Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Udara pagi yang sejuk menyelimuti pelataran rumah Radit. Bunga-bunga bermekaran dengan warna-warna cerah, seolah ikut merayakan hari bahagia ini. Dekorasi sederhana namun elegan menghiasi setiap sudut, menciptakan suasana yang hangat dan penuh cinta.
Amara, dengan gaun putih yang anggun, berdiri di pelaminan, wajahnya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca saat Radit, pria yang dicintainya, mengucapkan ijab kabul dengan lantang. "Saya terima nikahnya Amara Raisa binti Muldoko," kata Radit, suaranya bergetar, penuh dengan rasa syukur dan cinta.
"Sah!" sahut penghulu, suaranya tegas dan menggema. Jawaban "sah" dari para tamu undangan bergema di sekeliling mereka, seakan menjadi bukti restu bagi pernikahan ini.
Amara mencium tangan Radit dengan penuh hormat, lalu Radit mencium keningnya dengan lembut. Sebuah ciuman yang penuh makna, yang menandai awal perjalanan mereka sebagai suami istri. Senyum bahagia terukir di wajah mereka, merefleksikan cinta yang terpancar dari hati mereka.
Dewi dan Yuni, istri Radit yang pertama dan kedua, tersenyum tipis. Walaupun hati mereka sedikit terusik, mereka tetap berusaha untuk bersikap baik dan merayakan kebahagiaan Radit. Mereka menyadari bahwa Radit mencintai Amara, dan mereka ingin mendukungnya.
Acara ijab kabul dilanjutkan dengan acara salam dan acara bebas. Tamu undangan bergantian memberikan ucapan selamat kepada Radit dan Amara. Suasana penuh keceriaan dan kehangatan.
Malam semakin larut, bintang-bintang berkelap-kelip di langit, seolah menyapa pasangan pengantin baru. Radit dan Amara duduk berdampingan, saling berpegangan tangan, menikmati momen indah ini.
"Amara, aku sangat bahagia," bisik Radit, matanya menatap Amara dengan penuh kasih sayang.
"Aku pun, Radit," jawab Amara, senyumnya merekah.
Mereka saling berbagi cerita, mimpi, dan harapan untuk masa depan. Kebahagiaan mereka terpancar dari raut wajah mereka.
Meskipun ada sedikit keraguan di hati Dewi, dia memutuskan untuk bersikap dewasa. Dia menyadari bahwa Radit adalah suami yang baik dan bertanggung jawab. Dia percaya bahwa Radit akan selalu mencintai dan menghormati mereka semua.
*****
Orang tua Amara bersiap pulang, membawa serta secercah kebahagiaan dan kelegaan karena telah melihat putri mereka bahagia. Namun, Mira, adik Amara, masih enggan beranjak.
"Mira, sayang, kamu harus pulang," ucap Amara, matanya memancarkan kekhawatiran. "Ibu pasti butuh bantuan untuk mengurus Ayah."
Ayah Amara, yang hadir di pernikahan dengan kursi roda, memang sedang tidak sehat. Mira, dengan penuh kasih sayang, selalu ingin menemani ayahnya. Namun, Amara tahu bahwa ibunya membutuhkan bantuan, dan Mira harus kembali ke rumah.
Radit, yang hari itu memilih untuk tidak masuk kerja, menghabiskan waktu bersama Amara. Sebagai bos konglomerat yang memiliki banyak perusahaan, termasuk perusahaan klub, Radit memiliki kebebasan mengatur waktu kerjanya. Dia melirik Amara dengan penuh kasih sayang, "Kamu sudah lelah, sayang. Istirahatlah, aku akan menemani Ayahmu."
Dewi dan Yuni, dengan senyum yang terukir di wajah mereka, sibuk di dapur. Mereka menyiapkan makanan yang lezat, berusaha untuk bersikap baik di hadapan Amara. Namun, di balik senyum itu, tersembunyi rencana jahat yang terjalin rapi.
"Amara, coba cicipi masakan kami," kata Dewi, suaranya manis namun matanya berkilat tajam. "Kami ingin memastikan kamu suka."
