Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencintai Diri Sendiri
Sedikit petunjuk terkait keberadaan Raina di bandara, nyatanya tidak membuahkan hasil apa pun. Meski sudah mengerahkan semua anak buahnya, tetapi Nero tak bisa melacak di mana istrinya saat ini. Akses informasi yang menyangkut kepergian Raina, seolah ada yang sengaja menutup sehingga tidak bisa dikorek lebih dalam lagi.
Malam ini, Nero benar-benar panik. Dia tak bisa menebak siapa gerangan yang melindungi Raina. Bahkan, Raksa pun rasanya tak masuk akal. Kemampuan lelaki itu jauh di bawahnya, jadi tak mungkin bisa membuat sesuatu yang tak terjangkau olehnya.
"Kamu yakin ini bukan ulah rivalmu? Bisa saja Raina sebenarnya diculik, bukan kabur sendiri," ujar Raksa yang kala itu tak kalah paniknya.
Tanpa mengacuhkan wajahnya yang sakit akibat dihajar Nero, dia masih bertandang ke rumah lelaki itu guna membahas keberadaan Raina saat ini. Ia pun tak sendiri, tetapi bersama Anne, yang juga sama-sama khawatir dengan keadaan Raina.
"Tidak mungkin diculik, Raina meninggalkan kalung dan cincinnya. Padahal, sebelumnya ia tak pernah lepaskan kedua benda itu," sahut Nero tanpa menoleh. Pikirannya masih sangat kacau, membayangkan sosok Raina yang entah di mana dan bersama siapa sekarang.
"Lalu kira-kira ke mana dia? Kenapa orang-orangmu kalah dan tidak bisa mendapatkan informasi yang lebih?" Suara Raksa naik satu oktaf. Ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran atas hilangnya sang adik.
"Kalau aku tahu, tidak mungkin sekarang diam di sini. Pasti sudah kujemput Raina," jawab Nero dengan agak kesal. Dirinya sudah panik tak karuan, tetapi Raksa malah menambah beban pikirannya.
Di tengah perdebatan dua lelaki yang kini duduk di dekatnya, Anne berulang kali menunduk dan kemudian mencuri pandangan ke arah Nero.
Dalam hatinya, ia tak yakin alasan kepergian Raina hanyalah kesalahpahaman akibat ada rekan perempuan yang ikut ke rumah. Anne yakin ada hal lain yang lebih dari itu. Namun, ia juga tak bisa mendesak Nero, apalagi sekarang, waktunya sangat tidak tepat. Anne hanya bisa menerka dan mengira-ngira sendiri, sembari berharap alasan kepergian Raina tidak berhubungan dengan skandal yang pernah ia lakukan bersama Raksa dulu.
"Raina, semoga kamu baik-baik saja. Andai luka yang kamu bawa dari Nero ada hubungannya denganku, aku benar-benar minta maaf," batin Anne di tengah diamnya.
Lantas, Anne menarik napas panjang dan kemudian mendongak, menatap Raksa dan Nero yang tampaknya masih larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Raksa yang kembali mengawali pembicaraan.
"Aku akan berusaha mencari Raina, kamu juga ... jangan lengah dan terus cari dia sampai ketemu. Untuk sementara, aku merahasiakan ini dari Mama, aku tak mau penyakit Mama kambuh karena kabar buruk ini. Jadi, kita harus menemukan Raina sebelum Mama curiga."
"Tanpa kau peringatkan pun aku pasti akan mencari Raina sampai ketemu," sahut Nero dengan tegas. Bukan sekadar bentuk tanggung jawab terhadap mertuanya, melainkan juga pada hatinya sendiri, yang makin lama makin resah semenjak Raina kabur dari dekapannya.
_______
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari, Raksa dan Anne sudah pulang sejak lima jam yang lalu, tetapi Nero belum juga menutup mata. Berbaring di ranjang tak membuatnya merasa kantuk, yang ada justru resah dan gelisah karena tak ada Raina di sampingnya.
Wanita yang sebelumnya kerap dibiarkan tidur sendiri di kamar itu, nyatanya sekarang benar-benar ia rindukan. Sekuat apa pun egonya menepis, rasa itu tak jua enyah dari hati yang paling dalam, hingga terbesit sebuah tanya 'benarkah aku mencintainya?'.
