"Ambil saja suamiku, tapi bukan salahku merebut suamimu!"
Adara yang mengetahui pengkhianatan Galang—suaminya dan Sheila—sahabatnya, memilih diam, membiarkan keduanya seolah-olah aman dalam pengkhianatan itu.
Tapi, Adara bukan diam karena tak mampu. Namun, dia sudah merencanakan balas dendam yang melibatkan, Darren—suami Sheila, saat keduanya bekerjasama untuk membalas pengkhianatan diantara mereka, Darren mulai jatuh dalam pesona Adara, tapi Darren menyadari bahwa Adara tidak datang untuk bermain-main.
"Apa yang bisa aku berikan untuk membantumu?" —Darren
"Berikan saja tubuhmu itu, kepadaku!" —Adara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Belas
Adara melangkah memasuki sebuah kafe kecil yang terletak di sudut yang tenang di pusat kota. Aroma kopi dan kue yang baru dipanggang memenuhi udara, memberi kesan hangat dan nyaman. Matahari bersinar lembut melalui jendela besar, memberikan cahaya yang cukup untuk menciptakan suasana yang intim. Dia berusaha menenangkan hatinya yang berdebar-debar, berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan lancar.
Di sudut kafe, Erika sudah menunggu dengan senyuman lebar. Temannya ini, yang dikenal dengan kepribadiannya yang ceria, memiliki cara unik untuk membuat suasana hati lebih baik. "Adara! Akhirnya kamu datang!" seru Erika sambil melambai-lambaikan tangannya.
"Maaf, kemacetan di jalan," jawab Adara sambil duduk di kursi di hadapan Erika. "Bagaimana dengan pengacara kita?"
"Dia akan segera datang. Dia bilang ada sedikit urusan yang harus diselesaikan." Erika mengaduk kopinya, menciptakan spiral di dalam cangkir.
Setelah mengantar koper dengan supirnya, Adara pergi ke kafe seorang diri. Supir diminta pulang.
Adara mengangguk, matanya jatuh pada daftar menu yang tergeletak di meja. Namun, pikirannya teralihkan oleh ingatan tentang suaminya, Galang, dan sahabatnya Sheila. Wajah mereka muncul dalam benaknya, memperdalam kerumunan pikiran yang tidak bisa dikesampingkan.
"Adara, kamu baik-baik saja?" tanya Erika dengan nada khawatir. "Kamu terlihat sedikit tegang."
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Adara cepat, tanpa bisa meredakan kecemasan di dalam hatinya. "Aku hanya ... banyak yang dipikirkan."
"Aku mengerti, Dara. Mungkin ini bukanlah hal yang mudah untukmu. Tapi kamu sudah membuat keputusan yang tepat, kan?" Erika berkata sambil menatapnya dalam.
"Iya, Aku rasa begitu." Adara menarik napas dalam, berusaha menumpulkan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. "Aku harus membuat surat perjanjian hutang piutang antara Galang dan Sheila. Ini semua sudah menciptakan keributan yang tidak perlu.”
Erika mengangguk dengan bijaksana. "Dan surat gugatan cerai itu, kamu sudah siap?"
Adara menunduk, enggan untuk menjawab. Pikiran tentang perceraian itu sendiri saja sudah cukup membuatnya merasa tercekat. Dia tidak pernah membayangkan hidupnya akan berakhir seperti ini, namun keadaan memaksanya untuk melangkah maju.
"Ya, Erika. Aku tak mau mundur. Aku ingin perceraian ini segera!"
Saat itu, seorang pria berjas rapi memasuki kafe. Dengan postur tegap dan penampilan yang rapi, dia adalah Ryan, pengacara yang ditunjuk oleh Erika untuk membantu Adara. Ia melangkah cepat ke meja dan tersenyum lebar. "Hai, Adara! Senang bertemu denganmu."
"Terima kasih sudah datang, Ryan," balas Adara sambil memberikan senyuman tipis.
"Jadi, kita akan membahas beberapa dokumen penting hari ini, kan?" tanya Ryan sambil membuka laptopnya dengan gesit.
Adara mengangguk. "Iya, pertama-tama tentang surat perjanjian hutang piutang. Aku butuh ini agar semua jelas. Tidak ada lagi kesalahpahaman."
Ryan mengangguk. "Tentu saja. Kita akan merumuskan syarat dan ketentuan yang adil bagi semua pihak. Bagaimana hubungan Galang dan Sheila saat ini?"
"Sepertinya mereka tidak bisa menjauh satu sama lain," jawab Adara, suaranya sedikit bergetar. "Dan aku tidak ingin terjebak di tengah drama mereka. Apa lagi Sheila saat ini sedang hamil."
Erika meraih tangan Adara, memberinya dukungan. "Ini semua demi kebahagiaanmu, Bukankah itu yang terpenting?"
"Baiklah." Ryan mulai mencatat. "Biasanya, dalam perjanjian hutang piutang, kita perlu memasukkan jumlah pinjaman, jangka waktu pengembalian, dan juga bunga jika ada."
Adara menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba mencari tahu apa yang harus ia katakan. "Galang dan Sheila berhutang sebesar .... Jangka waktu pengembalian ... sebulan sudah lebih dari cukup. Dan tidak ada bunga."
Ryan mencatatnya dengan cepat. "Bagus. Apa ada konsekuensi jika Galang dan Sheila tidak dapat membayar tepat waktu?"
"Dia harus mengembalikan semua uangnya. Aku tidak mau menambah beban jika dia gagal." Adara berbicara tegas, berusaha menunjukkan sikapnya yang kokoh.
