Karena latar belakang Shazia, hubungan nya bersama Emran tak direstui oleh orang tua Emran. Tapi adiknya Emran, Shaka, diam-diam jatuh hati pada Shazia.
Suatu hari sebuah fakta terungkap siapa sebenarnya Shazia.
Dengan penyesalan yang amat sangat, orang tua Emran berusaha keras mendekatkan Emran dan Shazia kembali tapi dalam kondisi yang sudah berbeda. Emran sudah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya sekaligus teman kerja Shazia. Dan Shaka yang tak pernah pantang menyerah terus berusaha mengambil hati Shazia.
Apakah Shazia akan kembali pada pria yang dicintainya, Emran atau memilih menerima Shaka meski tak cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkara rok
"Ayok, mba naik !" titah Shaka saat melihat Shazia tak kunjung naik ke atas moge. Gadis itu tampak diam kebingungan.
"Mba, ayok cepetan naik. Nanti keburu para preman berdatangan kemari." Shaka kembali memburu-buru Shazia yang sebenarnya hanya akal-akalan nya. Bukan para preman yang akan berdatangan melainkan dirinya sendiri yang merasa tak sabar ingin segera membonceng wanita pujaan hatinya.
Shazia lantas menatap pada wajah Shaka dengan tatapan sebal.
"Gimana cara naik nya, Shaka ????" Tanya Shazia yang kesal karena Shaka terus memburu-buru dan tak peka pada kondisinya.
Alis Shaka tertaut. Dasar cewek. Naik ya tinggal naik aja kok rempong amat. Kalau tak cinta sudah ditinggal dari tadi. Berhubung cinta nya 99% pada cewek rempong ini ya dah lah sabarin aja.
"Tinggal naik aja mba. Pertama kaki kiri naik ke pijakan kaki. Terus angkat badan mba ke atas. Kaki kanan putar ke kanan, lalu mba duduk deh," tutur Shaka memberi arahan pada Shazia gimana caranya naik moge.
Shazia mendengkus.
"Itu mah aku juga ngerti, Shaka. Enggak beda jauh sama naik motor biasa. Cuma masalahnya aku pakai rok. Gimana coba naiknya ?"
Shaka langsung melihat pada bawahan Shazia. Apa yang dikatakan Shazia ternyata benar jika ia memakai rok panjang warna navy.
Huh. Shaka meniup angin ke atas hidung hingga helaian rambut yang ada di jidatnya beterbangan.
"Tau gini, aku bawa mobil tadi."
"Hah, apa? kamu ngomong apa, ka?" Tanya Shazia yang sempat mendengar gumaman Shaka. Hanya saja kurang jelas.
Shaka yang keceplosan pun segera membekap mulutnya. Lalu pria itu menyengir.
"Enggak, mba. Aku tadi lagi ngayal. Andai saja aku punya mobil mungkin bidadari ku ini sudah ku angkut pakai mobil dalam mimpi ku."
Mendengar gombalan Shaka, Shazia langsung memasang wajah sebal pada pria tersebut.
"Jangan mulai deh, ka. Kalau enggak mau ku jewer telinga mu sampai copot."
Shaka tergelak.
Hening. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Ee...gimana kalau mba duduknya menyamping aja !" Shaka tiba-tiba memberi usul di tengah keheningan.
"Terus aku pegangnya gimana nanti?" Tanya Shazia yang masih bingung.
"Ya pegangan pakai satu tangan ke pinggang ku, mba."
"What !!" pekik Shazia. Dan langsung menggeleng menolak usulan Shaka dengan tegas.
"Lah, emang kenapa, mba? biar tampang ku begini tapi di jamin badan ku enggak bau kok. Mba tenang aja."
"Bukan. Bukan itu." Shazia geleng-geleng kepala.
"Terus ?"
"Kita bukan muhrim, Shaka. Aku enggak bisa pegangan sama kamu."
Shaka terdiam. Otaknya mikir sesuatu.
"Bukan muhrim ya, mba. Kalau sama kak Emran gimana? Muhrim bukan, mba?"
Pertanyaan Shaka yang bernada sindiran itu sontak membuat Shazia melotot tajam pada pria yang kini cengengesan.
"Maksud kamu apa ya?"
"Enggak mba. Aku cuma becanda. Beneran, suer !!" Shaka mengelak seraya mengacungkan dua jari.
Shazia menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya anak ini harus diberi penjelasan agar tak berpikir yang macam-macam padanya juga Emran.
"Gini ya, ka. Pertama. Aku dan mas Emran emang beberapa kali pergi bareng tapi kami enggak pernah naik motor. Jadi enggak ada itu yang namanya pegang-pegangan."
"Ya elah. Kaku amat gaya pacaran kalian." Shaka menyela membuat Shazia melotot kesal.
"Dengar ya. Kami enggak sekedar pacaran, tapi kami berkomitmen untuk langsung melangkah ke jenjang pernikahan," jelas Shazia.
Bukan omong bohong. Memang faktanya seperti itu. Saat Emran mengungkapkan perasaannya, saat itu pula pria itu mengutarakan keinginan untuk menikahi Shazia secepatnya. Bisa dibilang, Emran telah melamar Shazia secara personal belum kekeluargaan. Bahkan cincin sementara sudah tersemat di jari manis Shazia, sebagai tanda bukti jika pria itu benar-benar serius.
