Seorang laki laki yang bekerja produser musik yang memutuskan untuk berhenti dari dunia musik dan memilih untuk menjalani sisa hidupnya di negara asalnya. dalam perjalanan hidupnya, dia tidak sengaja bertemu dengan seorang perempuan yang merupakan seorang penyanyi. wanita tersebut berjuang untuk menjadi seorang diva namun tanpa skandal apapun. namun dalam perjalanannya dimendapatkan banyak masalah yang mengakibatkan dia harus bekerjasama dengan produser tersebut. diawal pertemuan mereka sesuatu fakta mengejutkan terjadi, serta kesalahpahaman yang terjadi dalam kebersamaan mereka. namun lambat laun, kebersamaan mereka menumbuhkan benih cinta dari dalam hati mereka. saat mereka mulai bersama, satu persatu fakta dari mereka terbongkar. apakah mereka akan bersama atau mereka akan berpisah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Hartzelnut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 14
*****
Setelah melihat sekelilingnya dengan teliti, Jack tersenyum lebar, matanya berbinar. "Ah, itu dia" ucapnya sambil melihat ke arah Julia dengan ekspresi puas. Ssst... Napasnya terdengar lebih tenang setelah dia merasa lega.
Julia, yang melihat perubahan ekspresi Jack, mengernyitkan dahi, bingung dengan maksud perkataannya. "Maksudnya?" pikirnya sambil mengangkat alis, tak menyangka Jack akan bicara begitu. Tanpa banyak kata, Jack berjalan menjauh darinya, melangkah ke sisi ruangan.
Julia semakin terkejut saat melihat Jack berhenti di depan wastafel. "Oh... ternyata dia mencari wastafel?" batinnya, matanya melebar. Rasa malu mulai muncul di wajahnya, menyadari bahwa tadi dia berpikiran aneh-aneh tentang Jack. Ssst... Senyuman malu-malu muncul di wajahnya saat dia merasa lega, tapi juga sedikit terintimidasi oleh pikiran-pikirannya sendiri.
Jack menyalakan keran wastafel. Ssst... Air mengalir deras, dan dia mencuci tangannya dengan teliti. Srek... srek... Suara tangan Jack menggosok-gosok pelan, sementara air terus mengalir membersihkan setiap sudut tangannya. Setelah selesai, dia menarik tisu untuk mengeringkan tangannya. Srrtt... srrtt... Suara tisu yang ditarik dengan cepat dari dispenser terdengar saat Jack mengelap tangannya dengan hati-hati.
Selesai mencuci tangan, Jack berjalan mendekati Julia, yang kini berdiri menunggunya di depan pintu lobby. "Sudah, ayo balik," kata Jack santai, suaranya terdengar lebih riang. Julia hanya mengangguk, mengikuti langkah Jack dengan senyum kecil di wajahnya.
Mereka berjalan bersama menuju lift. Ssst... Suara langkah kaki mereka terdengar halus di lantai lobby yang bersih. Sampai di depan lift, Julia menekan tombol. Klik... Suara halus terdengar saat tombol lift ditekan, dan lift pun terbuka perlahan. Ssst... Pintu lift bergeser dengan lembut, memperlihatkan ruang yang kosong.
Julia melangkah masuk lebih dulu. Srek... srek... Langkahnya terdengar pelan di lantai lift yang licin. Jack kemudian masuk setelahnya, berdiri di sebelah Julia. Mereka berdiri bersebelahan, suasana yang awalnya sedikit canggung perlahan berubah menjadi lebih tenang.
Setelah beberapa saat diam, Jack tiba-tiba mengulurkan tangannya ke arah Julia. Julia menatap tangan Jack dengan bingung, alisnya terangkat, tidak mengerti apa yang dia maksudkan.
Jack tersenyum santai, "Kita belum saling berkenalan, bukan?" ujarnya ringan sambil tertawa kecil. "Aku Jack," lanjutnya sambil tetap tersenyum ramah. "Aku baru saja pindah ke china dan untuk sementara, aku numpang di rumah teman."
