Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Itu
Dinda terperanjat dari tidurnya, ternyata tanpa sadar tadi dia tertidur di kamar ini.
Sekilas Dinda menengok ke arah jendela kamar itu, matahari telah turun, berubah menjadi senja dengan warna cahayanya yang kemerahan.
Dinda buru-buru bangun dari tidurnya, kemudian cepat-cepat mandi dan berganti pakaian, sore ini dia berjanji akan datang ke kamar Chika untuk menemaninya.
Setelah selesai berpakaian, Dinda kemudian keluar dari kamar itu, lalu menuju ke kamar Chika yang ada di lantai dua.
Saat melewati ruang makan, Dinda melihat Mbak Yuyun nampak sibuk menyiapkan meja makan untuk makan malam.
"Selamat sore Mbak Yuyun, ah, tadi aku ketiduran! Chika pasti menungguku di kamar!" kata Dinda.
"Sore Bu Dinda, tadi Chika memang menanyakan Bu Dinda, tapi saya tidak tega membangunkan Ibu, karena kelihatannya Bu Dinda tertidur pulas!" ujar Mbak Yuyun.
"Iya Mbak, ini juga aku mau ke kamarnya Chika, Papanya Chika Sudah pulang belum?" tanya Dinda.
"Belum Bu, biasanya kalau tidak pulang sore, Pak Dio akan pulang malam karena mampir ke klub malam!" jawab Mbak Yuyun.
"Ke klub malam? Mabuk?" tanya Dinda.
"Iya Bu!" jawab Mbak Yuyun sambil menganggukan kepalanya.
"Keterlaluan singa itu!!" dengus Dinda.
"Apa Bu?? Singa?" tanya Mbak Yuyun.
"Ah sudah! Lupakanlah, sekarang aku mau ke kamar Chika dulu!" sahut Dinda yang langsung berjalan naik ke atas tangga, menuju ke kamar Chika.
Mbak Yuyun terlihat bingung sambil mengerutkan dahinya mendengarkan kata Singa.
Di kamarnya, Chika nampak duduk di tepi ranjangnya, sambil memeluk boneka kesayangannya.
Dia langsung tersenyum saat melihat Dinda membuka pintu kamarnya dan langsung berjalan mendekatinya.
"Chika, maafkan Ibu ya, tadi ibu ketiduran di kamar, habis ac-nya dingin sekali sih! Sampai kebablasan deh!" ucap Dinda ada yang kemudian duduk di samping Chika.
"Wah Asyik! Berarti Bu Dinda betah dong di rumahku!" sahut Chika senang.
"Eh, bukannya begitu juga!"
"Selama ini di sekolah, guru-guru tidak ada yang menyukaiku, karena kata mereka aku ini nakal! Jadi mereka mana ada yang mau ngobrol lama-lama denganku! Tapi kalau Bu Dinda beda, Bu Dinda masih mau mengobrol denganku, dan kadang suka membelaku!" ungkap Chika.
"Chika, mereka Bukannya tidak mau dekat dan mengobrol dengan Chika, tapi coba Chika sedikit berubah, jadi anak baik, sopan, ramah, pasti banyak orang yang akan menyukai Chika!" ucap Dinda.
"Tapi kan banyak teman-teman sekolah yang ngatain aku, Mereka bilang kalau aku ini tidak punya ibu, nakal, bandel, aku sering diledek, makanya aku marah!" sahut Chika.
"Nah, makanya mulai sekarang, Chika berubah, kalau ada yang ngatain Chika, jangan didengarkan, dan jangan terpancing emosi! Pasti mereka akan capek sendiri ngatain Chika!" ujar Dinda.
"Iya deh Bu! Aku lapar, kita makan yuk Bu, ke ruang makan!" ajak chika.
"Lho, memangnya Chika sudah sembuh?" tanya Dinda.
"Sudah dong! Nih pegang saja, aku sudah tidak demam lagi!" sahut Chika sambil menarik tangan Dinda ke arah keningnya.
Dinda tersenyum, karena Chika sudah tidak demam lagi, hati yang gembira ternyata bisa menjadi obat yang manjur.
****
Setelah selesai makan malam, Dinda menemani Chika sebentar di kamarnya, sampai anak itu benar-benar tertidur.
Setelah itu Dinda kemudian beranjak dari kamar Chika lalu menuju ke kamarnya, hari sudah malam, dan dia akan beristirahat di kamar tamu yang sudah disiapkan untuknya itu.
Dio masih belum terlihat pulang ke rumah, karena tidak ada lagi orang yang datang dari tadi.
Dinda bisa merasakan betapa kesepiannya Chika saat Papanya belum pulang, kalau seandainya Dinda tidak ada saat ini, mungkin Chika akan kembali bersedih.
