Karena sebuah wasiat, Raya harus belajar untuk menerima sosok baru dalam hidupnya. Dia sempat diabaikan, ditolak, hingga akhirnya dicintai. Sayangnya, cinta itu hadir bersama dengan sebuah pengkhianatan.
Siapakah orang yang berkhianat itu? dan apakah Raya akan tetap bertahan?
Simak kisah lengkapnya di novel ini ya, selamat membaca :)
Note: SEDANG DALAM TAHAP REVISI ya guys. Jadi mohon maaf nih kalau typo masih bertebaran. Tetap semangat membaca novel ini sampai selesai. Jangan lupa tinggalkan dukungan dan komentar positif kamu biar aku semakin semangat menulis, terima kasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandyakala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergian Ezra
"Mas yakin hanya membawa barang ini saja ke sana?", Raya melirik ke arah suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Iya, sayang. Kenapa?".
"Ini sedikit sekali, Mas. Padahal Mas Ezra kan di sana lumayan lama, satu bulan lho", Raya menunjukkan isi koper suaminya.
Ezra tersenyum tipis, "Tak apa. Kalau pakaian tidak perlu bawa terlalu banyak. Mas bisa beli di sana. Dari sini bawa barang yang penting saja".
"Hmm ... baiklah", jawab Raya pendek. Dia dengan sigap menyiapkan dan merapikan semua barang penting yang Ezra maksud.
"Sudah selesai?", tanya Ezra yang kali ini sudah duduk bersandar ke kepala ranjang.
"Sudah, Mas".
"Kalau sudah, kemarilah", Ezra membentangkan kedua tangannya, meminta Raya untuk datang ke pelukannya.
Raya segera memenuhi permintaan suaminya dan entah kenapa, meskipun dia senang dengan sikap manis Ezra, tapi hati kecilnya merasa resah dengan kepergian Sang suami, namun Raya berusaha menepisnya.
"Mas ...".
"Hm?".
"Jangan lupa untuk jaga kesehatan, makan, dan istirahatnya selama ya di sana. Meskipun ada Papa dan Mama, tapi rasanya aku tidak tenang kalau bukan tanganku sendiri yang mengurus Mas Ezra", ucap Raya saat dirinya sudah menempelkan kepalanya di dada bidang Ezra.
Hati Ezra berdesir mendengar ucapan Raya. Istrinya begitu memikirkan keadaannya bahkan disaat dirinya sendiri belum pergi. Rasa bersalah di hati Ezra semakin kuat menyeruak di hati Ezra.
"Mas ...".
"Ya?".
Raya mendongakkan kepalanya, menatap wajah suaminya dari dekat, "Jika ada masalah, Mas bicara ya sama aku. Jangan menanggung beban sendiri".
Deg
Jantung Ezra berdegup. Raya seolah bisa membaca beban pikirannya belakangan ini.
Ezra mencoba tersenyum manis pada istrinya, "Iya, sayang. Do'akan aku terus ya. Semoga urusan bisnis dan masalah di perusahaan Papa juga segera selesai", Ezra masih berbohong pada Raya.
"Iya, Mas. Aku pasti selalu mendo'akan yang terbaik buat Mas Ezra", jawab Raya sungguh-sungguh.
Perasaan Ezra saat ini begitu tak karuan. Hati kecilnya sakit setiap kali dia mengingat kebohongannya pada Raya yang justru selalu mengucapkan hal-hal baik yang tulus.
"Sayang, kalau kamu tidak lelah, malam ini Mas ingin ...".
"Aku tidak lelah, Mas", jawab Raya cepat menanggapi ucapan suaminya. Dia sudah bisa membaca arah pembicaraan itu.
Lampu kamar yang semula terang pun kini berubah temaram. Meski dengan rasa bersalah yang dalam, Ezra tetap memegang teguh cintanya pada Raya.
"Aku sungguh sangat mencintaimu, sayang", bisik Ezra lembut sesaat sebelum ia melakukan penyatuan dengan Raya.
Tepat pukul sembilan pagi, Raya mengantarkan kepergian suaminya.
