--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 12
Malam lain masih di minggu yang sama.
Pulang dari pelatihan para prajurit di istana, Xavier melakukan perjalanan panjang ke bagian barat kekaisaran bersama Proka. Luhde harus menangani urusan konstruksi bersama klien, tidak ikut serta dalam tujuan ini.
Pattenheart, ibukota Kerajaan Ardas.
Hotel Ester di pertengahan, dipilih Xavier untuk bermalam, hanya satu malam saja.
Esok hari pekerjaan dimulai.
Sampai hari berikutnya lagi.
“Kami belum menemukan tanda-tanda apa pun tentang keberadaan wanita itu di seluruh wilayah kerajaan ini, Tuan.” Satu dari lima antek suruhan Xavier melapor ke hadapannya. “Bahkan hingga ke tempat paling terpencil. Orang-orang sekitar hanya mengetahui jika dia pernah melakukan pengobatan sukarela saat wabah penyakit melanda ibukota ini satu bulan lalu. Mereka tidak mengetahui secara pasti identitasnya.”
Padahal ini sudah hari kedua.
Xavier yang berdiri menghadap sebuah kolam berbalik badan, menyikapi antek-anteknya. “Maka kita akan kembali ke Cecilia sekarang juga.” ---Ibukota kekaisaran.
Jika tidak ada yang didapat, maka menyudahi adalah tindakan benar---setidaknya untuk sementara.
Lima antek berlalu seperti angin, memisahkan diri dari Xavier dan menjadi bayangan.
“Ayo, Proka!”
Proka mengangguk patuh, kembali menjadi pengemudi pribadi untuk tuannya.
Perjalanan panjang kembali dilakukan menuju ibukota kekaisaran.
Malam kembali datang.
Mobil yang membawa Xavier malah terhenti paksa akibat adanya kecelakaan yang menyebabkan jalanan menjadi penuh disesaki orang dan kendaraan sebelum sampai di pusat kota.
“Sepertinya kita akan terjebak beberapa saat, Tuan Muda.” Proka melihat keadaan yang tak memungkinkan.
Xavier mendesah kasar. “Menyisi saja, carilah dulu makanan dan minuman untuk memulihkan staminamu. Perjalanan masih lumayan.”
“Baik. Akan saya lakukan.”
Tidak ada alasan untuk menolak, Proka menggerakkan mobil yang dikendarainya ke sisi yang memang ada sebuah lahan menjorok. Dia memang merasa lapar, untung Xavier sepengertian itu.
“Apakah Anda tidak ikut turun, Tuan Muda?"
“Tidak. Kau saja. Aku ingin tidur sebentar saja,” jawab Xavier sembari menyanggahkan kepala ke sandaran jok, langsung memejamkan mata.
“Apa yang Anda butuhkan?”
“Sepotong roti gandum dan air putih.”
“Baik. Segera.”
Proka turun kembali berjalan menyisir tempat demi tujuannya---makanan.
Orang-orang masih belum tercerai. Masih berkerumun untuk mengurus korban kecelakaan.
Polisi kota juga nampak mulai berdatangan membawa sirine nyaring mobil mereka.
(Ilustrasi)
Keadaan jadi gaduh, Xavier sulit pejam seperti inginnya. Dia melihat ke arah orang-orang di luar itu dengan raut malas.
Namun dalam proses singkatnya, mata merah miliknya yang akan dipejamkan lagi malah menangkap hal yang paling menonjol di antara kerumunan para manusia.
Lalu melotot dan terperanjat dari sandarannya.
“Wanita itu!”
Tak serta merta, dia mencampakkan niat tidurnya, turun dengan cepat untuk mengejar apa yang dia cari dua hari ini di Kerajaan Ardas.
Perhatian orang-orang tercuri olehnya, tapi sebentar saja karena Xavier cepat menghilang ke celah antara dua bangunan.
Sadar sedang dikejar, wanita bertopeng itu lari sekencang yang dia bisa.
“Tidak akan kubiarkan kau hilang lagi," kata Xavier sembari lari.
Dan ....
GREBB!
HAP!
Dapat!
Tapi ada perlawanan.
“Dia lumayan juga," cicit hati Xavier.
Dalam beberapa detik ada pertarungan di antaranya.
Namun ....
Xavier adalah seorang panglima perang, tidak ada yang diragukan dari kemampuan itu. Ini takdir sebenarnya. Kegagalan tempo lalu hanya bagian dari permainan takdir itu sendiri.
Dia mendapatkannya sekarang.
“Jangan memaksakan serangan yang kau sendiri tahu itu sama sekali tidak akan berguna!"
GREB!
Meski kemampuannya di atas rata-rata kemampuan wanita pada umumnya, tapi pada akhir penopeng itu tetap jatuh di kekangannya.
“Lepaskan aku! Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya?!” teriak wanita itu. Tubuhnya terus meronta ingin terlepas dan juga ... ingin segera melarikan diri.
Akan tetapi, tentu tidak akan segampang dalam ucapan. Xavier membutuhkannya untuk satu hal.
“Sebuah keinginan besar," jawab Xavier. “Aku tidak akan berbuat kasar asalkan kau mau bekerja sama. Karena sekuat apa pun perlawananmu, aku tetap akan memaksa, tidak akan melepaskanmu.”
Wajah dengan topeng penuh meliput wajah itu mendongak ke wajah Xavier dan tertegun, rontaan kasarnya mengendur perlahan lalu diam. “Keinginan besar apa yang kau maksudkan?” tanyanya.
Xavier membawanya ke sebuah tempat yang cukup sepi untuk menjelaskan apa keinginan yang dimaksudkan. Wanita penopeng itu berpasrah.
Taman belakang dari sebuah gedung.
