Pohon Neraka Dunia terbelah, membebaskan miliaran jiwa pendosa ke dunia para ninja. Sementara itu di gunung yang berada di bawah kekuasaan Klan Naga Badai, tetua Klan Naga Badai memilih prajurit muda untuk mewarisi gulungan Dewa Badai dan Dewa Bayangan.
Inilah kisah Ren yang memulai perjalanan panjangnya menguasai peninggalan-peninggalan Dewa kuno serta pertempuran tanpa akhir melawan jiwa-jiwa yang terbebas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon After Future, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12: Dibantu
Ren menumpuk fokus pada alat barunya. Zenin, yang berada di posisi pendukung, dengan cermat menjaga titik butanya. Kekompakan keduanya membuat Yukio tak dapat menyembunyikan rasa cemburunya.
Namun, yang lebih mencolok lagi adalah Renka. Ia terlihat seperti menyimpan rencana khusus. Dengan gerakan percaya diri, Renka mengaktifkan mode terkuatnya, yang dikenal dengan nama Mode: Raijin. Aliran listrik melingkupi tubuhnya, menciptakan pemandangan yang memukau—indah, sekaligus menakutkan.
Melihat hal itu, Ren hanya menyeringai. Sebuah senyuman penuh keangkuhan. "Dasar bodoh," gumamnya pelan, hanya cukup terdengar oleh dirinya sendiri. "Apa dia tidak tahu kalau listrik itu justru akan memperkuat alatku? Menggunakan alat sains di dunia yang percaya sihir... memang salah satu keputusan terbaikku," tambahnya dalam hati, penuh kepuasan.
Ren tidak menunjukkan sedikit pun rasa gentar. Mengapa harus? Ia adalah Alvien, manusia terpilih, juru selamat yang diberkahi oleh dewa berbentuk buku. Status itu, ditambah kejeniusannya, adalah alasan ia selalu yakin dirinya akan menang.
Sementara itu, Renka tidak berhenti bergerak. Ia maju perlahan, tubuhnya bersinar terang dengan kilatan listrik yang semakin kuat. Tapi ada sesuatu yang janggal. Gerakannya tidak menunjukkan niat menyerang.
"Majulah, Renka! Sebelum aku datang dan memukul pan*** beranimu!" Ren akhirnya berteriak, mencoba memprovokasinya. Suaranya penuh dengan tantangan.
Renka tidak menanggapi kata-kata itu dengan ucapan, hanya tindakan. Aliran listrik di tubuhnya mulai berubah, membentuk zirah petir yang tampaknya kebal terhadap elemen listrik.
Ren mendengus kecil. "Lucu. Aku sudah memprediksi ini," gumamnya lagi. Ia menyesuaikan alatnya dengan cepat. "Bukan listrik yang kugunakan kali ini, tapi BESI. Kau tidak punya peluang!"
Dalam sekejap, Renka melompat. Kecepatannya luar biasa, nyaris mustahil untuk diikuti mata telanjang. Kilatan listrik di tubuhnya menciptakan suara menderu yang memekakkan telinga.
Dalam sekejap, ia menghancurkan dinding pertahanan Ren hanya dengan satu pukulan. Tapi Ren tidak gentar. Ia sudah menyiapkan tali khusus yang dirancang untuk menyerap cakra listrik.
"Bagus! Majulah, ninja penyihir! Aku sudah menduga kau akan menembus itu," Ren berkata dengan percaya diri. Ia mempersiapkan tali besi khusus, sebuah alat canggih yang dirancang untuk menyerap cakra listrik. "Saat tali ini mengikatmu, kau akan—"
Namun, Renka bergerak lebih cepat dari yang ia perkirakan. Dengan lincah, ia menghindari tali besi itu dan, yang mengejutkan, berhenti tepat di depannya. Sebelum Ren sempat bereaksi, Renka memeluknya erat.
Ren membeku. Tubuhnya kaku, pikirannya berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Ini bukan strategi. Ini bukan serangan. Ini... sesuatu yang lain.
"Ren, akhirnya kita bertemu lagi," ujar Renka dengan suara lembut, penuh kehangatan. Alvien, yang kini menjadi Ren, terdiam. Kata-kata itu membawa perasaan asing yang tidak pernah ia alami sebelumnya—perasaan yang membuat dadanya terasa berat.
Bagi Renka, ia adalah adik yang telah lama hilang. Tapi bagi Ren, pelukan ini adalah pengingat betapa asingnya dirinya di dunia ini.
"Dia tidak tahu," pikir Ren, rahangnya mengeras. "Dia benar-benar tidak tahu." Jiwa adik yang Renka kenal telah lama tiada. Ren yang ia peluk hanyalah cangkang kosong yang dihidupkan kembali oleh jiwa Alvien.
Ren menunduk sejenak, menyembunyikan wajahnya. "Cukup, Renka," katanya akhirnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. Ia perlahan melepaskan diri dari pelukan itu.