Kali ini yang mengantarkan kepergian Ezra ke bandara tidak hanya Raya dan Pak Seno saja, tapi juga as da Bagas dan Dion. Ezra sengaja meminta mereka untuk datang ke bandara agar keduanya bisa bertemu dengan Raya.
"Taka care and safe flight, ya, Bro", ucap Dion sambil memeluk Ezra.
"Kabari kalau sudah sampai di sana", giliran Bagas yang bicara.
Ezra menganggukkan kepala, "Thank's ya, Bro. Gue titip keselamatan istri gue selama gue pergi dan kabari gue kalau ada apa-apa", ucap Ezra sebelum dirinya beralih menemui Raya yang sedari tadi duduk menyaksikan pemandangan suaminya dengan kedua sahabatnya itu.
Bagas dan Dion mengangguk bersamaan. Mereka sudah saling tahu satu sama lain.
"Sayang, aku berangkat ya. Kalau ada apa-apa dan semisal aku sulit dihubungi, jangan sungkan untuk menghubungi Bagas dan Dion. Aku sudah meminta mereka buat jaga kamu selama aku pergi, ya", Ezra menatap lekat wajah Raya yang sebentar lagi akan ia tinggalkan.
"Iya, Mas. Hati-hati", ucap Raya dengan suara bergetar. Sedari tadi dia berusaha keras menahan air matanya, tapi kali ini air mata itu jatuh begitu saja.
Ezra memeluk Raya dengan erat. Dia bisa merasakan istrinya menangis dalam pelukannya. Sebenarnya di lubuk hati Ezra, dia pun tidak ingin berpisah seperti ini. Tapi keputusan sudah dibuat dan Ezra harus menyelesaikan semuanya.
"Jaga diri kamu baik-baik ya. Aku hanya satu bulan saja di sana", Ezra mengecup dalam kening Raya.
Bagas dan Dion bisa melihat betapa besar cinta Ezra untuk Raya.
Raya tidak bisa berkata-kata lagi, ia hanya bisa menganggukkan kepala dan berusaha menahan tangisnya.
"Pak, tolong jaga Raya dengan baik", terakhir Ezra berpesan hal yang sama pada Pak Seno.
"Nggih, Tuan", jawab Pak Seno cepat.
Suara panggilan untuk penumpang pesawat ke negara Y sudah terdengar. Sekali lagi Ezra memeluk erat Raya dan memberikan kecupan penuh kasih untuk istrinya. Ini adalah kali pertama bagi Ezra maupun Raya untuk berpisah dalam waktu yang cukup lama.
Raya hanya bisa melihat kepergian Ezra dari jauh dan melambaikan tangan padanya.
"Tuhan, kenapa hatiku berat sekali melepas kepergian Mas Ezra? tolong jaga dia dengan baik di sana", harap Raya dalam hati.
Setelah Ezra pergi, Bagas dan Dion menghampiri Raya. Mereka tahu Raya sedang bersedih, tapi sesuai dengan pesan Ezra, mereka berdua harus memastikan keadaan Raya baik-baik saja.
"Sorry, kita ganggu. Bisa bicara sebentar?", tanya Dion memulai pembicaraan.
Raya yang sedari tadi fokus ke arah pintu keberangkatan kini menoleh ke arah Dion.
"Iya, ada apa?", tanya Raya pendek.
"Kamu pasti tahu kita kan. Waktu kamu dan Ezra menikah, kita berdua juga hadir. Mmm ... ini, aku sama Bagas mau kasih ini", Dion menyodorkan dua lembar kartu nama pada Raya.
Raya menerima kartu nama itu, di sana tertera nama Dion dan Bagas, lengkap dengan nomor kontak juga alamat rumah mereka.
"Jangan salah paham ya. Kita kasih ini karena sesuai dengan pesan Ezra yang menugaskan aku dan Bagas agar selalu memastikan keselamatan kamu selama dia pergi. Jadi, ini nomor kontak kita berdua", lanjut Dion lagi dengan mode sopan.
"Kamu jangan sungkan hubungi kita ya kalau butuh sesuatu. Pokoknya keep calm lah kalau sama kita", imbuh Bagas.