Andai benar, sejak kapan rasa itu ada? Sejak melihatnya malu-malu ketika digoda atau sejak melihatnya telan-jang dulu? Atau malah ... dari rencana yang belum dimulai, sebenarnya ia sudah jatuh cinta?
Ah, tidak! Itu tidak mungkin! Raina bukanlah wanita yang sesuai dengan kriterianya. Lagi pula dia hanya alat untuk membalas sakit hatinya terhadap Raksa dan Anne, mana mungkin malah dicintai. Akan tetapi jika tidak, lantas mengapa sekarang perasaannya sangat kacau? Ada rindu, ada sendu, ada pula perasaan takut kehilangan yang sangat kuat. Mengapa?
"Argghh!" Nero bangkit dari tidurnya sambil berteriak. Ia juga menjambak rambutnya sendiri dengan kasar. Makin mengingat Raina, makin tak karuan saja gejolak dalam dirinya.
"Tidak! Aku tidak rindu, tidak juga cinta. Aku hanya tidak mau kehilangan sesuatu yang seharusnya memang menjadi milikku. Ya, hanya itu," batin Nero sembari turun dari ranjang.
Lantas, dia menuju balkon kamar dan merokok di sana. Mencoba menenangkan diri meski akhirnya tetap tidak tenang.
Sementara di tempat yang berbeda, Raina sedang duduk di dalam burung besi yang membawanya ke Eropa. Ya, tujuannya adalah salah satu negara yang ada di sana. Dalam batas waktu yang belum bisa ditentukan, Raina akan menempuh masa depan baru di sana.
Dia telah kehilangan pendidikan yang belum sempat tamat, juga kehilangan kesempatan bekerja yang mungkin akan mengantarnya menjadi wanita karier yang sukses. Kini, dengan tekad bulat Raina akan mengejar sesuatu yang telah hilang itu.
'Aku tahu kisah percintaan antara Nero, Anne, dan kakakmu. Tidak sesederhana yang kelihatan di publik, kan? Aku juga tahu kamu tidak benar-benar bahagia. Sewaktu di pernikahan kakakmu, aku melihatmu duduk di sudut ruangan bersama Nero. Suamimu sibuk menatap Anne dan Raksa, sedangkan kamu di sampingnya seperti tertekan. Kalau memang tidak bahagia, kenapa tidak pergi saja? Kita boleh mencintai seseorang, tapi jangan melebihi cinta pada diri sendiri. Mau sampai kapan kamu tersakiti oleh lelaki yang kamu cintai? Kenapa tidak mencoba melupakan dan membuka hati untuk yang lain? Cinta dan hati itu bukan hal yang paten, ia bisa berubah-ubah tergantung keadaan.'
Terngiang kembali dalam ingatan Raina, ucapan seorang wanita yang kini membawanya pergi jauh. Seseorang yang akan membantunya meniti karier, juga membantunya melindungi Raksa dan ibunya. Memang bukan orang sembarangan, bahkan Raina juga tak menyangka bisa berhubungan baik dengan wanita itu.
"Mikir apa lagi, hmm?"
Raina tersentak ketika mendengar pertanyaan dari wanita di sampingnya, yang dibarengi dengan tepukan di bahu.
"Ahh, enggak." Raina mencoba tersenyum.
"Masih mikirin Nero?"
Raina terdiam.
"Kamu nggak menyesal kan, pergi bersamaku?"
Raina menggeleng. "Ini memang berat, tapi aku nggak menyesal. Dia udah nggak bisa diharapkan lagi, jadi ... mau tidak mau aku memang harus melupakan dia."
"Kamu pasti bisa. Ingat, cintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain."
Raina mengangguk sambil tersenyum. Lantas membatin, "Maafin aku, Om, pergi nggak bilang-bilang. Tapi ... sejak kamu membawa Ava ke rumah, aku udah nggak punya alasan lagi untuk bertahan. Aku nggak tahu ke depannya bisa membuka hati untuk orang lain lagi atau nggak, tapi yang jelas ... aku akan mencintai diriku sendiri. Dan itu nggak bisa kulakukan kalau aku masih tetap di samping kamu."
Bersambung...