Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Cepat atau Lambat
Nabila bangun di pagi hari. Ia ke dapur untuk membuat sarapan. Setelah selesai, ia kembali ke kamar untuk mandi dan sholat subuh. Setelah siap dengan pakaian kantor, Nabila kembali ke dapur dan menata meja makan dengan makanan yang sudah dibuatnya tadi.
"Nak, ayo sarapan dulu," panggil Nabila pada sang putra dari bawah tangga. Namun tak ada sahutan dari Hazel.
Kemudian Nabila pun menaiki tangga untuk mengecek sendiri sang putra, khawatir Hazel terlambat bangun. Kamar Hazel sudah rapi. Di kamar mandi pun tidak ada siapa pun. "Kok Hazel gak ada?" tanya Nabila entah pada siapa.
Ia kembali menuruni tangga dan menuju pintu keluar. Ia melihat motor besar milik Hazel sudah tidak ada. Nabila pun mengecek ponselnya. Benar saja, ada pesan dari sang putra.
Hazel: Bun, aku duluan. Tadi aku mau pamit tapi Bunda lagi di kamar mandi.
Nabila merasa aneh dengan pesan itu. Biasanya Hazel tidak pernah pergi sebelum ia pamit kepadanya. Ia pun membalas,
Nabila: Kok perginya pagi banget, Nak? Terus gak sarapan dulu?
Tidak ada balasan dari Hazel. Telepon Nabila pun tidak diangkatnya. "Gak diangkat?" gumam Nabila khawatir. Tidak biasanya Hazel seperti ini.
Akhirnya Nabila sarapan seorang diri. Ia terus melirik ke arah ponselnya, berharap sang putra memberikan kabar. Namun sampai ia selesai makan, tak ada balasan. Chat Nabila belum kunjung dibaca.
Di sisi lain, di sebuah kamar kost, Hazel duduk di samping tempat tidur sambil melamun. Seorang pria sebaya yang tidur di sampingnya mulai menggeliat. Dia adalah Angga, teman Hazel sejak SMA. Ia melihat Hazel yang duduk menatap kosong ke arah depan.
"Kirain gua mimpi lo ke kost gua, Zel?" ujar Angga dengan suara parau khas bangun tidur. Ia bangkit sambil mengucek matanya. Temannya itu sudah tak berjumpa dengannya sejak beberapa minggu yang lalu.
"Sorry gua ganggu. Udah lama kita gak ngumpul, tiba-tiba gua ganggu lu tidur. Soalnya gua butuh tempat buat mikir, Ga," maaf Hazel.
"Kenapa? Lu berantem sama Leoni? Udah putus aja. Orang dianya juga gak bener-bener ada rasa sama lu."
"Bukan tentang Leoni," tegas Hazel dengan kesal. "Ini tentang nyokap gua."
"Kenapa nyokap lu?"
"Kayaknya nyokap lagi deket sama seseorang," keluh Hazel.
"Ya elah, Zel. Emang kenapa kalau nyokap lu punya pacar?"
"Ya gua gak suka aja. Selama ini nyokap setia sama bokap. Walaupun bokap udah gak ada, tapi gua sama nyokap masih nganggep beliau itu spesial dan gak akan pernah kita lupain. Tapi tadi malem gua denger banget dia lagi video call gitu sama seseorang. Cowok itu manggil nyokap gua 'yang' dan cara ngomongnya juga mesra banget sama nyokap gua."
"Zel, nyokap lu butuh kali pendamping setelah bokap lu. Lu sendiri tahu, nyokap lu udah menjanda berapa lama."
"Ya gua tahu, nyokap pasti kesepian. Makanya gua selalu berusaha nyempetin buat selalu ngobrol dan ngasih kabar sama nyokap. Tapi kalau nyokap deket sama seseorang, gak tahu kenapa gua gak suka aja. Rasanya nyokap udah khianatin bokap gua."
"Terus emangnya lu bakal bareng nyokap lu terus gitu bahkan setelah lu nanti berkeluarga misalnya?"
" Ya kenapa enggak? Gua pasti bakal jagain nyokap sampai dia tua nanti."
"Niat lu udah bagus, tapi kalau memang nyokap lu pengen bersuami lagi, tapi lu tentang, itu namanya lu egois, Zel."
Dahi Hazel menyatu, "kenapa?"
"Nyokap lu juga perempuan, dia butuh seseorang dalam hidupnya. Yang sayang sama dia, yang bikin dia bahagia, bukan sekedar sayang dari anaknya. Kayak lu sekarang punya Leoni."
Hazel terdiam. Ia tak pernah berpikir demikian. Ia selalu berpikir sang ibu masih sangat mencintai sang ayah. Maka mustahil rasanya sang ibu memiliki pria lain. Rasanya ia tak rela saat ada sosok lain yang mengisi hati sang ibu.
