Pagi di hari pernikahannya, Arnita mendapati dirinya tak hanya tidur sendiri. Karena di kamarnya yang sudah dihias khas kamar seorang pengantin, ada seorang pria yang sampai mendekapnya dan juga sama-sama tak berbusana layaknya dirinya. Lebih fatalnya lagi, Pria itu bukan Juan—calon suami Arnita, melainkan Restu yang tak lain suami dari Azelia, sahabat Arnita!
Arnita dan Restu dinikahkan secara paksa. Keduanya tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan apalagi membela diri walau keduanya yakin, mereka korban. Lebih parahnya lagi, Azelia yang meminta Restu menikahi sahabatnya itu, malah berniat balas dendam kepada Arnita. Tak kalah menyakitkan, Juan—calon suami Arnita justru memilih melanjutkan pernikahan dengan Sita—adik tiri Arnita, di hari itu juga.
Tepat ketika Arnita mengetahui dirinya hamil, Azelia yang memergoki malah mengusirnya, memaksanya pergi dari kehidupan Restu untuk selama-lamanya. Namun siapa sangka, lima tahun berlalu, Arnita yang sudah melahirkan seorang putra bernama Devano, kembali bertemu dengan Restu dalam keadaan mereka yang sudah berbeda. Restu merupakan CEO baru di perusahaan fashion Arnita bernaung.
Restu langsung tertarik kepada Devano, terlebih Restu yakin, bocah itu darah dagingnya. Demi Davano, Restu dan Arnita sepakat memperbaiki pernikahan mereka. Namun, benarkah pernikahan mereka murni demi Devano, padahal rasa ingin memiliki terus saja hadir, membuat Arnita apalagi Restu tidak bisa menahan lagi?
🌿🌿🌿
Lalu, bagaimana dengan kisah mereka? Ikuti kisahnya di novel ini. Jangan lupa subscribe, like, komentar, sama votenya, ya! Follow juga IG aku di : Rositi92 ❤
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 : Sidang Dan Keadilan ( Bagian 1)
Suasana rumah orang tua Arnita sudah ramai karena memang akan ada sidang. Tetangga yang jumlahnya lebih dari dua puluh orang, tampak berkerumun di halaman depan yang sebagiannya tersita untuk tempat parkir beberapa motor. Paling mencolok, mobil desa juga sudah ada di sana. Bisa jadi, pak kades juga sudah sampai datang.
Kedatangan Arnita yang juga dengan mobil Restu, langsung menyita pusat perhatian. Orang-orang menatap Restu apalagi Arnita, dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapan yang tentu berbeda ketika pada akhirnya, Arnita dan Restu dinikahkan paksa. Kini, mereka tampak jelas menyayangkan keadaan. Bukan sepenuhnya iba bahkan kepada Arnita. Sebab mungkin sudah telanjur menjadi harga mati, apa pun alasannya, wanita kedua dalam sebuah rumah tangga apalagi sampai tidur bersama kemudian dinikahkan, akan tetap menjadi duri dari hubungan orang.
“Duh, gimana ini, ya? Kasihan si Lia, enggak tahu apa-apa jadi korban!”
“Iya, kasihan si Azelia. Duh kalau aku jadi Lia, aku beneran enggak sanggup.”
Obrolan lirih dari mereka tak ada satu pun yang memihak Arnita. Arnita benar-benar merasa tak habis pikir, jelas-jelas ia juga korban, tapi hanya karena ia dijebak dengan suami orang bahkan suami dari sahabatnya sendiri, ia tetap dianggap sebagai duri.
Restu yang juga mendengar setiap obrolan lirih berusaha meraih tangan Arnita, menggandengnya dan bermaksud menguatkan wanita itu. Namun dengan cepat Arnita menepis bahkan buru-buru mempercepat langkah.
Tak hanya Arnita dan Restu saja yang datang. Sebab Juan yang sempat mereka tinggalkan juga turut serta. Restu yang emosional sampai berlari guna secepatnya menyusul Arnita. Di ruang tamu kediaman orang tua Arnita sudah penuh aparat desa maupun perwakilan warga dan pemuda yang akan mengikuti sidang.
Juan hendak menerobos kebersamaan Arnita dan Restu yang baru akan masuk rumah, tapi dengan sigap, Restu merengkuh tubuh Arnita yang awalnya ada di sebelah kirinya. Restu memindahkannya ke sebelah kanannya, mengangkatnya seolah tubuh Arnita sangat ringan untuknya. Juan yang niatnya sudah tidak benar malah terjerembab akibat ulahnya sendiri. Berbeda dengan Arnita yang menjadi terheran-heran melihat kesigapan Restu.
“Si Mas Restu beneran kuat banget. Tubuhku diangkat kayak bayi,” batin Arnita. Kali ini, ia membiarkan Restu membimbingnya masuk karena di sana masih ada Juan yang tengah ditolong aparat desa hanya karena pria itu anak kades mereka.
Restu merangkul kedua pundak Arnita dari belakang. Mereka langsung disediakan kursi plastik yang diambil dari rumah bagian dalam. Restu memilih tidak duduk. Ia berdiri di sebelah Arnita, terjaga dan siap membela.
