Enzio Alexander Pratama, pria 28 tahun dengan kekayaan dan status yang membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan rahasia kelam—ia impoten.
Sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merampas kehidupan normalnya, dan kini, tuntutan kedua orangtuanya untuk segera menikah membuat lelaki itu semakin tertekan.
Di tengah kebencian Enzio terhadap gadis-gadis miskin yang dianggapnya kampungan, muncul lah sosok Anna seorang anak pelayan yang berpenampilan dekil, ceroboh, dan jauh dari kata elegan.
Namun, kehadirannya yang tak terduga berhasil menggoyahkan tembok dingin yang dibangun Enzio apalagi setelah tahu kalau Anna adalah bagian dari masa lalunya dulu.
Bahkan, Anna adalah satu-satunya yang mampu membangkitkan gairah yang lama hilang dalam dirinya.
Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir tengah memainkan perannya? Ketika ego, harga diri, dan cinta bertabrakan, mampukah Enzio menerima kenyataan bahwa cinta sejati sering kali datang dari tempat yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. Duabelas
Enzio langsung melompat ke kolam, mengabaikan Theo yang tampak kesal karena tidak diberi kesempatan untuk bicara lagi.
Air menyembur ketika tubuh Enzio masuk ke dalam kolam. Dengan gerakan cepat, dia berenang menuju Anna yang sudah hampir kehabisan tenaga. Enzio meraih tubuh Anna, menariknya ke atas, dan memastikan wajahnya tetap di atas permukaan air.
Sebelum Enzio sempat membawa Anna ke tepi kolam, Theo juga melompat ke dalam air. Dia berenang mendekat, berusaha membantu Enzio.
“Berikan Anna padaku!” kata Theo dengan nada tajam, mencoba merebut Anna dari genggaman Enzio.
Enzio memelototi adiknya. “Kamu malah membuang waktu. Jangan memperumit keadaan! Minggir sana!” balasnya, tetap memegang Anna dengan erat.
Theo menatap Enzio dengan tatapan tidak suka. “Aku juga peduli padanya. Kamu tidak perlu bertindak seolah-olah hanya kamu yang peduli!”
“Kamu terlalu lambat, Theo. Kalau aku menunggu kamu, dia sudah tenggelam lebih dalam!” balas Enzio dingin.
Anna, yang setengah sadar, hanya bisa mendengar suara samar pertengkaran kedua pria itu. Tubuhnya semakin lemas, membuat Enzio harus lebih kuat menopangnya.
“Kita bawa dia ke tepi sekarang dan jangan banyak bicara lagi,” ujar Enzio akhirnya, mengambil alih situasi.
Meski tidak suka, Theo terpaksa setuju. Bersama-sama, mereka membawa Anna ke tepi kolam dan mengangkatnya keluar.
•••••
“Uhuk, uhuk…”
Anna terbaring di lantai, basah kuyup dan terengah-engah. Wajahnya pucat, sementara Enzio berjongkok di sampingnya, memeriksa keadaannya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Enzio dengan nada serius. Sorot matanya tidak bisa dibohongi, Enzio khawatir pada gadis itu.
Anna mengangguk pelan, meski tubuhnya masih gemetar. “Te–terima kasih, Tuan...”
“Anna, kamu kenapa bisa jatuh? Apa kamu terpeleset?” tanya Theo sambil menggenggam tangan Anna.
Anna hanya diam, terlalu lemah untuk menjawab.
Enzio menoleh tajam ke arah Theo. “Berhenti bertanya. Dia butuh istirahat!” katanya dengan nada dingin.
“Setidaknya aku peduli padanya!” balas Theo kesal. Kenapa tiba-tiba pria dingin ingin bersikap sok peduli pada Anna? Apa kepala tadi terbentur sesuatu?
“Peduli? Kamu pikir aku tidak peduli?” Enzio mendekat, bicara dengan nada penuh penekanan. “Kalau aku tidak peduli, aku tidak akan melompat lebih dulu.”
Theo mendengus sinis. “Tapi kamu selalu menyembunyikan rasa pedulimu di balik sikap arogan itu. Jangan berpura-pura dingin.”
“Kamu tidak tahu apa-apa, bocah!” balas Enzio sambil melirik Anna yang masih berbaring lemah.
Ketegangan antara kedua kakak-beradik itu memuncak. Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan pertengkaran, suara pelan Anna menghentikan mereka.
“Maaf, bisakah kalian diam?” Anna hendak bangkit, dan lagi kedua kakak beradik itu kembali menahannya.
Enzio dan Theo menoleh bersamaan. Wajah Anna tampak penuh rasa bersalah meski tubuhnya masih lemah.
Enzio menarik napas panjang, lalu berdiri. “Kamu tidak perlu meminta maaf. Aku akan memastikan insiden ini tidak terjadi lagi.”
Theo juga berdiri, menatap kakaknya dengan ekspresi serius. “Dan aku akan mencari tahu siapa yang membuatnya terjatuh!”
Mendengar itu, Viona yang mengintip dari balik dinding jauh di belakang mereka mulai merasa tidak nyaman. Dia tidak menyangka keisengannya akan berakhir seperti ini. Dengan panik, dia meninggalkan tempat itu, berharap tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
••••
Angin dingin menerpa tubuh basah Anna yang masih lemah setelah diselamatkan dari kolam renang.