Mendengar kata komitmen dan pernikahan, tiba-tiba hati Shaka mendesir. Jujur, ia tak suka mendengar kata-kata itu dari Shazia.
"Next, mba. Yang kedua nya apa?" Shaka sengaja mengalihkan topik pembahasan. Ia tak ingin Shazia membahas masalah komitmen pernikahan dengan kalimat yang lebih panjang. Telinganya panas rasanya.
"Yang kedua. Sikap dan sifat mas Emran itu enggak seperti kamu, Shaka. Mas Emran itu orang nya lembut dan sopan banget. Jangan kan menyentuh, menatap ku aja dia sangat hati-hati. Bahkan kerap kali menjaga pandangan nya. Emangnya kamu !!!!!!" Shazia tersenyum ejek.
Shaka meneguk ludah. Yang kedua rupanya lebih tak enak didengar dan bikin kuping makin panas. Ujung-ujungnya mba Shazia membandingkan dirinya dengan rival nya yang sok alim itu.
Ck, menjaga pandangan katanya. Mba Shazia enggak tahu saja kalau kakaknya itu pernah kepergok sedang melototi cewek se xi tanpa kedip waktu diajak kondangan ke orang kaya sama Abi dan umi.
"Cincin mba cantik banget ya, sama cantiknya seperti yang memakainya," puji Shaka.
Shaka yang tak suka dirinya di banding-bandingkan dengan Emran pun mengalihkan perhatian Shazia pada cincin yang melingkar di jemari manisnya. Untung matanya jeli. Jadi ia bisa langsung mengarahkan perhatian Shazia pada cincin tersebut tanpa berpikir panjang.
Shazia melihat pada cincin nya seraya tersenyum malu-malu.
"Oh ini. Iya dong cantik. Siapa lagi yang kasih cincin ini kalau bukan mas Emran," terang Shazia dengan senyum yang tak kunjung hilang.
Shaka terdiam dengan arah tatap pada wajah Shazia.
"Kamu tau enggak, ka. Kalau cincin ini cincin dari mas Emran sebagai tanda cinta nya ke aku. Dia bilang agar enggak ada cowok yang berani deketin aku." Shazia menyambung kalimatnya dengan berbinar-binar.
Glek. Shaka berusaha menelan ludahnya dengan susah payah. Alih-alih ingin membuang Emran dari pikiran Shazia, Shazia justru dengan bangganya menceritakan dari mana asal usul cincin yang ada di jemari nya tersebut. Yang tak lain adalah pemberian Emran sebagai tanda cinta nya pada Shazia.
Pembahasan yang ketiga ini ternyata jauh lebih menyesakkan dari pada dua pembahasan sebelumnya. Tahu gitu kenapa tadi dia enggak bilang saja kalau cincin nya itu jelek dan sangat norak.
"Ck, cuma cincin emas. Paling enggak lebih dari lima gram. Kalau aku yang jadi pacarnya jangankan emas lima gram, berlian lima karat saja masih sanggup ku belikan."
"Apa, kamu ngomong apa, Shaka?" Tanya Shazia yang menangkap remang gumaman Shaka.
Shaka segera menggeleng dan tersenyum keterpaksaan.
"Okey, mba. Sekarang mba mau ku antar pulang atau mau disini saja? Soalnya aku enggak bisa nunggu lama-lama. Kalau mau diantar ayok, kalau enggak mau ya sudah aku tinggal," ujar Shaka yang tak mood gara-gara cincin.
Shazia celingukan. Jalanan itu tampak sepi. Warung-warung maupun toko-toko yang ada pikir jalanan pun sudah pada tutup.
"Okey, okey. Aku ikut dengan mu," putus Shazia yang tak punya pilihan lain.
Shazia kemudian naik ke atas moge Shaka dengan posisi menyamping. Di tengahnya diselipkan tas agar badan nya tak menyentuh badan Shaka.
Shaka yang malas berkomentar hanya menghela nafas dan geleng-geleng kepala.
"Pegangan, mba. Biar enggak jatuh. Tapi itu pun terserah mba. Mau silahkan, enggak mau ya sudah. Aku enggak akan maksa," tutur Shaka dengan nada ketus sebelum ia menarik gas.
Kening Shazia mengernyit. Ia merasa ada yang aneh dari sikap Shaka kali ini.
Karena Shazia tak kunjung melakukan apa yang disuruhnya, Shaka terpaksa menarik tangan Shazia dan diletakkan di perut nya.
Mata Shazia membola terkejut. Tapi belum sempat ia protes dan menarik tangannya lagi, Shaka langsung menarik gas dengan kencang. Ngeng.....
Niat hati mau menarik tangannya, Shazia justru mencengkram kuat perut Shaka.
"Aaaa...Shakaaaa...jangan kenceng-kenceng. Aku takuuuutt !!!" teriak Shazia.
Teriakan Shazia tak membuat Shaka mengurangi kecepatan. Pria itu justru menambah kecepatan laju nya.
Dan otomatis, Shazia pun kini memeluk Shaka. Bahkan tas yang diselipkan di tengah tadi, ia singkirkan agar bisa memegang Shaka lebih erat.
Dibalik helm full face, senyum Shaka terkembang lebar, lebar dan semakin lebar.
"Salah sendiri sudah bikin aku cemburu. Lama-lama ku culik dan ku nikahi paksa kamu, mba."