Ibu Misya maupun Sita sudah berbusana. Namun, penampilan mereka sangat kacau. Tangan dan kaki juga penuh luka baret maupun gores. Semacam luka karena keduanya diseret paksa dan Arnita berpikir, efek dari keduanya yang sempat diarak. Suasana di sana terbilang mencengkam, tentu saja. Di risban panjang yang menghiasi ruang berkeramik putih tersebut, bapak Arnita duduk di sebelah ibu Misya dan Sita yang sibuk menunduk.
Yang Arnita tangkap, sang bapak lebih berpihak kepada Sita dan sang mamah. Padahal saat ia diarak kemudian dinikahkan paksa dengan Restu, sang bapak sama sekali tidak menemaninya. Karena ketika ibu Misya dengan begitu telaten mengha-jarnya seolah meluapkan rasa kecewanya, sang bapak hanya lemas duduk di kursi plastik sambil menangis, membiarkannya dihakimi. Yang mana setelah Arnita dan Restu dinikahkan paksa, sang bapak juga sampai mengusir Arnita.
Iya, Arnita masih ingat itu. Betapa kasih sayang bapaknya langsung tak tersisa dan hanya untuk istri barunya maupun Sita. Kehilangan seorang ibu sementara sang bapak menikah lagi, benar-benar membuat seorang Arnita menjadi anak yatim piatu. Sang bapak sudah langsung lepas tanggung jawab dan larut bahagia dalam kehidupan barunya. Itu kenapa, walau usianya baru dua puluh dua tahun, Arnita yang juga masih kuliah, mau menerima pinangan Juan.
Awalnya Arnita berpikir, menikah dengan Juan akan menadi awal dirinya memiliki keluarga dalam formasi utuh. Ia akan kembali merasakan hangatnya keluarga yang sudah langsung hilang semenjak mamaknya meninggal apalagi keluarga Juan juga menyukainya. Namun faktanya, rencana pernikahannya dengan Juan malah membuat hidupnya diwarnai mimpi buruk. Bahkan, rencana pernikahannya dan Juan, menjadi awal malapetaka dalam hidupnya.
“Nit, sudah diselesaikan secara kekeluargaan saja. Jangan rame-rame begini. Malu, kasihan mamak dan adik kamu,” ucap bapaknya Arnita.
Sudah terlihat jelas bukan, betapa cintanya kepada sang istri baru, membuat pak Maman bapak Arnita, lupa akan siapa Arnita dan semua yang sudah terjadi. Arnita korban, tapi sang bapak malah bersikap tak berperasaan.
Wajah Sita dan ibu Misya langsung memelas berlindung kepada pak Maman. Pemandangan yang begitu membuat Arnita muak.
“Saya tetap ingin kasus ini diusut. Mas Restu juga sudah panggil polisi buat urus,” tegas Arnita tak sedikit pun goyah. Bahkan walau bapaknya terus memohon dan berakhir marah lantaran ia tak mau mengubah keputusannya, Arnita tetap memohon keadilan.
“Mereka bukan anak kecil. Mereka tahu apa yang mereka lakukan salah, tapi mereka sampai sengaja merencanakannya. Ini kejahatan berencana karena awal mula ibu Misya menikah dengan bapak saya pun memang warisan. Termasuk Sita, ... kalian benar-benar layak dipenjara. Kenapa kalian kembali pakai pakaian, padahal saat menjebakku dan Mas Restu, kalian bertindak seolah kalian manusia paling suci?” ucap Arnita bertutur cepat sekaligus tegas sambil bersedekap.
Ibu Misya menangis sambil mendekap sebelah tangan bapak Arnita. Ia membenamkan wajahnya di sana. Tentu itu jurus jitu agar sang suami mematahkan keputusan Arnita.
Terbukti, bapak Arnita langsung menghela napas kasar sambil menatap tak habis pikir sang putri. “Kalau cara kamu seperti itu, berarti kamu enggak menghargai bapak sebagai orang tua kamu, Nit. Kamu sudah enggak butuh Bapak!”
“Tentu saja aku butuh banget, Pak! Aku beneran butuh Bapak banget, tapi Bapak sudah lepas tangan dan langsung enggak menganggapku semenjak Bapak menikah lagi! Situasi ini benar-benar memaksaku berjuang sendiri. Terhitung sejak mamak meninggal dan Bapak langsung sibuk mengejar cinta istri baru Bapak, ketidakadilan ini aku rasakan!” Arnita menatap tegas sang bapak.
“Lihat aku, Pak. Wajah, tubuh, hati, bahkan kehidupanku babak belur gara-gara kedua orang yang Bapak bela!” Air mata Arnita lolos dari kedua ujung matanya.
Arnita memang sangat emosi bahkan muak, tapi sampai detik ini, ia masih menyikapi keadaan dengan tenang sekaligus elegan. Arnita tak mau makin rugi dengan membuang-buang waktu dan tenaga untuk menghadapi manusia tak punya hati seperti orang-orang dalam hidupnya. Tak hanya mamak dan adik tirinya. Karena setelah Juan juga menampakkan taring sekaligus wujud asli pria itu, nyatanya sang bapak juga menjadi manusia paling ke-ji dalam hidupnya.