Theo melangkah maju, mengulurkan tangan ke arah Anna. “Aku akan membawamu ke kamar untuk istirahat. Kamu butuh menghangatkan tubuhmu.”
Namun, sebelum Anna sempat menjawab, Enzio sudah lebih dulu membungkuk dan mengangkat tubuh Anna dalam gendongannya.
“Aku yang akan membawanya.”
Theo melotot tajam ke arah kakaknya. “Aku yang lebih dulu menawarkan diri.”
“Peduli atau tidak, aku yang bertanggung jawab di rumah ini. Jangan memperdebatkan hal kecil yang sama sekali tidak penting.”
Anna yang berada di dalam gendongan Enzio mencoba memberontak.
“T-tuan Enzio, saya bisa jalan sendiri. Tolong turunkan saya!”
Enzio tidak mempedulikan protesnya. Matanya tetap terpaku pada Theo, memberikan tatapan tajam yang seolah menantangnya.
“Aku tidak akan membiarkannya,” kata Theo dengan nada serius.
“Kalau begitu, buat dia semakin lelah dengan pertengkaran kita,” balas Enzio dingin, sambil melangkah melewati Theo.
Theo mengepalkan tangannya, tapi akhirnya mengalah. Dia mundur selangkah, membiarkan Enzio membawa Anna pergi.
Anna yang masih dalam gendongan mulai panik. Dia tahu kamarnya berada di lantai bawah, tapi Enzio malah membawanya menaiki tangga menuju lantai atas.
“Tuan, kenapa membawa saya ke lantai atas? Bukankah kamar saya di bawah?” tanya Anna dengan bingung.
Enzio tidak menjawab. Dia terus melangkah tanpa menoleh.
Anna membuka mulutnya lagi untuk memprotes, tapi sebelum dia sempat berbicara, Enzio sedikit menunduk dan membungkam bibirnya dengan sebuah ciuman yang mendadak.
Anna terkejut, matanya membelalak. Tapi tubuhnya membeku, tidak tahu harus berbuat apa. Ciuman itu singkat namun intens, cukup untuk membuat Anna kehilangan kata-kata.
Saat Enzio melepaskan ciumannya, Anna memalingkan wajah ke arah lain. Semburat merah terlihat di pipinya.
“Apa yang anda lakukan?!” serunya dengan nada marah bercampur gugup.
“Memastikan kamu diam,” jawab Enzio santai. “Kamu terlalu banyak bicara.”
Anna tidak bisa membalas. Tangannya yang semula berusaha menjauhkan Enzio kini justru melingkar di pundaknya, membuat dia semakin bingung dengan dirinya sendiri.
Enzio membuka pintu kamarnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya masih menggendong Anna. Dia masuk, lalu menutup pintu dengan rapat sebelum meletakkan Anna dengan hati-hati di sisi ranjang.
Anna duduk dengan kaku, bingung sekaligus canggung. Sementara Enzio berjalan ke lemari pakaiannya, mengambil kemeja dan celana panjang yang terlihat jauh lebih besar dari ukuran tubuh Anna.
Dia meletakkan pakaian itu di atas ranjang dan menatap Anna dengan wajah serius. “Lepaskan.”
Anna mengernyit. “Apanya?”
“Bajumu,” jawab Enzio tanpa ragu.
Anna tertegun. Wajahnya kembali memerah karena malu sekaligus marah. “Apa anda sudah gila?! Saya tidak akan melakukannya!”
Enzio menyilangkan tangan di dada, menyeringai kecil. “Kalau begitu, aku yang akan melepasnya untukmu.”
Anna langsung memeluk tubuhnya, menutupi dadanya dengan kedua tangan. “Jangan macam-macam, Tuan!”
Enzio membungkuk dan menyambar bibir Anna lagi. Ciuman kali ini lebih lama, membuat Anna tak mampu melawan. Tangannya yang semula menolak kini menggenggam ujung kemeja Enzio.
Enzio memejamkan mata, mencium Anna dengan penuh keinginan. Tubuhnya menegang, merasakan kehadiran Anna begitu nyata di dekatnya. Setiap kali dia berdekatan dengan Anna, tubuhnya bereaksi berlebihan, sesuatu yang tidak pernah dia rasakan saat bersama Viona.
“Brengsek,” gumam Enzio dalam hati ketika akhirnya dia melepaskan ciumannya. Dia berdiri dan memutar tubuhnya, menjauh dari Anna.
“Segera ganti pakaianmu,” katanya dengan nada dingin. “Aku harap, saat aku kembali, kamu sudah memakai kemejaku. Dan jangan coba-coba keluar dari kamar ini, atau aku akan menghukum mu.”
Anna menatap punggung Enzio dengan tatapan bingung. “Kamu tidak bisa terus memaksakan kehendak seperti ini Zio!!!” teriaknya.
Enzio tidak menjawab. Dia masuk ke kamar mandi dan menutup pintu dengan kuat.
Kira-kira mau ngapain itu Enzio di kamar mandi🤣🤣
kasih vote buat babang Zio biar dia semangat ngejar cinta Anna 😍🥰❤️