Dinda kemudian masuk ke kamarnya, lalu menghempaskan tubuhnya di tempat tidur besar itu.
Dia mengambil ponselnya dan mulai memencet nomor Bu Lilis ibunya yang tinggal di Bandung.
"Halo Bu, Ibu Belum tidur kan?" tanya Dinda saat panggilan teleponnya diangkat oleh ibunya.
"Belum Nak, Kapan kamu berangkat ke Bandung? Katanya liburan tahun baru kamu mau pulang ke Bandung?" tanya Bu Lilis balik.
"Iya sih Bu, aku juga sudah kangen sama Ibu! Tapi... aku sedang ada urusan disini, kalau urusanku sudah selesai, mungkin aku akan pulang ke Bandung Bu, walaupun tidak lama, karena liburan kali ini waktunya pendek!" jawab Dinda.
"Iya Dinda, Ibu maklum kok, kamu pasti sibuk di Jakarta! Mendengar kabarmu baik-baik saja, Ibu sudah senang kok!" ucap Bu Lilis.
"Iya Bu, disana Ibu juga jangan capek-capek bekerja! kalau aku ada rezeki lebih, aku pasti akan kirimkan uang ke ibu rutin setiap bulan, Jadi Ibu tidak usah capek-capek menjahit pakaian orang lagi!" kata Dinda.
"Iya nak, ibu paham, tapi Ibu juga tidak mau sepenuhnya tergantung padamu, selama Ibu masih sehat dan kuat!" ujar Bu Lilis.
Bruuukkk!!
Tiba-tiba terdengar suara seperti benda berat terjatuh ke bawah, suara itu datang dari arah pintu depan, Dinda sedikit terkejut.
"Maaf Bu, aku tutup dulu teleponnya ya, besok aku pasti akan telepon Ibu lagi! Selamat malam Bu!" ucap Dinda yang langsung menutup sambungan teleponnya.
Dinda kemudian beranjak dari tempat tidurnya, dia membuka pintu kamarnya dan berjalan ke arah depan.
Pintu depan terlihat sudah terbuka, dan Dinda membulatkan matanya saat melihat Dio jatuh tertelungkup di depan pintu itu, Sepertinya dia sedang mabuk berat.
Dari arah luar masuklah Bang Jarwo, security yang menjaga gerbang rumah itu.
"Apa yang terjadi Bang? Pak Dio kenapa?" tanya Dinda cemas.
"Sudah biasa bu, Pak Dio memang sering seperti ini, pulang dalam keadaan mabuk, untung selamat tidak kecelakaan!" sahut Bang Jarwo.
"Aduh! singa ini benar-benar menyusahkan! Kalau begitu, tolong bawa dia ke kamarnya Bang!" ujar Dinda.
"Iya Bu, tolong bantu saya papah dia, Mbak Yuyun di telepon dari tadi nggak diangkat-angkat! Sudah tidur kali!" kata Bang Jarwo.
Dinda menganggukkan kepalanya, kemudian dia membantu Bang Jarwo memapah Dio sampai ke kamarnya, setelah itu mereka membaringkan Dio di atas tempat tidurnya yang besar itu.
"Maaf bu, saya tidak bisa lama-lama! Tidak ada yang jaga gerbang, mana pintu terbuka lagi!" ujar Bang Jarwo yang langsung buru-buru meninggalkan kamar itu.
Dinda masih termangu di tempatnya, sambil menatap Dio yang terlihat mabuk berat, dari mulutnya tercium aroma khas minuman keras, yang sangat menyengat, sehingga Dinda harus menahan nafasnya.
Walaupun Dinda begitu kesal dengan Dio, karena mengingkari janjinya pada Chika untuk tidak mabuk lagi, tapi dalam hati dia merasa kasihan terhadap laki-laki itu, laki-laki yang terlihat rapuh dan putus asa.
Kemeja kantor lengkap masih melekat di tubuhnya, juga sepatu dan kaus kakinya juga belum dilepas.
dengan perlahan Dinda maju dan membuka sepatu serta kaos kaki Dio kemudian dia menyelimuti tubuh laki-laki itu.
"Dasar singa! kalau bukan demi Chika, mana sudi aku melakukan ini padamu! Bisanya hanya menyusahkan anak, pantas saja anaknya begitu menderita lahir batin, orang Papanya seperti singa!" gumam Dinda yang terus merutuki Dio.
Setelah selesai, Dinda kemudian membalikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar itu.
Namun tiba-tiba, Dio membuka matanya dan terbangun, kemudian langsung memeluk Dinda dari belakang.
Dinda sangat terkejut dan berusaha melepaskan pelukan Dio, yang sedang tidak sadar itu.
Bersambung...
****