Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 DESAKAN SEMAKIN KUAT
Lemari pakaian sedikit terbuka, tapi aku tidak melihat ada barang yang berantakan atau tanda-tanda bahwa seseorang pergi dalam keadaan tergesa-gesa.
Aku buru-buru ke kamar anak-anak, berharap menemukan mereka di sana. Tapi sama saja. Kamar itu kosong.
Aku mengeluarkan ponsel, menelepon Aisyah. Nada sambung terdengar beberapa kali, tetapi tidak diangkat.
Sekali lagi aku mencoba menelepon, kali ini suaranya langsung masuk ke pesan suara.
Perasaan tidak enak mulai menjalar di hatiku.
Kemana mereka? Kenapa Aisyah pergi tanpa memberitahuku?
Aku mencoba berpikir jernih. Mungkin dia hanya pergi ke rumah orang tuanya, atau mungkin mengajak anak-anak menginap di rumah saudaranya. Tapi… kenapa tidak memberitahuku?
Aku duduk di sofa, mengusap wajahku dengan frustrasi.
Baru saja beberapa jam lalu aku merasa begitu yakin dengan keputusanku. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, aku merasa… seolah sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kusadari.
Bab 8: Jarak yang Semakin Nyata
Saat aku masih duduk di sofa, mencoba memahami situasi, tiba-tiba ponselku bergetar. Dengan cepat aku meraihnya, berharap ada kabar dari Aisyah.
Aisyah: Aku pulang ke rumah orang tua untuk sementara. Jika sudah selesai, aku akan kembali.
Aku menghela napas panjang. Setidaknya dia tidak pergi begitu saja tanpa jejak. Aku sedikit lega mengetahui bahwa dia hanya kembali ke rumah orang tuanya. Tapi… "jika sudah selesai" itu maksudnya apa?
Aku mengetik balasan.
Reza: Kenapa tidak bilang dulu ke aku?
Pesanku terkirim, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa dia membaca. Aku menunggu beberapa menit, mencoba menghubunginya lagi. Tetap tidak diangkat.
Aku meremas rambutku dengan frustrasi. Aisyah memang tidak pernah meninggalkan rumah seperti ini sebelumnya. Bahkan dalam pertengkaran paling buruk yang pernah kami alami, dia selalu tetap ada, tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu. Tapi sekarang, dia memilih pergi.
Aku tahu keputusanku meminta izin untuk menikah lagi sudah menyakitinya. Tapi sejujurnya, aku tidak menyangka dia akan bereaksi seperti ini.
Kupandangi layar ponsel, berharap dia akan segera memberi jawaban. Tapi hingga beberapa menit berlalu, tidak ada pesan balasan.
Aku melirik jam dinding. Sudah larut. Aku berdiri, berjalan ke kamar anak-anak yang kosong. Biasanya, aku selalu menemukan mereka sudah tertidur, dengan Aisyah yang sesekali duduk di samping mereka, membacakan cerita sebelum tidur. Tapi malam ini, tidak ada siapa-siapa.
Rumah ini terasa begitu sepi tanpa mereka.
Aku mengembuskan napas, lalu kembali ke kamar tidur. Aku mencoba untuk tidur, tapi pikiranku terus saja dipenuhi pertanyaan.
Apakah Aisyah benar-benar hanya pergi untuk sementara?
Atau ini adalah awal dari jarak yang lebih besar antara kami?
...****************...
Hampir seminggu sudah Aisyah dan anak-anak pergi dari rumah. Setiap hari aku mengirim pesan, mencoba menghubunginya, tapi tak pernah ada jawaban. Ponselnya selalu aktif, tapi tidak pernah ia angkat.
Aku duduk di meja makan, menatap ponsel yang kini terasa begitu asing. Biasanya, Aisyah selalu cepat membalas pesanku, bahkan sekadar mengingatkanku untuk makan atau menanyakan kapan aku pulang. Tapi sekarang, layar ponselku hanya dipenuhi pesan-pesan yang tak pernah terbaca.
Aku mengetik lagi.
Reza: Aisyah, kamu di sana? Aku merindukan kalian. Tolong angkat teleponku.
Kirim.
Tapi aku tahu, balasannya mungkin tak akan datang.
Aku mengusap wajahku dengan frustrasi. Sepi. Rumah ini benar-benar terasa kosong tanpa mereka. Tidak ada suara tawa anak-anak, tidak ada Aisyah yang menyambutku dengan senyum hangatnya, tidak ada aroma masakan yang biasa mengisi ruangan.
Aku meraih ponsel lagi, menekan nomor Aisyah. Kali ini, aku berharap lebih.
Nada sambung terdengar… satu… dua… tiga kali. Tapi kemudian panggilan itu berakhir begitu saja, tanpa jawaban.
Aku menggebrak meja dengan kesal.
Apa ini? Sampai kapan Aisyah akan bersikap seperti ini? Aku memang meminta izin untuk menikah lagi, tapi dia sendiri yang mengizinkannya. Kenapa sekarang dia seperti ingin menghilang dariku?