Namun, di dalam hatinya, sesuatu mulai retak.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Renka memeluk Ren dengan erat, membuat semua orang di sekitarnya terdiam. Bahkan Yukio, yang sebelumnya berencana melampiaskan amarah pada musuh, membeku di tempatnya, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Mengapa banyak sekali perempuan yang tertarik pada Ren? Yukio bertanya dalam hati.
Sementara itu, di sudut pandang Ren, kebingungan meliputi pikirannya. Detak jantung Renka terasa menenangkan, seolah berbicara kepadanya tanpa kata-kata. Dan ketika ia melihat air mata yang menggantung di kelopak mata kakaknya, hatinya, meskipun enggan, mulai melembut. Namun, bayangan tentang siapa dirinya yang sebenarnya—Alvien, bukan Ren—membuatnya menegarkan diri kembali.
"Lepaskan aku!" Ren akhirnya berteriak, mencoba menarik diri. "Sudah kubilang aku menolak ikut denganmu! Jangan gunakan status keluarga untuk memaksakan kehendakmu. Kau ingin menjadi kakak yang terburuk?" Ucapannya terdengar tajam, tetapi Alvien pun sadar kalau dia tidak seharusnya menyakiti satu-satunya anggota keluarga mendiang Ren.
Renka tidak bergeming. Ia mengangkat tangannya saat Tutu mencoba menyela, memberi isyarat tegas agar temannya diam.
Ten Ten, yang berdiri di kejauhan, mengamati situasi ini dengan jengkel, "Mau sampai kapan mereka berpelukan?" Dia ingin segera merebut sarung tangan magnetnya dari Ren.
Setelah beberapa saat, Renka akhirnya melepaskan pelukannya. Ren mengambil langkah mundur, mencoba menjaga jarak, tapi di dalam hatinya ia merasa kehilangan sesuatu. Gunung lembut itu... siapa yang menyangka aku akan merasa nyaman seperti itu. Pikir Ren dengan sedikit rasa bersalah, yang dengan cepat ia tepis.
Atmosfer yang sebelumnya penuh ketegangan perlahan berubah menjadi keheningan yang aneh.
Ren mengalihkan pandangannya dari Renka, merasa suasana semakin tidak nyaman. Kenapa dia terus menatapku seperti itu? pikirnya. Ia menggaruk belakang kepalanya dengan canggung, lalu mencoba berkata dengan nada tegas, meskipun suaranya sedikit bergetar.
"Renka... dengar, aku... aku harus pergi. Aku punya urusan yang harus kuselesaikan. Jadi, biarkan aku pergi."
Renka menatapnya lekat-lekat. Matanya menunjukkan rasa tidak percaya. "Pergi? Ren, kau tidak bisa pergi begitu saja setelah apa yang terjadi. Kau butuh perlindungan, dan aku—"
"Aku tidak butuh perlindungan darimu!" potong Ren cepat. Namun, nada suaranya lebih terdengar seperti pengakuan yang panik daripada kemarahan. Ia melangkah mundur, mencoba menjaga jarak antara dirinya dan wanita yang memanggil dirinya kakak itu.
Renka mendekat, tatapannya tegas. "Ren, aku tahu kau marah, bingung, atau apa pun itu. Tapi aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja ke tempat berbahaya tanpa penjelasan."
Tutu, yang berdiri di belakang Renka, ikut angkat bicara. "Renka, dia jelas-jelas tidak ingin ikut. Lagipula, kita masih punya waktu untuk mengungkap rencana ketua klan Naga Badai."
Mendengar nama ketua klan disebut, Ren jadi lumayan penasaran.
Renka menatap kedua rekannya dengan pandangan tajam. "Aku tidak peduli apa yang kalian pikirkan. Dia adalah adikku, dan aku bertanggung jawab atasnya. Kalau ada yang mencoba menyakitinya, kalian harus berhadapan denganku dulu."
Namun, Tutu tidak menyerah. "Tapi sebagai ketua tim, kau juga bertanggung jawab atas keberhasilan misi. Ayo kita kembali dan menunggu, siapa tahu ada buah persik yang kedua."
Renka kemudian menoleh ke Ren, wajahnya sedikit melunak. "Aku tahu kau ingin pergi. Aku tidak akan memaksamu tinggal... untuk sekarang. Tapi aku akan tetap memastikan kau selamat. Itu tanggung jawabku sebagai kakakmu."
Ren tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, lebih karena ingin mengakhiri situasi canggung ini daripada karena ia setuju sepenuhnya.
Dengan itu, Ren akhirnya melangkah menjauh bersama Zenin, Yukio, dan Ten Ten, yang hanya bisa memandang Renka dengan campuran rasa heran dan frustasi.
Ren mendesah dalam hati. Kenapa ini semua jadi lebih rumit dari yang kupikirkan?
Namun, ia tidak bisa mengabaikan satu hal—tatapan penuh kasih yang Renka berikan padanya sebelum mereka berpisah. Meski ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya sebuah kebetulan, di dalam hatinya, ia merasa sedikit... terlindungi.