Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Ke rumah sakit
Tatiana bangun lebih awal hari ini. Ia sudah tak sabar untuk mengecek kebenaran dugaannya tersebut. Dengan dada yang bergemuruh, Tatiana mencelupkan ujung test pact hingga garis batas.
Setelahnya Tatiana mengambil wudhu untuk menuntaskan kewajibannya. Tatiana tidak begitu berharap dugaannya benar, namun bila benar tentu itu merupakan anugerah luar biasa. Terlebih dia baru saja kehilangan. Ia sudah seperti seorang yang sebatang kara di dunia ini. Dengan kehadiran seorang bayi, hidupnya pasti akan makin berwarna. Setidaknya ia akan menjadi pelita dan penyemangat hidupnya ke depan.
Tatiana sudah tak berharap banyak pada kelangsungan rumah tangganya. Terlebih ia sudah mulai curiga kalau suaminya sudah menjalin hubungan yang tak biasa dengan mantan iparnya itu.
Selepas sholat Subuh, Tatiana pun segera membereskan sajadah dan mukenanya. Di saat bersamaan, terdengar bunyi panggilan dari handphonenya yang terkapar di atas meja.
"Mas Sam." Tatiana menghela nafasnya. Ia sebenarnya sedikit senang meskipun sedang berjauhan, Samudera tetap menghubunginya dengan rutin. Setiap selesai sholat Subuh, saat makan siang, dan malam hari. Namun mengetahui fakta kalau Samudera di luar kota bersama Triani membuat rasa bahagianya menguap seketika.
"Assalamu'alaikum," ucap Tatiana dingin.
"Wa'alaikumussalam. Sudah sholat?" tanya Samudera terlebih dahulu.
"Sudah," jawab Tatiana singkat.
Samudera mencelos. Padahal sudah hampir 2 Minggu mereka berpisah, tapi sikap Tatiana sepertinya tidak ada perubahan. Ia tetap dingin dan datar. Sepertinya sakit yang telah ia toreh sudah begitu dalam dan lebar, sehingga tak mudah baginya untuk meluluhkannya.
Tak ada lagi Tatiana yang lembut dan hangat. Tak ada lagi Tatiana yang ceria. Sungguh, Samudera merindukan sosok hangat sang istri.
"Em, apa kau baik-baik saja?"
"Ya."
"Bagaimana keadaan Ana? Dia tidak merepotkanmu kan?"
"Kabar Ana baik. Dia tidak merepotkan ku sama sekali."
"Syukurlah."
Senyap.
"Tiana?"
"Hmmm ... "
"Apa kau masih marah pada, Mas?"
"Memangnya aku berhak marah?"
"Tiana ... "
"Sudah ya, Mas. Ada yang mau aku kerjakan."
"Tunggu!" Panggil Samudera saat Tatiana ingin menutup panggilan itu.
"Apa?"
"Pagi ini Mas pulang. Workshop nya selesai lebih awal. Tapi sebelum pulang ke rumah, Mas diminta ke rumah sakit," ujar Samudera memberi tahu.
"Hmmm ... "
"Apa kau ingin menitip sesuatu?"
Mendengar tawaran Samudera, tiba-tiba Tatiana menginginkan spikoe kuno Surabaya dan lapis kukusnya. Tatiana menelan ludahnya seketika. Membayangkan lembutnya kue-kue tersebut pun dengan rasa manisnya yang meleleh di dalam mulut membuatnya reflek mengatakan apa yang ia inginkan.
"Aku mau spikoe kuno Surabaya dan lapis kukus Surabaya," ucapnya cepat.
Lalu Tatiana menggigit bibirnya seketika. Mengapa ia bisa reflek mengatakan keinginannya.
Dari seberang sana untuk pertama kalinya Tatiana mendengar Samudera terkekeh. Ia terkekeh karena mendengar permintaan Tatiana. Memang selama ini ia tak pernah menawarkan ingin membelikan apa yang Tatiana minta. Samudera pun reflek menawarkan hal tersebut sebab ia masih ingin berbicara dengan Tatiana.
Tatiana terpana mendengar tawa tersebut. Reflek ia pun tersenyum. Namun senyum itu seketika surut saat membayangkan apa yang Samudera dan Triani lakukan di Bali. Bisa jadi sekarang pun Triani ikut Samudera ke Surabaya.
Berada di kota yang sama, di hotel yang sama, bisa jadi mereka pun berada di kamar yang sama.
Kepala Tatiana mendadak sakit. Ia tak sanggup membayangkan apa yang sudah Samudera dan Trani lakukan di belakangnya.
"Maaf Mas, aku tutup teleponnya. Aku ... Assalamu'alaikum."
Tanpa menunggu respon Samudera, Tatiana segera menutup panggilan itu. Ia menjatuhkan ponselnya di atas sofa. Lalu ia memukul dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.
Tatiana menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menghalau segala pikiran buruk yang mendera.
"Berhenti berpikir yang tidak-tidak, Tiana. Lebih baik aku periksa test pact tadi saja," ujarnya mencoba mengalihkan pikirannya dari hal yang tidak-tidak.
Masuk ke kamar mandi, dengan gugup Tatiana mengambil tiga buah test pack yang telah ia rendam ke dalam cairan urine. Matanya membulat. Ternyata dugaan Bik Una benar sekali.
"Aku hamil? Jadi aku ... benar-benar hamil."
Tatiana menangis sambil mengusap perutnya yang datar. Ia tak menyangka, setelah dua tahun menikah, akhirnya buah cintanya dan Samudera tumbuh di rahimnya.
