ikut menemani putranya.
"tumben sekali Ibu ikut joging pagi bersamaku Bu? " tanyanya heran.
"loh, kok tumben sih? Harusnya kamu senang dong Rayyan, ibumu masih sanggup jogging pagi di saat usianya sudah lanjut usia seperti ini!"
Rayyan menghela nafas sejenak, ia berharap ibunya tidak sedang merencanakan sesuatu yang aneh-aneh lagi seperti tempo hari yang sengaja memperkenalkan Amanda padanya, dan Rayyan sudah tidak berminat untuk menikah lagi, ia lebih fokus membangun perusahaan peninggalan mendiang Ayahnya agar menjadi perusahaan lebih besar lagi dan tak tertandingi.
Sambil duduk santai di dalam mobil bersama dengan Rayyan, Putranya. Rupanya diam-diam Nyonya Martha mengirim pesan singkat dengan Bu Farida dan soal Inara yang akan membuka usaha barunya di sekitar ruko tempat tinggal mereka, membuat Nyonya Martha sudah tidak sabar untuk bisa segera menemui Inara di sana, ditambah Rayyan ada bersamanya, Nyonya Martha ingin mencoba mempertemukan putranya kembali dengan Inara, dan terkesan bahwa pertemuan keduanya kali ini merupakan sesuatu yang tidak di sengaja.
Rayyan memarkirkan mobilnya di area parkir yang tidak jauh dari gerbang utama taman kota. Udara sejuk khas pagi hari segera menyergap saat keduanya melangkah keluar.
Kawasan taman kota sudah cukup ramai. Puluhan pengunjung mulai memenuhi jalur joging, sebagian berjalan santai, sebagian lagi berlari kecil dengan penuh semangat.
"Ayo, Rayyan, kita mulai dari sini," ujar Nyonya Martha sambil menarik napas dalam-dalam. Ia mengenakan setelan joging berwarna cerah, tampak segar dan bersemangat.
Rayyan mengangguk. Mereka mulai berjalan perlahan, menyusuri jalur yang teduh di bawah rindangnya pepohonan. Setelah sekitar lima belas menit berjalan cepat, Nyonya Martha melambatkan langkahnya dan menoleh ke arah Rayyan.
"Pelan-pelan saja, Bu. Kita kan mau menikmati pagi,” kata Rayyan.
Nyonya Martha tersenyum, matanya memancarkan ide yang sudah ia simpan sejak di rumah.
" Rayyan," panggilnya dengan nada sedikit serius. " Ibu akhir-akhir ini memikirkan sesuatu."
" Memikirkan apa, Bu?" tanya Rayyan, memusatkan perhatian pada sang ibu.
" Soal investasi ruko. Ibu ingin membuat beberapa ruko di tempat yang strategis. Siapa tahu bisa jadi pemasukan di masa depan, dan Ibu bisa ikut mengelolanya."
Rayyan sontak mengerutkan kening, keheranan. Karena sejak dulu, ibunya dikenal sebagai ibu rumah tangga sejati, tidak pernah menunjukkan minat sedikit pun pada dunia bisnis, investasi, atau hal-hal yang berbau komersial.
"Tumben sekali Bu, ingin melakukan usaha seperti itu?" tanya Rayyan, tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Nyonya Martha mendengus pelan, pura-pura kesal.
" Ya ingin saja Rayyan, emangnya di usia ibu yang masih senja tidak boleh mengelola bisnis sendiri? Ibu bosan tiap hari di rumah terus, ingin mencari kesibukan!"
Rayyan hanya bisa menghela napasnya. Jika sudah begini, sulit untuk menolak keinginan ibunya.
"Baiklah, Bu. Tapi kita harus riset dulu, jangan asal," jawab Rayyan, mencoba realistis.
"Tentu saja, Nak. Makanya, ini… Ibu sengaja mengajakmu joging ke arah sana," kata Nyonya Martha sambil menunjuk ke ujung timur taman, di mana deretan ruko baru terlihat. "Katanya ruko-ruko di sana sangat diminati. Kita lihat sebentar, ya?"
Rayyan terpaksa mengikuti kemauan ibunya. Baginya, urusan bisnis seperti ini tidaklah menjadi masalah. Jika ibunya senang, ia akan mendukung. Asal jangan membahas soal menjodohkan dirinya dengan wanita lain lagi. Pengkhianatan mantan istrinya karena keadaannya yang impoten masih menjadi pukulan telak dan trauma yang membuatnya enggan kembali memiliki pasangan hidup.
Mereka berdua berjalan lebih jauh, keluar dari area taman, menuju kawasan ruko.
Setibanya di sana, beberapa ruko tampak masih kosong dan tidak terawat. Namun, perhatian Nyonya Martha tertuju pada satu ruko di sudut yang terlihat baru saja diisi. Ada pajangan kain, manekin, dan beberapa peralatan menjahit di dalamnya.
Wajah Nyonya Martha langsung berseri-seri. Ia segera mempercepat langkahnya dan menghampiri ruko tersebut.
'Itu dia! Akhirnya aku menemukanmu Farida!' seru Nyonya Martha dalam hati.
Rayyan, yang berjalan di belakangnya, terpaksa ikut mendekat.
Dari dalam ruko, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah muncul. Itu adalah Bu Farida. Di belakangnya, berdiri seorang wanita muda yang sibuk menata benang, dan memakai hijab yang rapi. Wanita itu adalah Inara.
"Farida! Ya Allah, ternyata ini benar kamu!" sapa Nyonya Martha riang.
Bu Farida terkejut, namun segera membalas sapaan Nyonya Martha. "Martha! Kamu sedang apa di sini? Dan juga putramu?"
"Aku sedang joging pagi bersama Rayyan. Mau lihat-lihat ruko katanya. Jadi, ini benar kamu yang buka usaha menjahit di sini?"
"Iya, Alhamdulilah. Mulai hari ini, aku dan Inara membuka usaha jahit di sini," jawab Bu Farida dengan bangga.
Nyonya Martha menoleh ke arah Rayyan, memberikan tatapan 'sudah kubilang' yang penuh makna. Rayyan hanya bisa membalas dengan senyuman kecil yang dipaksakan.
Saat Bu Farida dan Nyonya Martha asyik berbincang, Rayyan sempat melirik ke arah Inara sekilas. Wanita itu masih sama, terlihat kalem dan fokus pada pekerjaannya.
Ini adalah pertemuan kedua mereka.
Bersambung...