Julia, yang kini mengerti, tersenyum malu-malu. "Oh...," gumamnya, lalu dengan cepat meraih tangan Jack dan menjabatnya. Ssst... Suara lembut ketika tangan mereka bersentuhan, namun perasaan canggung tetap ada. "Aku Julia Wang, senang bertemu denganmu," katanya sambil tersenyum. Wajahnya sedikit memerah karena merasa canggung, tapi dia tetap berusaha tenang.
Jack mengangguk sambil masih memegang tangan Julia dengan lembut, lalu melepaskannya perlahan. "Senang bertemu denganmu juga, Julia."
Julia melanjutkan, "Aku sebenarnya juga cuma numpang sementara di apartemen temanku... Tapi minggu depan, aku akan pindah ke lantai bawah."
Jack terkejut mendengar itu. "Serius? aku kira kamu tinggal di apartemen tersebut." ucapnya sambil tertawa kecil. Julia tersenyum lebih lebar, merasa lebih rileks karena suasana kini menjadi lebih santai.
Ssst... Lift perlahan turun, suara mesin terdengar halus di telinga mereka. Jack kemudian bertanya dengan antusias, "Ngomong-ngomong, kamu tadi akan tinggal di apartemen bawah ya...? apakah kamu tahu masih ada apartemen yang dijual tidak? ..... kebetulan aku juga sedang mencari tempat tinggal tetap."
Julia terdiam sejenak, berpikir keras. "Hmm...," gumamnya sambil menatap ke arah depan, mencoba mengingat. Ssst... Suara lift yang bergerak semakin pelan, seolah ikut mendukung suasana pikirannya. Tiba-tiba, matanya melebar saat ia ingat sesuatu. "Oh! Ada satu apartemen di depan apartemenku yang dijual!" serunya dengan penuh semangat.
Jack langsung tampak antusias. "Benarkah? Wah, baguslah!" ucapnya dengan senyum lebar. "Ada nomor yang bisa aku hubungi tidak?"
Julia tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Iya, aku punya kontak marketingnya...," jawabnya, tapi kemudian ekspresinya berubah sedikit gugup. "Tapi........"
Jack tertawa kecil, "Oh, iya, tunggu sebentar!." Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, menatap Julia dengan senyum ramah. "Ini nomorku." upcapnya sambil menunjukkan hpnya ke Julia.
Julia tersenyum saat mengetik nomor Jack di ponselnya, sekaligus mengirimkan kontak marketingnya ke Jack. "Oke......... sudah aku kirim nomornya.".
Jack memeriksa ponselnya dan tersenyum senang saat menerima kontak tersebut. "Terima kasih banyak.....," ucapnya sambil tersenyum lebar.
Julia tersipu malu, tapi dia juga merasa senang telah bisa membantu. "Sama sama Jack......." jawabnya sambil menatap Jack dengan senyum hangat.
Ssst... Lift akhirnya tiba di lantai apartemen mereka. Pintu terbuka perlahan, dan mereka melangkah keluar bersama. Srek... srek... Suara langkah kaki mereka bergema di koridor yang kini terasa lebih akrab daripada sebelumnya.
*****
Jack dan Julia keluar dari lift dengan suasana yang lebih tenang, keduanya masih tersenyum tipis setelah percakapan ringan di lift. Ssst... Suara langkah kaki mereka bergema di koridor yang hening.
Jack berhenti di depan pintu apartemen Julia, lalu mengangguk kepadanya dengan sopan. "Terima kasih, Julia. Sampai jumpa" katanya sambil tersenyum, menatap Julia dengan ramah.
Julia tersipu malu, tetapi tetap tersenyum hangat. "Sama-sama, Jack. Sampai jumpa kembali," jawabnya pelan, lalu mengangguk sebelum berjalan menuju apartemen Natalia.