Amara, yang tidak menyadari niat jahat Dewi dan Yuni, menikmati hari-harinya sebagai istri Radit. Dia merasa bahagia dan dicintai, tidak menyadari bahaya yang mengintai di balik senyum manis mereka.
"Terima kasih, Dewi, Yuni," jawab Amara, hatinya luluh oleh kebaikan mereka. "Kalian sangat baik."
Namun, di balik kebaikan yang mereka perlihatkan, Dewi dan Yuni sedang merancang rencana jahat. Mereka berencana untuk mencampurkan racun ke dalam makanan Amara, perlahan-lahan membuatnya sakit dan menderita.
"Jangan khawatir, Dewi," kata Yuni, matanya berbinar-binar. "Racun ini akan bekerja perlahan-lahan, tidak akan ada yang curiga."
Dewi tersenyum sinis. "Amara tidak akan pernah tahu apa yang terjadi padanya. Dia akan menderita perlahan, dan Radit akan selamanya milik kita."
Radit, yang sedang mengobrol dengan ayah Amara, merasakan firasat buruk. Dia melihat tatapan tajam Dewi dan Yuni saat mereka menatap Amara, dan merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.
"Apa yang sedang mereka rencanakan?" gumam Radit, hatinya dipenuhi kekhawatiran.
Dia tahu bahwa Dewi dan Yuni tidak akan pernah benar-benar menerima Amara. Mereka menyimpan dendam yang terpendam, dan tidak akan berhenti sampai mereka menghancurkan Amara.
*******
Radit, berusaha menepis firasat buruk yang mencengkeram hatinya. Dia berharap Dewi, Yuni, dan Amara bisa hidup berdampingan dengan damai. Dia ingin rumah tangganya harmonis, tanpa konflik dan perselisihan.
Setelah makan siang, Dewi membuka suara, "Amara, mulai sekarang kamu tidak perlu bekerja lagi. Kamu sudah menjadi istri Radit, tugasmu sekarang adalah mengurus rumah tangga dan keluarga."
Dewi melirik Radit, mencari persetujuannya. Radit, yang masih terlena oleh harapannya akan kerukunan, menangguk setuju. Yuni, yang diam-diam mengamati, juga ikut mengangguk, menambahkan, "Ya, Amara, kamu fokus saja mengurus rumah tangga. Kami akan membantumu."
Amara, yang mendengar ucapan mereka, merasa tidak nyaman. Dia memikirkan biaya pengobatan ayahnya yang masih terus berjalan. "Tapi, Mba Dewi, Mba Yuni, aku masih ingin bekerja. Aku ingin membantu Ayah."
Radit, yang menangkap kekhawatiran Amara, menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Sayang, jangan khawatir. Sekarang kamu adalah istriku, aku akan membiayai semua pengobatan Ayahmu."
Dewi dan Yuni, yang mendengar ucapan Radit, menghina Amara dan keluarganya dalam hati. Mereka menganggap Amara dan keluarganya sebagai parasit yang hanya ingin memanfaatkan kekayaan Radit.
Mira, yang berada di dekat mereka, menatap Amara dengan tatapan sinis. "Kak, sekarang kamu sudah kaya, bisa minta apa saja pada Mas Radit," bisiknya, suaranya penuh dengan kelicikan.
Amara, yang tidak menyadari niat jahat Mira, menanggapi dengan tawa. "Kamu ini, Mira, jangan ngawur. Mas Radit baik, tapi kita harus tetap hidup mandiri."
Dewi dan Yuni, yang mendengar ucapan Amara, makin geram. Mereka tidak suka melihat Amara bersikap sederhana dan tidak serakah. Mereka menganggap Amara sebagai ancaman bagi kekuasaan mereka atas Radit.
"Mas Radit, kamu benar-benar baik," kata Dewi, suaranya manis namun penuh dengan sandiwara. "Amara beruntung mendapatkan suami seperti kamu."
Yuni pun ikut menimpali, "Ya, Mas Radit, kamu memang suami yang bertanggung jawab. Amara pasti bahagia bersamamu."