Raya tersenyum mendengar celotehan Dion dan Bagas. Meskipun suaminya belum pernah menceritakan kedua sahabat karibnya ini, tapi Raya bisa melihat kebaikan Bagas dan Dion dari pertemuan mereka saat ini.
"Aku terima ini ya, Mas Bagas dan Mas Dion. Terima kasih", ucap Raya ramah.
"Ya Tuhan, kita dipanggil 'Mas' sama Raya", ucap Bagas sambil mengusap kedua pipinya, tak percaya.
Dion menyikut Bagas yang dinilainya berlebihan, sedangkan Raya merasa geli sendiri melihat tingkah kedua sahabat suaminya itu.
"Apa panggilanku salah, ya?", tanya Raya.
"Oh, eh, enggak kok, gak salah. Cuma Si Bagas ini memang ya, biasa lah, lebai dia", seloroh Dion asal.
Bagas yang disebut lebai menyenggol lengan Dion dengan sikutnya, "Bukan lebai, tapi terpesona karena biasanya orang-orang kalau manggil ya sebut nama doang, gak pakai gelar 'Mas' macam tadi. Itu kehormatan banget buat gue".
Raya tertawa kecil mendengar kejujuran Bagas dan melihat ekspresinya.
"Baiklah, kalau gitu aku pamit duluan ya, Mas Bagas, Mas Dion", Raya memberikan penekanan pada panggilan nama kedua lelaki di depannya itu.
"Iya, hati-hati ya Raya", jawab Dion.
"Take care. Makasih lho udah panggil gue 'Mas', senang banget", Bagas masih saja tersipu.
Raya menganggukkan kepala dan berlalu dari bandara bersama Pak Seno.
"Ck, Gas, lain kali jangan lebai gitu ah. Gue malu lihatnya, terus nih ya kalau lagi ngobrol sama Raya, pakai sebutan 'aku' sama 'kamu' aja, jangan pakai 'gue' segala, gak sopan. Nanti kepleset lagi panggil dia 'lo', jangan diulang!", cerocos Dion tanpa henti.
"Dih, emang salah ya kalau gue tersipu dan bilang 'gue'? Raya aja gak protes, tapi lo sewot amat", Bagas tak terima.
"Ck, salah lah. Wanita selembut Raya mana boleh dengar sebutan yang enggak-enggak", Dion bicara sambil meninggalkan Bagas yang masih berdiri di tempatnya.
.
.
Setelah menghabiskan waktu dua belas jam perjalanan, Ezra akhirnya sampai di bandara utama negara Y. Kedatangannya disambut oleh Papa, Mama, dan tentu saja Om Ardi.
"Welcome my sweet heart", Mama Laura memeluk dan mencium Ezra seolah lama tak bertemu padahal baru beberapa hari yang lalu Ezra mengantarkannya ke bandara.
"Gimana perjalannya, Zra?", tanya Om Ardi ramah. Sedari tadi dia ikut menunggu kedatangan Ezra.
"Ya lumayan melelahkan, Om", jawab Ezra. Tak lupa ia menyalami Om Ardi.
"Karena Ezra sudah tiba, sebaiknya kita segera kembali ke rumah", ajak Papa Hadinata setelah ia memberikan pelukan pada putra tunggalnya itu.
Sepanjang perjalanan sesekali Ezra bersuara. Tapi itupun jika ia ditanya atau dimintai pendapat.
Pikiran Ezra melayang jauh, ingatannya terpaut pada Raya. Dia melirik gawainya, lalu mengirimkan pesan pada istrinya itu.
Sayang, aku sudah sampai dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah Papa. Kamu sedang apa?.
Ezra mengirimkan pesan itu dan berharap Raya segera membalasnya.
semoga tidak ada lagi yang menghalangi kebahagiaan kalian
setelah aku ikuti...
tapi cerita nya bagus biar diawal emosian 🤣🤣🤣
semoga aja raya bisa Nerima anak kamu dan Sindi ya...
semangat buat jelaskan ke raya
aku penasaran kek mana reaksi Sindi dan papanya tau ya kebusukan anak nya
semoga tidak terpengaruh ya....
taunya Sindi sakit tapi kalau kejahatan ya harus di pertanggung jawaban