Salahkah seorang istri mencintai suaminya? Walau pernikahannya karena perjodohan kedua orang tua mereka berdua. Tentu tidaklah salah!
Aurelia, gadis desa yang baru saja menyelesaikan sekolah tingkat atasnya, dia langsung jatuh cinta pada calon suaminya Dhafi Basim, pria dari desa yang sama tapi sudah lama pindah dan tinggal di Ibu Kota. Namun, apa yang terjadi setelah mereka menikah, lalu Dhafi memboyong Aurelia untuk tinggal di Jakarta?
"Ampun .. Mas Dhafi, maafkan aku ... ini sakit," teriak Aurelia kesakitan saat tali pinggang suaminya menghujami seluruh tubuhnya.
"Dasar istri kampungan!" maki Dhafi.
Cinta membuat orang buta, begitulah Aurelia wanita yang polos. Berulang kali menerima siksaan dari suami, namun dia tetap bertahan. Tapi sampai kapankah dia bertahan? apalagi suaminya juga berkhianat dengan sepupunya sendiri. Mungkinkah ada sosok pria yang lain menolong Aurelia? Ataukah Aurelia berjuang sendiri membuat suaminya membalas cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wawancara kerja
Ruang kerja
Aurelia sudah mengganti pakaian basahnya dengan pakaian bersih milik salah satu maid, dan kini dia sudah duduk dengan gugupnya di tengah-tengah sorot netra Emran dan Mama Syifa. Tak bisa dipungkiri jika menatap netra elang Emran, membuat degup jantungnya berirama lebih cepat, sama seperti hal ketika dia pertama kali melihat kedatangan Dhafi. Hati wanita mana pun tidak bisa menampik jika netra elang Emran bisa menghipnotis wanita mana pun, mungkin termasuk Aurelia. Namun, sebagai wanita yang sudah memiliki suami, diturunkanlah pandangan matanya, lalu mengalihkannya pada lantai marmer yang diinjaknya.
“Perkenalkan diri kamu.” Suara bariton yang terdengar berat namun terasa penuh wibawa sebagai pimpinan, kini terdengar lagi di telinga Aurelia.
“N-nama saya Aurelia, usai saya 18 tahun, Tuan,” jawab Aurelia terdengar gugup, sedikit menaikkan pandangannya, lalu kembali menunduk.
“Masih muda juga, kamu dari yayasan mana?” tanya Mama Sfiya yang kini bergantian bertanya.
Wanita muda itu menatap wanita tua yang masih terlihat cantik. “Maaf Nyonya, saya tidak dari yayasan manapun, kebetulan saya tahunya dari tetangga yang kebetulan saudaranya bekerja disini, kalau tidak salah Pak Yusuf namanya,” imbuh Aurelia dengan hati-hati berkata.
“Berarti kamu tidak punya pengalaman kerja mengasuh anak?” Emran kembali bertanya dengan tatapan dinginnya.
Aurelia mengalihkan tatapan ke pria tampan itu, dan kembali gugup. “I-iya Tuan, saya memang tidak ada pengalaman mengasuh anak, tapi saya terbiasa mengasuh adik saya dari bayi,” jawab Aurelia apa adanya, dan di saat itu juga dia kembali tertunduk lemas jika sudah ditanyakan pengalaman kerjanya, pasrah jika dia tidak diterima kerja.
Emran mendesah kecewa, kemudian menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi kerjanya, sesekali dia menatap Mama Syifa yang masih betah menatap Aurelia, sedangkan dirinya sudah malas mengajukan pertanyaan setelah tahu background pengalaman kerjanya tidak ada.
Suasana terasa hening sejenak ...
“Kamu suka dengan anak kecil?” tanya Mama Syifa, kembali teringat saat Aurelia menolong Athallah.
Dalam pandangan yang tertunduk, Aurelia mengangguk pelan. “Iya Nyonya, saya sangat menyukai anak kecil,” jawab jujur Aurelia.
“Baiklah, kamu di terima menjadi pengasuh Athallah, anak yang tadi kamu tolong. Tapi tetap harus melalui uji coba selama sebulan, jika pekerjaan kamu bagus, telaten mengurus cucu saya, maka akan kita perpanjang kontrak kerja kamu. Jadi mulai besok kamu sudah bisa bekerja dan tinggal di sini,” kata Mama Syifa.
Wajah Aurelia langsung berseri-seri ketika menatap Mama Syifa, tak menyangka dirinya diterima kerja, namun ada hal yang belum dia siap yaitu tinggal di mansion.
“Alhamdulillah, terima kasih Nyonya, tapi bisakah saya tidak tinggal di sini?” tanya Aurelia, agak tidak enak hati untuk bertanya.
“Kenapa? Semua baby sitter yang bekerja sebelumnya memang tinggal di sini,” kata Mama Syifa, sementara Emran tidak banyak bertanya, jika sudah mamanya ikut campur.
“Kalau diizinkan saya kerjanya pergi pulang Nyonya, kebetulan saya sudah menikah dan rumah saya juga tidak terlalu jauh dari sini,” jawab Aurelia pelan.
Netra Mama Syifa melebar, sedangkan Emran hanya mengusap keningnya setelah mendengar wanita muda itu sudah menikah di usia 18 tahun.
“Kamu sudah menikah, usia kamu masih terbilang muda loh!” ucap Mama Syifa.
“I-iya Nyonya, setelah lulus sekolah, saya menikah ... dan baru tiga bulan yang lalu,” jawab Aurelia terdengar ada nada penyesalan.