"Buah cinta? Apa ini pantas disebut buah cinta sementara hanya diriku saja yang mencintainya," gumam Tatiana perih.
"Tapi tak apa, Nak. Meskipun bunda tidak tahu ayahmu akan menerima dan mencintaimu atau tidak, tapi yang pasti, bunda akan selalu mencintaimu. Bunda akan selalu bersamamu."
...***...
Karena hari ini akhir pekan, Ariana pun tidak pergi ke sekolah. Tatiana mengajak Ariana sarapan di teras depan.
"Bunda, kenapa bunda cuma minum teh aja, tidak sarapan seperti Ana?" tanya Ana bingung.
"Bunda perutnya nggak enak, Sayang. Kalau makan bawaannya mual terus muntah terus jadi bunda minum teh aja."
Lalu tangan Ariana terulur ke perut Tatiana, "perut bunda sakit?"
Tatiana menggeleng sambil tersenyum, "nggak."
"Tapi kata Bunda perut bunda nggak enak itu ... " Ariana bingung untuk menayangkan apa maksudnya tidak enak itu. Yang ia paham, tidak enak itu karena sakit. Tapi Tatiana menjawab tidak sakit, lantas kenapa? Ada apa?
Tatiana tersenyum kemudian membisikkan sesuatu pada Ariana.
"Benarkah?" pekik Ariana girang. Tatiana reflek menutup bibirnya dengan jari telunjuk.
"Ssst, nanti ada yang dengar."
"Jadi di perut bunda ada adik bayinya?" tanya Ariana seraya berbisik.
Tatiana mengangguk, "Ana senang?"
"Senang, Bunda. Ana senang sekali. Jadi Ana akan segera jadi kakak. Tapi ... "
"Tapi apa?"
"Apa benar bunda akan tetap sayang, Ana?"
"Ana masih ragu?"
Ariana menggeleng, kemudian Tatiana pun mengusap puncak kepalanya.
"Dengar ini, sampai kapanpun Bunda akan tetap menyayangi Ana. Kasih sayang bunda ke adik, sama besarnya dengan kasih sayang bunda ke Ana. Jadi Ana nggak usah khawatir. Bunda akan selalu menyayangi kalian sampai bila-bila," ucap Tatiana sambil menirukan tokoh kartun Malaysia di akhir kalimat.
Ariana lantas terkekeh. Kemudian ia memeluk tubuh Tatiana.
"Sayang," panggil Tatiana.
"Ya, bunda." Ariana pun mendongak menatap ke arah Tatiana.
"Bunda ingin Ana janji, Ana jangan bilang ke siapapun ya tentang ada adik bayi di perut Bunda, termasuk ayah."
"Memangnya kenapa, bunda?"
"Biar kejutan," ujar Tatiana. "Bunda mau buat kejutan nanti."
Ariana pun mengangguk setuju.
"Bunda, adik bayi dalam perut bunda sebesar apa? Apa sudah sebesar boneka bayi Ana?"
Tatiana terkekeh kemudian menggeleng.
"Kalau sekarang adik bayinya masih sangat kecil. Kecil sekali seperti kacang, tapi adik bayi akan terus tumbuh dan berkembang. Makin hari makin besar, sebesar tomat, lalu sebesar apel. Makin besar hingga membentuk bayi seperti boneka Ana."
Ariana mendengar penjelasan Tatiana dengan seksama.
"Ana jadi tak sabar mau liat adik bayi," ujarnya dengan mata berbinar-binar.
"Ana sabar ya, pasti Ana nanti akan bertemu adik bayi."
...***...
Satu jam yang lalu Tatiana menerima pesan dari Samudera kalau ia pesawatnya sudah mendarat. Tatiana yakin, saat ini pasti Samudera telah tiba di rumah sakit. Entah mengapa tiba-tiba ia ingin menemui Samudera saat ini. Entah apa karena ia merasa rindu atau ada alasan, Tatiana pun tak mengerti.
Sudah lama ia tidak menginjakkan kakinya di rumah sakit. Terakhir ia ke sana saat di awal-awal pernikahan. Namun melihat ekspresi tak suka Samudera saat melihat kedatangannya, membuat Tatiana enggan menyambangi rumah sakit tempat ia pernah mengabdi dulu selama 3 tahun.
Dengan membawa bekal makan siang, Tatiana menginjakkan kakinya di rumah sakit. Beberapa perawat dan dokter senior yang melihatnya tentu masih mengenalinya. Kecuali para perawat baru, koas, dan dokter baru.
Mereka pun menyapa Tatiana dengan ramah.
"Jadi dia istri dokter Sam?" tanya salah seorang perawat yang baru bekerja di rumah sakit itu selama 1 tahun.
"Iya. Mereka sudah menikah sekitar 2 tahun."
"Ah, aku pikir istrinya itu perempuan seksi yang sering datang berkunjung itu."
"Itu bukan istrinya, tapi kembaran mendiang istrinya."
"Benarkah? Apa mereka memiliki affair? Soalnya aku sering liat perempuan itu mengunjungi dokter Sam," ucapnya menggebu.
"Ssst, jangan sembarangan bicara. Bahaya. Udah ah, yuk kembali kerja."
Setelah kedua perawat tersebut berpisah, Tatiana pun keluar dari balik dinding tempatnya bersembunyi.
"Jadi mereka pun sering bertemu di rumah sakit ini?" Tatiana terkekeh miris. Ingin rasanya ia kembali saja, tapi entah kenapa langkah kakinya justru menuntunnya ke arah ruangan Samudera.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...