Setelah Jack melangkah menjauh, Julia masuk ke apartemen dengan cepat. Klik! Suara pintu tertutup terdengar lembut, dan seketika itu juga Julia bersandar pada pintu dengan napas yang sedikit tertahan. Huff... Wajahnya memerah, senyum kecil merekah di bibirnya. "Aaaaaaaaa..... senang sekaliiiii!!!!, aku nggak percaya... aku dapat kontaknya!" pikirnya dalam hati, mata melirik layar ponsel yang masih menampilkan nomor Jack.
Ssst... Jari-jarinya dengan cepat mengetik di layar ponselnya, mengganti nama Jack menjadi sesuatu yang lebih lucu. "Hmmm... 'Si Tampan Misterius' mungkin?" pikirnya sambil tertawa kecil sendiri. Dia terus memikirkan beberapa nama yang lebih lucu, akhirnya memilih untuk menamainya sebagai "Mr. Smile. mungkin lebih keren."
Setelah puas dengan perubahan nama itu, Julia berjalan menuju kamar dan langsung rebahan di kasur Natalia. Ssst... Suara kain kasur yang disentuh tubuhnya membuatnya lebih rileks. Dia berbaring sambil terus tersenyum, memikirkan kembali kejadian tadi. "Dia sangat tenang... dan ramah," batinnya. Tawa kecil terdengar di ruangan saat dia memutar-mutar ponselnya di tangannya, teringat saat tangan mereka bersentuhan di lift.
Di sisi lain, Jack masuk ke apartemen Brian dengan langkah santai. Klik! Pintu tertutup di belakangnya, dan dia bersandar sebentar, tersenyum lebar. "Cukup menarik....," pikirnya. Ada perasaan bahagia yang memenuhi hatinya setelah pertemuan singkat dengan Julia. Dia merasa kalau Julia adalah wanita yang menyenangkan dan baik hati.
Namun, saat Jack berjalan menuju ruang tengah, dia terhenti. Brian berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Jack dengan tatapan dingin dan datar. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun, namun sorot matanya seolah meneliti setiap gerakan Jack.
Jack terkejut, melirik ke arah Brian. "Ohh.... kau sudah bangun?" tanyanya dengan nada bercanda, meskipun dia sedikit terintimidasi oleh kehadiran Brian yang tiba-tiba.
Brian menatapnya sebentar sebelum berbicara dengan nada dingin. "Gara-gara kau, aku tidak bisa tidur lagi," jawabnya datar sambil berjalan menuju kulkas. Ssst... Suara langkah kakinya terdengar pelan di lantai saat dia membuka kulkas dan mengambil sebotol air. Klik... Suara tutup botol terbuka, lalu Brian minum tanpa berkata apa-apa.
Jack tertawa kecil, berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Ssst... Suara kulit sofa bergesekan dengan tubuh Jack saat dia duduk dan mengeluarkan ponselnya. Dia masih merasa senang setelah pertemuan dengan Julia, matanya kembali menatap ponsel dengan senyum di wajahnya. "Menarik" gumamnya dalam hati sambil membuka kontak ponsel, mengecek nomor Julia lagi.
Namun, Brian, yang sudah mengenal Jack dengan baik, tampak mencurigai sesuatu. Brian menyipitkan matanya, merasakan ada yang aneh. "Kau terlihat senang," ucapnya dengan nada waspada, memandang Jack sambil menaruh botol air di meja.
Jack mendongak, masih dengan senyum di wajahnya. "Maksudmu?" tanyanya, sedikit bingung tapi masih merasa santai.
Brian menghela napas pendek, duduk di kursi sebelah. "Jack, hati-hati dengan mereka di sini," ucapnya dengan tegas, nada suaranya dingin namun penuh peringatan.
Jack menatapnya dengan ekspresi terkejut, tapi dia tertawa kecil. "haaa?" katanya ringan, tidak terlalu memikirkan peringatan Brian.