Emran menarik dirinya dari sandaran kursinya, kemudian mengamati wajah wanita muda itu. “Sudah Mah, kita coba dulu dalam sebulan ini. Jika statusnya sudah menikah juga tidak masalah, yang penting bisa bekerja mengurus Athallah, kalau tidak bisa bekerja, tinggal kita cari kandidat yang lain,” timpal Emran dengan tegasnya, lagi pula jika baby sitternya sudah menikah, berarti dia tidak memiliki pengasuh yang genit padanya, karena sudah beberapa kali ganti baby sitter, banyak yang sibuk mencari perhatiannya ketimbang memperhatikan Athallah.
Mama Syifa pun menganggukkan kepala, tanda menyetujuinya.
“Ya sudah Aurel, kalau begitu jam kerja kamu mulai masuk jam 7 pagi hingga jam 7 malam, gaji kamu untuk di awal masa percobaan sebesar 4 juta, untuk makan selama di sini akan tersedia, dan besok sudah mulai bekerja,” lanjut kata Emran.
Aurelia menarik sudut bibirnya saat mendengar keputusan Emran, sama sekali tidak dipersulit, benar-benar tak disangkanya. Emran pun sebenarnya juga sudah pusing waktunya banyak tersita mencari pengasuh anaknya, walau sebenarnya dia tipe perfeksionis jika mencari pengasuh, tapi kali ini di luar standarnya, anggap saja bayar hutang budi telah menolong Athallah.
“Alhamdulillah, terima kasih Tuan dan Nyonya saya sudha diterima bekerja di sini, InsyaAllah saya akan bekerja semaksimal mungkin. Terima kasih,” ungkap kebahagian Aurelia. Wanita itu pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Mama Syifa, dia mencium punggung tangan wanita tua itu, lalu lanjut menciumnya punggung tangan Emran, tapi ...
DEG!
Emran terdiam saat tangannya dikecup oleh Aurelia, walau di budaya kita sudah terbiasa jika yang muda salim hormat pada yang lebih tua. Sedangkan Aurelia tiba-tiba canggung setelah mengecup tangan pria itu yang amat wangi, usai sadar dia menarik tangannya sendiri.
“Maaf Tuan,” jawab Aurelia begitu lirih.
...----------------...
Hari menjelang sore, Aurelia dan Lilis kembali pulang dari mansion, dengan hati yang bahagia wanita muda itu selalu mengucapkan rasa terima kasihnya pada Lilis, karena melalui Lilis lah dia bisa mendapatkan pekerjaan, yang dibukakan pintunya oleh Allah.
Sekarang mereka berdua tidak langsung ke rumah masing-masing, tapi mampir sejenak ke rumah Bu Tin.
“Alhamdulilah, Neng ... ibu ikutan senang kamu diterima kerja. Jadi kamu boleh pulang pergi, tidak tinggal di sana?” tanya Bu Tin.
“Iya Bu, saya diizinkan untuk tidak tinggal di sana, jadi bisa pulang pergi,” jawab Aurelia, tersenyum hangat. Namun, senyumannya tiba-tiba saja redup teringat jika dia berangkat pulang pergi dari rumah ke mansion, berarti butuh ongkos. Sedangkan uang yang dia miliki hanya 100 rb, itu pun sudah berkurang untuk bayar hutang sayur, lalu sore ini dia mau beli beras dan telur di warung Bu Tin. Jadi uang dari mana buat ongkos kerjanya? Tidak mungkinkan dia minta gaji di bayar di muka.
“Loh kok tiba-tiba kamu jadi diam?” tanya Bu Tin dengan tatapan menyelidiknya.
“Anu Bu ... baru ingat kalau kerjanya bolak balik, berarti saya butuh—“ Ah gak sanggup Aurelia melanjutkan ucapannya, di satu sisi dia senang diterima kerja, namun di satu sisi dia masih memiliki kekurangan yaitu uang.
Bu Tin tersenyum tipis dan sangat paham dengan maksud kata Aurelia, karena dia juga pernah mengalami saat anaknya pertama kali diterima bekerja di salah satu pabrik. Wanita paruh baya itu pun meninggalkan Aurelia dan Lilis sejenak menuju warungnya, kemudian tak lama dia kembali lagi, dan duduk di hadapan Aurelia.
“Neng, ini ibu ada uang ... kamu pakai dulu buat ongkos kerja kamu, nanti kalau sudah gajian, baru kamu pulangin uang ibu,” kata Bu Tin sangat tulus membantu, sembari menyodorkan amplop putih ke tangan Aurelia.
Tangan Aurelia gemetar menerimanya, netranya pun berbinar-binar. “Bu ...”
“Ambillah, kamu pasti butuh buat ongkos kerjakan,” kata Bu Tin agak memaksa.
Tetangga adalah saudara yang paling terdekat dengan keberadaan kita, maka dari itu baik-baik lah bersikap pada tetangga, karena mereka penolong pertama kita di saat keadaan yang tak terduga.
“Ya Allah, saya gak menyangka Ibu sudah banyak membantu saya. Alhamdulillah, terima kasih banyak Bu Tin, insya Allah setelah gajian akan saya ganti uangnya,” jawab Aurelia bergetar dengan meneteskan air mata terharunya. Lilis yang ada di antara mereka, mengusap lembut tangan wanita muda itu.
Terkadang menurut kita membantu seseorang walau tidak seberapa besarnya adalah hal yang biasa saja, akan tetapi buat orang yang menerima kebaikan itu adalah hal yang luar biasa, karena kebaikan yang diterimanya telah membuka jalan orang tersebut dari kesusahannya. Dan kebaikan tersebut menjadi ladang pahala bagi yang melakukannya.
bersambung ...
suka 🥰