Cerita cinta Aira yang berujung balas dendam, menjadi saksi bisu untuk dirinya. Kematian sang ibunda, bukanlah hal yang mudah dilalui gadis desa itu.
Ia disered paksa diperjual belikan oleh sang ayah, untuk menikah dengan seorang CEO bernama Edric. Lelaki lumpuh yang hanya mengandalkan kursi roda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Arip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Egoisnya Ellad.
Dibalik pintu kamar, Edric tetawa sembari mengetuk ngetuk pintu kamar Aira yang sudah terturup rapat. Sedangkan Aira yang berada di dalam rumah menggerutu kesal dengan berkata. " Dasar cowo mesum. "
Mendengar apa yang dikatakan Aira, membuat Edric lelaki berbola mata berwarna biru itu tertawa kecil, " Aira. Walaupun saya mesum, kamu sebentar lagi akan menjadi milik saya. Ingat itu. "
Aira tak mempedulikan perkataan Edric, ia kini kembali diam. Untuk segera tidur dan menyambut hari esok. Sedangkan Ellad sibuk mengurus dekorasi untuk besok, karena waktu yang mempet membuat sang CEO ingin segera cepat melangsungkan pernikahan anaknya.
Dwinda sibuk dengan dirinya yang bulak balik ke sana ke mari, mencoba memikirkan cara bagaimana menggalkan rencana pernikahaan anak tirinya, membuat ia terus berpikir dan berpikir keras.
Pintu mulai terdengar dibuka, Dwinda membaringkan badan di atas kasur. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Ia malah melihat sang suami, dengan raut wajah tuanya itu, tak menggairahkan dan tak sedap dipadang mata.
Ellad yang memang, terkesan romantis, mendekat ke arah sang suami dengan tatapan merasa bersalah karena sudah membentak Dwinda.
"Sayang, kamu masih marah?" Mengusap pelan rambut lurus Dwinda yang harum dan terawat itu. Mencium secara perlahan dengan penuh kasih sayang," Maafkan aku, sayang. "
Menghelap napas, terasa berat. Dwinda merasa semakin jijik dengan perlakuan suaminya. Tangan Ellad mulai memegang tangan sang istri. Akan tetapi tangan itu sengaja di hepaskan Dwinda.
Ellad yang tadinya ingin memeluk Dwinda, malah bangun dan pergi menghirup udara segar diluar. Menghisap satu batang rokok yang terasa hangat, pada tenggorokan, Ellad benar benar kecewa akan sikap Dwinda yang sekarang.
"Kenapa dengan kamu yang sekarang, Dwinda. Kenapa kamu berubah? "
Pertanyaan sedikit menyulitkan Ellad, hatinya rapuh. Lelaki tua itu hanya menatap pemandangan yang sunyi. Membuat sesuatu sedikit merusak naluri.
"Hah, apa aku harus mencari tahu tentang istriku yang berbeda sifatnya akhir akhir ini."
Tanpa disengaja Edric mendengar keluhan sang ayah yang berbicara sembari menghisap batang rokok yang mengeluarkan asapnya, lelaki paruh baya itu seakan prustasi.
Menghampiri, mengambil batang rokok yang berada di tangan sang ayah. Edric langsung mematikan api yang menyala pada batang roko itu.
"Dad, kenapa? Kenapa Dadi malah merokok, kan Dadi tahu sendiri dokter sudah melarang Dadi, agar berhenti merokok. " ucap lelaki berumur 28 tahun itu mengkhawatirkan sang ayah.
"Kenapa, malah kamu matikan, Edric. Dadi ingin merasakan nikmatnya kesendirian berasama roko yang sudah lama tak menemani hari hari Dadi. " balas lelaki berambut putih dengan badannya yang masih terlihat segar bugar.
"Jangan bodoh, Dad. Hanya karena kemarahan wanita tanpa tahu sebabnya, Dadi membuat diri sendiri tersiksa, " tegas Edric. Berusaha membuat sang ayah bangkit dari keterpurukan akan sosok wanita yang sudah tak peduli dengan dirinya, Edric pelan-pelan menasehati sang ayah agar tidak terlalu mencintai istrinya yang sekarang.
Walau sebenarnya itu tak mudah, tapi Edric berusaha karena ia tak mau istri barunya, terus menerus mencuci otak sang ayah.
"Tahu apa kamu tentang pernikahan, kamu hanya seorang anak muda yang baru merasakan arti cinta, " balas Ellad dengan raut wajah gusarnya.