"Baik, kita bisa masukkan itu ke dalam kontrak," Ryan menjawab dengan fokus. "Sekarang mengenai surat gugatan cerai, apa alasan yang ingin kamu masukkan?"
Adara menarik napas dalam, menahan perasaan sakit yang datang kembali. "Tentu saja perselingkuhannya yang menjadi alasan utama."
Erika menatap Adara dengan penuh empati, sementara Ryan mencatat dengan seksama. "Itu alasan yang valid, Adara. Kita akan melampirkannya dalam dokumen."
Suasana kafe terus berjalan, dengan pengunjung lain yang berbincang dan menikmati momen mereka. Namun di meja Adara, ada sebuah ketegangan yang terus menghimpit. Rasa cemas menyelimuti pikiran Adara; keputusan untuk bercerai adalah yang terberat dalam hidupnya, tapi dia tak akan mundur.
"Adara, penting untuk diingat bahwa kamu tidak sendiri dalam hal ini. Erika dan aku ada di sini untuk mendukungmu," kata Ryan sambil menutup laptopnya, terfokus pada wanita di hadapannya.
"Terima kasih, Ryan. Aku hanya merasa seolah-olah aku tersesat," jawab Adara, suaranya penuh keraguan. "Apakah aku membuat keputusan yang tepat?"
“Kadang kita harus memilih jalan yang sulit untuk menemukan kebahagiaan,” Erika menambahkan dengan bijak. "Jangan takut pada perubahan."
Adara tertunduk, berusaha mencerna kata-kata mereka. Baginya, itu adalah peralihan yang menakutkan, tetapi dia tahu dia harus melanjutkan. "Baiklah. Ayo kita lanjutkan."
Ryan kembali membuka laptop dan mulai mengetik. "Kita akan mulai dengan surat perjanjian hutang piutang terlebih dahulu. Setelah itu, kita akan menyusun gugatan cerai."
Akhirnya, suasana di kafe yang ramai namun nyaman itu terasa sedikit lebih ringan bagi Adara. Meskipun ketakutannya masih ada, ada juga perasaan harapan yang mulai tumbuh. Dia mulai membayangkan hidupnya tanpa Galang, tanpa beban yang selama ini menghimpitnya.
Ketika mereka mulai mengatur dokumen, Adara merasakan getaran positif yang halus, seakan setiap ketukan keyboard Ryan adalah langkah menuju kebebasan. Namun, tepat ketika mereka hampir selesai dengan perjanjian hutang piutang, telepon Adara bergetar di mejanya. Namanya yang muncul di layar begitu familiar—Galang.
Seketika, jantung Adara berdegup lebih kencang. Dia menatap Erika dan Ryan, yang keduanya memberikan tatapan penuh pertanyaan. Air mata mulai menggenang di matanya, tetapi dia berusaha mengendalikannya.
"Apa yang harus aku lakukan?" bisiknya.
Erika meraih ponsel itu dengan lembut, menatapnya sejenak sebelum mengembalikannya. "Jawab saja. Kita di sini bersamamu."
Adara mengangguk, mengumpulkan keberanian yang tersisa dalam dirinya. "Baiklah." Dia mengambil napas dalam-dalam dan menekan tombol jawab. "Halo, Galang?"
Suara Galang di ujung telepon terdengar terbata-bata. "Adara? Kita perlu bicara. Ini sangat penting."
Adara merasakan perasaan di dadanya kembali menyusut. "Tentu, tentang apa?"
"Ini bukan tentang Sheila. Ini tentang kita," Galang melanjutkan. "Apa maksud kamu mengirim semua bajuku, Dara?"
"Itu artinya kamu sudah tak bisa pulang. Aku dan kamu telah berakhir. Aku mau kita cerai!"
"Dara, jangan begitu. Aku tak mau kehilanganmu."
Mendengar itu, Adara merasa berulang kali dilempar antara perasaan sakit dan marah. Dia menatap kedua temannya, yang menunggu dengan penuh perhatian. Dalam situasi begitu menegangkan, Adara merasa seolah-olah semua perjuangannya sejauh ini akan hilang dalam sekejap.
"Kau sudah kehilanganku sajak kau mulai mendua. Ingat itu, Galang!" seru Adara. Tak ada lagi kata Mas dalam panggilannya.
"Dara, aku janji akan berpisah dari Sheila setelah anak itu lahir. Dia bisa jadi anak kita," ucap Galang mencoba meyakinkan.
"Itu anak Sheila bukan anakku. Satu lagi. Segera kosongkan ruang kerja itu. Aku tak mau ada barang milikmu di sana."
"Dara, ini tak bisa. Tak adil untukku. Perusahaan itu aku yang mengembangkan. Kamu tak bisa mengusirku begitu saja!" seru Galang dengan suara tinggi mulai terbawa emosi.
"Kenapa aku tak bisa mengusir'mu? Itu perusahaan milikku. Aku berhak menentukan siapa yang boleh dan tak boleh bekerja di sana. Dan minta selingkuhanmu bawa barang miliknya juga. Besok pagi aku gak mau ada satu pun barangmu dan Sheila ada di kantor!"
"Kau tak bisa mengusirku dengan cara begini!"
"Sudah syukur aku masih mau mengantar bajumu dengan baik. Seandainya aku lempar dan membuangnya, kamu bisa apa?"
"Kau tak akan bisa tenang, Dara. Aku tak terima kau perlakukan aku seperti ini!"
Setelah mengatakan itu, Galang menutup obrolan. Dia mematikan sambungan gawainya. Adara menarik napas dalam. Ucapan Galang sepertinya suatu ancaman.
Good Andara jangan mau di injak 2 sama nenek gombel Sheila
kl mau pngsan,slakan aja....drpd mkin malu....😝😝😝