Radit, yang masih belum menyadari niat jahat Dewi dan Yuni, tersenyum mendengar pujian mereka. Dia berharap bahwa mereka benar-benar tulus dalam ucapan mereka.
*****
Mentari pagi mengintip dari balik jendela, menyinari kamar Amara yang masih tertidur lelap. Di luar, suara burung berkicauan riang, seolah menyambut hari baru yang cerah. Namun, di dalam hati Amara, ada kekhawatiran yang menggerogoti.
"Kak, kamu kenapa?" Mira, yang baru saja masuk ke kamar, melihat raut wajah Amara yang tampak murung. "Kamu masih memikirkan Ayah?"
"Iya, Mira," jawab Amara, suaranya lirih. "Aku khawatir dengan biaya pengobatannya."
"Tenang saja, Kak," kata Mira, senyumnya mengembang penuh arti. "Sekarang kamu sudah menjadi istri Mas Radit, kamu bisa meminta apa saja padanya."
Amara mengerutkan kening. "Mira, jangan ngawur. Mas Radit baik, tapi kita harus tetap hidup mandiri."
"Oh, Kak, kamu terlalu polos," kata Mira, suaranya penuh dengan kelicikan. "Mas Radit kaya raya, dia tidak akan keberatan mengeluarkan uang untukmu. Lagipula, dia sudah menikahimu, jadi kamu berhak atas kekayaannya."
Amara menggelengkan kepala. "Tidak, Mira. Aku tidak ingin memanfaatkan Mas Radit. Aku ingin bekerja, aku ingin membantu Ayah."
"Kak, kamu bodoh!" Mira berteriak, suaranya meninggi. "Kamu harus memanfaatkan kesempatan ini! Mas Radit mencintaimu, dia akan memberikan apa saja yang kamu minta. Jangan sia-siakan kesempatan ini!"
Amara terdiam, hatinya dipenuhi dilema. Dia tidak ingin memanfaatkan Radit, tapi dia juga tidak ingin melihat ayahnya menderita.
Di sisi lain, Dewi dan Yuni sedang berbisik di dapur. "Bagaimana kita bisa mengendalikan Amara?" tanya Dewi, matanya berkilat tajam. "Dia terlalu polos, mudah ditipu."
"Kita harus membuatnya tergantung pada Radit," jawab Yuni, suaranya lirih. "Kita harus membuatnya merasa bahwa dia tidak bisa hidup tanpa Radit, tanpa kekayaannya."
"Ya, dan kita harus membuatnya merasa bersalah jika dia menolak permintaan kita," tambah Dewi. "Kita bisa mengatakan bahwa dia tidak menghargai kebaikan Radit, bahwa dia tidak layak menjadi istrinya."
"Bagus, ide yang brilian!" Yuni bertepuk tangan, matanya berbinar-binar. "Kita akan membuatnya menderita, kita akan membuatnya menyesal telah menikahi Radit."
Sementara itu, Radit sedang bersiap untuk pergi bekerja. Dia mendekati Amara, yang sedang duduk di ruang tamu, dan mencium keningnya dengan lembut.
"Sayang, aku harus pergi bekerja," kata Radit, suaranya lembut. "Kamu istirahat saja di rumah."
"Iya, Mas Radit," jawab Amara, matanya berkaca-kaca. "Hati-hati di jalan."
Radit tersenyum, "Tenang saja, aku akan pulang cepat. Aku akan mengajakmu makan malam di luar."
Amara mengangguk, hatinya dipenuhi rasa bahagia. Dia merasa dicintai dan dihargai oleh Radit.
"Aku akan menunggumu, Mas Radit," kata Amara, suaranya penuh dengan kasih sayang.
Radit mengelus pipi Amara, "Aku mencintaimu, sayang."
Radit beranjak pergi, meninggalkan Amara yang masih terpaku, menatap punggungnya dengan penuh kasih sayang. Dia tidak menyadari bahwa bahaya sedang mengintai di balik senyum manis Dewi dan Yuni, dan bahwa Mira sedang merencanakan sesuatu yang jahat.