Tidak kembali ke mobil karena area itu masih dipenuhi orang yang berkerumun untuk menonton korban tragedi kecelakaan beberapa saat lalu. Cukup sekali tadi dia menjadi pusat perhatian orang.
Sekarang dia dan wanita bertopeng sudah berdiri saling berhadap.
“Jangan dulu mengeluh tentang bau kutukan dalam tubuhku, karena itu alasan utama aku rela mengejarmu sampai seperti ini.”
“Katakan! Jangan bertele-tele!”
Sudut bibir Xavier menarik senyum. “Baiklah,” katanya, cukup terkagum dengan kearoganan yang justru menjadi daya tarik dalam penilaiannya atas perempuan yang baru ditemuinya ini. Hanya sesaat wajah Xavier sudah kembali datar. “Aku butuh dua kemampuan sihirmu untuk menyembuhkan kutukan dalam tubuhku.”
“Maksudmu?” Di balik topeng, kening perempuan ini pasti berkerut.
“Dua sihir yang kau kuasai, penyembuhan dan pemurnian ... aku membutuhkan itu,” tegas Xavier.
“Kenapa harus aku?! Bukankah banyak ahli sihir dari berbagai rumah ibadah di kekaisaran!”
“Tidak akan aku bersusah payah mencarimu selama dua hari ini jika mereka memang mampu melakukannya. Tidak satu pun dari mereka berhasil membebaskanku.”
Cukup dibuat terkejut. Penopeng wanita itu sampai melengakkan wajah. “Dua hari ini? Kau sungguh melakukannya hanya untuk mencariku?!”
“Tidak! Lebih jauh dari itu!" tampik Xavier. “Jika kau ingin tahu, itu dimulai sejak pertama kali aku melihatmu di tepi jalanan, ketika hujan. Kau mengobati seorang paman yang kakinya kesakitan. Kau pasti mengingatnya, bukan? Aku gagal mengejarmu saat itu.” Xavier menghela napas. “Ya, setidaknya sejak hari itu aku terus mencarimu kemana-mana bahkan hingga ke pelosok Ardas.”
Sejenak wanita itu diam, menguar pikiran yang cukup sulit. Tentu saja dia ingat cerita itu tanpa terkecuali, semua masih membayang di pelupuk mata. Hanya merasa takjub. “Dia mencariku sampai ke Ardas?” Dan lahirlah perasaan iba.
Setelah puas dengan pikiran, dia bertanya lagi, “Bagaimana kau yakin kalau aku orang yang tepat untuk mengobati kutukanmu itu?!”
“Aku tidak yakin," tukas Xavier seraya membalik badan ke arah lain, dua tangan diselip kiri dan kanan saku celana. “Hanya sedikit berharap bahwa kau mungkin saja bisa. Selain dua sihir rangkap yang kau kuasai, aku bisa melihat mana*-mu juga sangatlah besar.”
Mengejutkan wanita itu lagi. “Dia bahkan bisa melihat ukuran mana!”
(*Mana adalah konsep kekuatan spiritual yang ada dalam diri seseorang, tempat, atau objek dalam budaya Māori dan Polynesia. Source: Wikipedia)
Tidak mendengar jawaban apa pun, Xavier kembali membalik hadapnya dan mendapati wanita itu malah diam termenung.
“Jadi, Nona Penopeng ... seperti yang kau katakan tadi, tidak perlu berbasa-basi. Aku---Xavier Blood, membutuhkan bantuanmu. Kuharap kau berkenan hati.”
Pada akhir tetap jua Xavier harus merendah diri, tidak memaksakan kehendak secara brutal hanya karena senilai kata yang sebenarnya sudah lama dia tak lagi peduli itu; 'ingin sembuh dari kutukan'.
Tapi kemunculan wanita penopeng di depannya ini saat memperlihatkan kemampuan sihir, menjadikan harapan yang terkubur itu muncul kembali. Dan semakin besar harapannya ketika si penopeng mengatakan, “Baik! Aku akan mencobanya.”
Kilat mata semerah darah milik Xavier melahirkan sorot cemerlang, langsung tersenyum puas. “Terima kasih. Aku merasa terhormat.”
“Aku belum melakukan apa pun! Jadi jangan dulu berterima kasih,” hardik wanita itu, nada ketus yang sama sekali tidak terdengar menjengkelkan di telinga Xavier.
“Setidaknya kau sudah bersedia membantu," sanggah Xavier. “Meski demikian, aku tidak meminta secara cuma-cuma. Jika kau berhasil ... ah, tidak! Jika setidaknya kau sudah mencoba meskipun tidak berhasil ... aku tetap akan memberi imbalan yang sepantasnya.”
Penopeng wanita itu menanggapi malah berdecak, “Ck! Sihirku tidak digunakan untuk meraup uang! Jangan merendahkanku, Tuan Blood!"
Cukup lantang dan berani.
Wanita itu tidak terkejut mendengar Xavier memperkenalkan nama lengkapnya tadi, bahkan menyebutnya dengan nada yang sinis sedetik lalu, jadi jelas sudah jika dia sangat tahu siapa lelaki itu.
Nama Xavier Blood melambung dan termashur hingga ke seluruh pelosok kekaisaran, dimulai dari kemenangan besar perang atas suku Ugras di utara oleh si iblis perang. Jadi itu sama sekali tak mengherankan.
“Aku tidak punya banyak waktu, jadi ... bisa kucoba sekarang juga?!”
Kali ini Xavier yang berbalik dibuat terkejut, lalu tersenyum dan berkata, “Tentu saja. Aku bersedia lebih dari dirimu.”
Di tangan Xavier, berubah menjadi tanah mematikan ( untuk musuh2nya )...
/Drool//Drool//Drool/