"Dad, aku ini peduli dengan Dadi, walau aku belum merasakan apa itu arti dari pernikahan, pleas Dad. Degarkan apa perkataanku," ucap Edric, berusaha menyakini sang ayah jika dirinya benar benar kuatir.
Sifat egois sang ayah begitu lekat pada Ellad, untuk mendengarkan kata nasehat dari anaknya sendiri, Ellad mengabaikan tak peduli, karena menggap Edric hanya seorang bocah.
Padahal Edric sudah menginjak dewasa, ia tahu mana yang benar dan salah. " Dad, kenapa semenjak menikah dengan Dwinda. Dadi itu terlihat tak bergairah, seakan hidup Dadi penuh dengan tekanan. Apa karena cinta membuat semua Dadi seperti ini? "
Ellad menatap lekat ke arah Edric, seraya berkata. " Sudahlah jangan terlalu ikut campur urusan orang tua, sebaiknya kamu urus saja dirimu sendiri. Bukannya sebentar lagi juga kamu akan menikah dan merasakan apa yang sekarang Dadi rasakan. "
Bukan jawaban itu yang diinginkan Edric, Ia ingin melihat sang ayah sadar akan wanita yang mejadi istrinya itu, bukan wanita baik baik.
Ellad, melangkah pergi meninggalkan Edric dengan kemarahan yang baru di lihatnya. Semejak datangnya Aira Dwinda selalu membuat ulah.
Menghelap napas, mengeluarkan terasa sesak, itulah yang kini dirasakan Edric.
"Waw, aku nggak menyangka jika sosok seorang Edric ingin membuka kartu As ibu tirinya ini. "
Melihat ke arah sumber suara, sosok itu datang. Dwinda Julisa, wanita itu lagi, padahal Edric malas berhadapan dengan wanita mur*han seperti Dwinda. Ia ingin pergi dan jauh dari ibu tirinya yang semakin hari semakin menjadi jadi.
Edric mencoba memutar kursi roda, dimana Dwinda melangkah menghampiri anak tirinya. "Kamu mau kemana, sayang? "
Memegang kursi roda itu, terasa berat tak berjala sepeti biasa. Ternyata biang keroknya adalah ibu tirinya sendiri.
"Lepaskan, jangan tahan kursi roda ini. Aku muak jika bertemu dengan kamu. "
Dwinda tersenyum manis, dengan bibir tebalnya. Ia mulai mendekatkan pada telinga Edric. " muak, waw. Tapi aku senang, sayang. "
Semakin kesini, Dwinda semakin terlihat gila, entah kenapa dengan sosok ibu tiri Edric, seakan ingin melahap anak tirinya habis habisana.
"Menyingkir." Bentak Edric. Berusaha menjalankan kursi roda yang sengaja ditahan oleh Dwinda. Membuat Edric geram.
"Huuh, kenapa kamu, sayang. Santai saja, kita kan hanya berdua. Dan Dadi kamu itu nggak bakal tahu, kalau aku dan kamu .... "
"HENTIKAN. Cepat lepaskan tanganmu yang memegang kursi rodaku. " Pekik Edric.
"Haduh, kamu ini berbeda sekali ya dengan ayahmu. Ayahmu itu romantis tidak seperti kamu kasar, tapi jujur saja. Aku suka tipe kasar seperti kamu, sedikit menantang, menggairahkan. " suara lembut, nan mengoda itu berusaha dilayangkan Dwinda untuk Edric. Dimana tangan mulus ibu tirinya mengelus ngelus pipi Edric dengan lihainya.
"Hentikan tangan kotormu itu. Aku jijik jika disentuh oleh wanita seperti kamu, seharusnya sebagai seorang wanita dan juga berperan sebagai ibu. Kamu itu harus mencontohkan hal yang baik, bukan malah mengodaku. Dimana letak harga dirimu Dwinda Julissa wanita terhormat bergelar dokter. " Hardik Edric. Membuat urat leher terlihat menonjol, mengenggam kedua tangan dengan merasakan rasa kesal terhadap wanita dihadapanya.
Tanpa diduga, Aira ternyata melihat pemandangan itu. Dimana Edric tengah bertengkar dengan ibu tirinya. Siapa yang menduga jika sosok Dwinda begitu terlihat mur*han dihadapan Edric. Mengelayut manja sesekali mengusap pipi Edric.
"Edric sudahlah jangan munafik, aku tahu jika kamu mengiginkan apa yang aku inginkan sekarang bukan?" Pertanyaan Dwinda membuat sesuatu barang tiba tiba terjatuh, Dwinda kaget ia mulai mengecek siapa yang mengintipnya.
crrita carlos ma welly terus