Hazel juga teringat pada cincin yang sang ibu pakai. Kini Hazel berpikir sepertinya cincin itu tidak sengaja dibeli oleh Nabila, melainkan seseorang sengaja memberikannya kepada sang ibu. Dan jika cincin itu benar diberikan oleh seseorang, itu artinya hubungan Nabila dan pria itu pastilah sudah di tahap yang serius.
'Kenapa bunda gak cerita ya sama gua kalau dia lagi deket sama seseorang? Seserius apa hubungannya sama cowok itu? Terus siapa cowok itu? Perasaan Bunda gak pernah deket sama siapa-siapa selama ini? Kok tiba-tiba Bunda deket sama cowok?' gumam Hazel bermonolog dalam hati. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di dalam kepalanya.
Di sisi lain, setelah membeli beberapa furnitur, Dzaki dan Nabila bertolak ke kampung halaman Nabila yang berjarak kurang lebih tiga perjalanan dengan menggunakan mobil.
Dalam perjalanan Nabila masih saja terpikirkan tentang sang putra. Pasalnya Hazel belum juga membalas chatnya padahal ini sudah sore hari.
"Yang?" tegur Dzaki pada sang istri sambil terus mengemudikan mobilnya.
"Kenapa, Mas?" ujar Nabila tersadar dari lamunannya.
"Kamu masih kepikiran Hazel?" tanya Dzaki ikut merasa khawatir.
"Enggak, Mas. Sedikit sih. Yang penting aku tahu dia baik-baik aja. Makasih ya Mas udah nanyain Hazel ke temen-temennya Mas."
"Kamu tenang aja. Hazel lagi have fun kok sama anak-anak, katanya lagi makan bareng. Mereka bikin barbeque ala korea gitu. Kamu lihat 'kan tadi Hazelnya juga lagi ketawa-ketawa. Jadi kamu juga harus senyum sekarang. Ya?" Dzaki mencubit pelan pipi Nabila.
"Tapi Hazel gak bales telepon dan chat aku, Mas. Aku khawatir," ujar Nabila resah. "Hazel kenapa ya, Mas?"
Dzaki berpikir sejenak. "Apa mungkin dia... denger pas kita video call?"
Kedua manik Nabila tiba-tiba membulat. "Bisa jadi, Mas," ujarnya setuju. "Kayaknya pas malem dia ke bawah. Biasanya buat ngambil air minum. Kayaknya dia sempet denger kita lagi ngobrol. Gimana dong, Mas?"
"Udah kamu gak usah panik gitu, Sayang. Kita 'kan emang bukan akan sembunyiin tentang kita sama Hazel 'kan? Kita justru akan sesegera mungkin kasih tahu dia. Besok pas kita udah pulang ke Jakarta lagi, kamu harus kasih tahu Hazel."
"Tapi Mas..." Nabila kurang setuju.
"Kasih tahu, Yang. Hazel pasti ngerasa sedih karena kamu gak bilang apa-apa sama dia. Kalau kamu belum siap Hazel tahu tentang aku, kamu cukup kasih tahu kalau kamu udah nikah lagi tanpa bilang kalau aku suaminya kamu."
Nabila rasa Dzaki benar. Hazel pasti merasa sedih bahkan kesal karena Nabila tak mengatakan apapun, dan malah tiba-tiba mendengar Nabila yang tengah asyik bervideo call ria dengan seseorang. Nabila juga khawatir, Hazel akan berpikir Nabila menjalin hubungan yang tidak halal.
"Ya udah, Mas. Seperti yang Mas sarankan, aku akan ajak Hazel ngobrol nanti pas udah nyampe rumah."
"Lebih baik kayak gitu. Semangat, Yang. Awalnya Hazel pasti gak semudah itu nerima. Dia pasti syok banget. Tapi lama-lama dia bakal nerima kok, aku yakin."
"Iya, Mas. Cepat atau lambat Hazel pasti tahu tentang pernikahan kita."
Kemudian mobil Dzaki berhenti di depan sebuah rumah sederhana yang asri. Rumah itu tidak terlalu besar, namun halamannya cukup luas, khas rumah-rumah yang ada di pedesaan.
"Ini rumah orang tua aku, Mas," ujar Nabila.
"Nyaman banget, Yang." Pandangan Dzaki menyapu seluruh halaman yang nampak hijau itu.
"Ibu emang suka berkebun, Mas. Gimana, udah siap ketemu Ibu mertuanya Mas?" tanya Nabila semangat.
Seketika Dzaki sedikit gugup. "Insyaa Allah, Yang. Siap gak siap, harus siap."