Brian menatap Jack dengan serius. "Ingat, meskipun kita berdua memang orang China, kita sudah hidup di luar negeri selama 24 tahun. Kita nggak tahu bagaimana situasi di sini sekarang. Kita asing di negara sendiri, dan aku nggak mau kita lengah," ucapnya dengan nada rendah tapi penuh keyakinan.
Jack mendengarkan ucapan Brian dengan cermat, tapi dia hanya tersenyum. "Kau terlalu khawatir. Nggak ada yang perlu dicemaskan," katanya, meski ada sedikit perasaan bahwa Brian mungkin ada benarnya.
Tak lama setelah itu, Jack menelpon marketing apartemen yang baru saja diberikan oleh Julia. Ssst... Suara tombol di ponsel terdengar saat dia mulai memanggil nomor tersebut. Tut... tut... Nada sambung terdengar beberapa kali hingga akhirnya seseorang mengangkat teleponnya.
"Selamat sore, marketing apartemen. Ada yang bisa saya bantu?" terdengar suara ramah dari seberang.
Jack tersenyum dan menjawab, "Selamat sore. Saya Jack, apakah ada apartemen yang sedang dijual?"
"Baik, Tuan Jack. Kami masih punya apartemen yang belum terjual" suara marketing terdengar penuh semangat.
Jack melanjutkan, "Boleh saya tahu berapa harga apartemennya?" tanyanya sambil menyilangkan kaki, bersiap mendengar jawabannya.
Marketing itu menjawab dengan tenang, "Harga awal apartemen tersebut adalah 6,5 juta yuan. Namun, kami terbuka untuk negosiasi, tergantung kondisi pembayaran dan waktu yang Anda inginkan untuk melihat properti ini."
Jack tampak berpikir sejenak. "Begitu ya..., Bisakah saya melihat apartemennya?"
Marketing itu cepat menanggapi. "Tentu saja, bagaimana jika lusa pukul 10 pagi?"
Jack mengangguk meski di telepon. "Baiklah."
"Terima kasih, Tuan jack. Kami tunggu kedatangannya," ucap marketing dengan suara ramah.
Jack menutup telepon dengan puas. Klik. Setelah itu, dia menatap ponselnya, tetapi tiba-tiba sebuah kontak baru masuk ke dalam ponselnya. Ding! Notifikasi muncul. Jack memeriksa kontak tersebut dan merasa bingung. "Hah? Siapa ini?" pikirnya sambil memandang layar.
Brian, yang duduk tak jauh dari Jack, melihat reaksi bingungnya. "Itu kontak dari adik Jason." ucap Brian dingin, mengangkat alisnya sambil melirik Jack.
Jack tertegun. "Adik Jason? Maksudnya Grace?" tanyanya, semakin bingung bagaimana Brian bisa mendapatkan kontak tersebut.
Brian tetap diam, lalu berdiri dan berjalan menuju dapur tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Ssst... Langkah kakinya terdengar berat di lantai, membuat suasana semakin misterius.
Melihat sikap Brian, Jack menyadari ada sesuatu yang Brian sembunyikan. Dia menatap Brian dengan senyum kecil di bibirnya, lalu bertanya lagi, "Jadi, semua ini diurus oleh Grace?"
Brian berhenti sejenak, namun tidak menjawab pertanyaan itu. Dia hanya melanjutkan langkahnya menuju dapur.
Jack, yang penasaran, tersenyum lebih lebar. "Ayo, Brian, katakan. Apa hubunganmu dengan Grace?" tanyanya sambil bersandar di sofa, menatap punggung Brian dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
Tanpa berbalik, Brian akhirnya menjawab dengan nada datar, "Anak itu suka dengan Matt,"
Jack tertawa keras mendengar jawaban Brian. "Hahaha! Baiklah..... Baiklah...... aku tau.... aku cuma bercanda saja......" candanya sambil terus tertawa.
Brian mendengus pelan tanpa menanggapi lebih lanjut, tapi senyum kecil muncul di sudut bibirnya meskipun dia berusaha menyembunyikannya.
*****