Atau…
Aku mulai dihantui ketakutan lain.
Apa mungkin Aisyah tidak benar-benar mengizinkan, tapi hanya mengucapkannya karena sudah terlalu lelah dengan semua ini?
Aku meraih kunci mobil. Aku tidak bisa terus begini. Aku harus menemui Aisyah, harus mendengar langsung dari mulutnya.
Karena jika aku kehilangan dia… dan anak-anakku… aku tidak yakin aku bisa menerimanya.
Aku masih duduk di ruang tamu, menatap layar ponsel yang tak kunjung menampilkan balasan dari Aisyah. Kepalaku dipenuhi berbagai pikiran yang membuat dadaku terasa sesak. Aku benar-benar merindukan mereka, tapi aku juga tidak tahu harus berbuat apa jika Aisyah terus menghindar dariku.
Tiba-tiba, suara klakson mobil terdengar dari luar. Aku melirik ke arah jendela dan melihat mobil ayah sudah terparkir di halaman. Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi.
Aku berjalan malas-malasan ke pintu dan membukanya.
Ibu dan ayah berdiri di sana, wajah mereka terlihat serius. Aku sedikit terkejut melihat kedatangan mereka yang mendadak.
“Ada apa, Bu, Yah?” tanyaku sambil mempersilakan mereka masuk.
Mereka duduk di sofa, dan aku ikut duduk di seberang mereka. Ibu langsung membuka pembicaraan dengan nada mendesak.
“Reza, sampai kapan kamu akan menunda pernikahanmu dengan Laras?”
Aku terdiam. Aku sudah menduga ini akan terjadi. Sejak pertama kali mereka memintaku menikah lagi demi mendapatkan anak laki-laki, mereka terus mendesakku. Tapi sekarang, dengan keadaan Aisyah yang pergi dari rumah, aku semakin merasa ini bukan waktu yang tepat.
Ayah menatapku tajam. “Kamu ini bagaimana, Reza? Aisyah sudah mengizinkan, kan? Lalu kenapa masih menunda? Apa lagi yang kamu tunggu?”
Aku menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosiku.
“Ibu, Ayah… Aisyah memang mengizinkan, tapi lihatlah sekarang. Dia pergi dari rumah. Sudah seminggu dia tidak pulang dan tidak membalas pesanku. Aku tidak bisa menikah dalam keadaan seperti ini,” kataku dengan nada frustasi.
Ibu mendengus pelan. “Perempuan memang begitu. Awalnya pura-pura kuat, tapi akhirnya tetap kembali. Biarkan saja dia menenangkan diri, nanti juga dia sadar bahwa dia tidak punya pilihan lain.”
Aku menggeleng pelan. “Tidak, Bu… Aku rasa kali ini berbeda. Aisyah benar-benar berubah. Dia bukan hanya marah, tapi… seperti tidak ingin ada aku lagi dalam hidupnya.”
Ayah menatapku dengan tajam. “Kamu ini lelaki, jangan terjebak perasaan! Tujuan utama kita adalah memastikan ada penerus laki-laki dalam keluarga ini. Aisyah hanya memberimu anak perempuan, dan kamu tahu itu tidak cukup.”
Kata-kata ayah terasa seperti belati yang menusuk dadaku. Seolah anak-anakku yang sekarang tidak berharga hanya karena mereka perempuan.
“Ayah…” Aku menatapnya dengan rahang mengatup. “Anak perempuan atau laki-laki itu tetap anakku. Mereka darah dagingku.”
Ibu melambaikan tangannya dengan tidak sabar. “Sudahlah, Reza. Jangan buang waktu. Laras sudah siap. Kamu hanya perlu menetapkan tanggal pernikahannya.”
Aku meremas tangan di pangkuanku. Ini semua terasa begitu salah. Dulu, aku memang menginginkan ini—menikahi Laras. Tapi sekarang, saat aku melihat akibatnya… saat aku melihat Aisyah menjauh… aku mulai mempertanyakan semuanya.
Aku menghela napas panjang.
“Aku akan pikirkan lagi, Bu, Yah.”
Ibu hendak protes, tapi ayah menahannya. “Baik. Tapi jangan terlalu lama, Reza. Kami tidak mau menunggu lebih lama lagi.”
Mereka akhirnya berdiri, bersiap untuk pergi. Aku mengantar mereka sampai ke pintu, lalu menatap mobil mereka yang melaju pergi.
Begitu mobil menghilang di kejauhan, aku kembali masuk ke rumah yang kini terasa lebih kosong dari sebelumnya.
Aku menatap sekeliling. Tanpa Aisyah dan anak-anak, rumah ini hanyalah bangunan tanpa jiwa.
Aku menyandarkan kepala ke sofa, menatap langit-langit.
Apakah aku benar-benar siap kehilangan Aisyah hanya demi memenuhi keinginan orang tuaku?
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang