NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 07

Sartika menghela napas berat, mencoba menenangkan dirinya meskipun kepalanya terasa berputar. Ancaman Sri bergema di telinganya. Demi anaknya, ia harus bertahan, berpikir jernih, dan mencari cara untuk keluar dari neraka ini.

Para wanita lain sudah dibawa ke ruangan berbeda. Sartika masih berdiri di tempatnya, terdiam, sampai salah satu pria berbadan kekar menepuk bahunya dengan kasar.

"Jangan lama-lama. Masuk ke dalam."

Sartika menggigit bibirnya, matanya menatap pintu di depannya, ruangan tempat ia akan dikurung. Dengan langkah ragu, ia berjalan masuk. Pintu itu langsung ditutup dan dikunci dari luar.

Ruangan itu kecil, dengan pencahayaan temaram. Di sudutnya ada meja rias dan tempat tidur dengan seprai merah mencolok. Sartika merasa perutnya mual hanya dengan melihatnya.

Ia menatap cermin di depannya. Wajahnya tampak asing. Mata yang biasanya penuh harapan kini redup dan dipenuhi kekuatan. Tubuhnya berbalut pakaiannya yang bukan miliknya, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan ia kenakan.

Air mata menggenang di sudah matanya, tapi ia menahannya. Tidak. Ia tidak bisa menangis sekarang.

Sartika menatap sekeliling, mencari celah untuk kabur. Jendela? Tidak ada. Hanya ventilasi kecil di atas, tidak cukup untuk keluar.

Lalu, ia mendengar suara langkah kaki mendekat.

Jantungnya berdegup kencang.

Seseorang akan masuk.

Tidak!

Sartika segera bergerak, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa ia gunakan sebagai senjata. Pandangannya jatuh pada vas bunga kecil di meja rias. Ia meraihnya dengan cepat, menggenggamnya erat.

Kunci berputar di gagang pintu.

Ketika pintu terbuka, seorang pria asing masuk, senyum miring terukir di wajahnya. Ia menutup pintu di belakangnya dengan santai, lalu menatap Sartika dari atas ke bawah.

"Manis sekali," gumamnya sambil mendekat.

Sartika mundur selangkah, jari-jarinya mencengkeram vas dengan lebih kuat.

Pria itu tertawa kecil. "Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu... kalau kau menurut."

Saat pria itu semakin dekat. Sartika tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Dengan seluruh kekuatan yang ia miliki, ia mengayunkan vas itu ke kepala pria tersebut.

Prang!

Pecahan kaca berhamburan, darah mengalir dari pelipis pria itu. Ia mengerang kesakitan dan tersungkur ke lantai.

Tanpa membuang waktu, Sartika berlari ke pintu, mencoba membukanya, terkunci!

Panik menyerangnya. Ia membalikkan badan, melihat pria itu merintih, berusaha bangkit. Sartika mengambil pecahan kaca yang cukup besar dan menggenggamnya erat.

Jika ia harus bertarung, ia akan bertarung.

Ia tidak akan membiarkan hidupnya berakhir di tempat ini.

Pria itu mengerang sambil memegang kepalanya yang berdarah. Matanya menyala penuh amarah saat ia mencoba bangkit. "Kau bajingan kecil!" desisnya dengan suara parau.

Sartika mundur beberapa langkah, tangannya gemetar saat menggenggam pecahan kaca. Ia tahu tenaganya tidak akan sebanding dengan pria itu, tapi ia tidak akan menyerah begitu saja.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa dari luar. Seseorang mengetuk pintu dengan keras.

"Pak! Ada apa di dalam?!" suara seorang pria dari luar bertanya.

Sartika menahan napas. Jika orang itu masuk dan melihat keadaan ini, ia tidak akan punya kesempatan lagi untuk melawan.

Pria yang terkena pukulan dengan vas itu berusaha berdiri, wajahnya merah padam karena marah. "Aku akan membunuhmu," geramnya.

Sartika tahu ia hanya punya beberapa detik sebelum semuanya berakhir. Ia melihat ke sekeliling dengan cepat, mencari sesuatu yang bisa membantunya.

Lalu matanya tertuju pada meja rias.

Tanpa pikir panjang, ia meraih kursi kecil di depannya dan melemparkannya ke arah jendela ventilasi di atas.

Kraak!

Ventilasi itu pecah, menciptakan celah kecil.

Sartika tak membuang waktu. Ia berlari, menaiki meja rias, dan mencoba meraih celah tersebut. Ia tahu tubuhnya mungkin tidak akan muat sepenuhnya, tapi setidaknya ia bisa mencoba.

Dari belakang, pria itu menyadari niatnya. "Berhenti!" Ia mengulurkan tangan untuk menarik kaki Sartika.

Sartika menjerit, menendang sekuat tenaga, mengenai wajah pria itu hingga ia terjatuh ke belakang.

Pintu tiba-tiba terbuka dengan kasar.

Seorang pria bertubuh besar berdiri di ambang pintu, matanya terbelalak melihat kekacauan di dalam ruangan. "Apa yang terjadi di sini?"

Sartika tidak peduli. Dengan sisa tenaga, ia memanjat lebih tinggi, mencoba melewati celah ventilasi itu.

Namun sebelum ia berhasil keluar, tangan kekar mencengkeram pergelangan kakinya dengan kuat, menariknya kembali ke bawah.

Sartika menjerit, mencakar dan menendang, tetapi cengkeraman itu terlalu kuat.

Ia jatuh ke lantai dengan keras.

Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar ketakutan saat pria bertubuh besar itu menatapnya dengan dingin.

"Kau membuat kekacauan besar, ini?" katanya, suaranya terdengar mengancam.

Sartika tahu, jika ia tidak segera melakukan sesuatu, harapannya untuk kabur akan benar-benar sirna.

Sartika berusaha merangkak mundur, tubuhnya gemetar hebat. Napasnya terengah-engah, dan keringat dingin membasahi pelipisnya.

Pria bertubuh besar itu melangkah mendekat, matanya tajam mengawasi Sartika yang masih terjatuh di lantai. "Kau pikir bisa lari ke mana, hah?" suaranya rendah namun penuh ancaman.

Pria yang sebelumnya dipukul Sartika dengan vas kini telah bangkit kembali. Wajahnya penuh amarah, darah masih menetes dari dahinya. "Perempuan ini harus diajarin pelajaran. Berani-beraninya melawan!"

Sartika menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari jalan keluar. Ia tahu bahwa jika ia tidak melakukan sesuatu sekarang, ia mungkin tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini.

Di luar, suara musik dari klub malam itu masih berdentum, bercampur dengan tawa dan sorakan para pengunjung. Tidak ada yang tahu bahwa di dalam ruangan ini, seorang wanita sedang berjuang untuk kebebasannya.

Sri tiba-tiba muncul di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada Sartika. Wanita itu melipat tangan di dadanya, wajahnya masih dengan ekspresi tenang seperti biasa, tetapi kali ini ada sedikit kekesalan di dalamnya.

"Apa yang kau lakukan, Tik?" tanya Sri dengan nada penuh sindiran.

"Aku sudah memberimu kesempatan untuk menerima ini dengan baik, tapi kau malah berbuat onar."

Sartika menatap Sri dengan mata penuh kebencian. "Kau menipuku! Kau bilang aku akan bekerja di luar negeri, bukan dijual seperti ini!"

Sri menghela napas, seolah lelah mendengar tuduhan itu. "Kau naif sekali, Tik. Dunia ini tidak seindah yang kau pikirkan. Aku hanya memberikanmu jalan untuk bertahan hidup. Lagipula, kau pikir siapa yang akan menolongmu sekarang?"

Sartika menggigit bibirnya, matanya mencari jalan keluar. Namun, dengan dua pria kekar yang berdiri di dekatnya dan Sri yang tampaknya mengendalikan situasi, peluangnya semakin kecil.

Pria yang kepalanya berdarah melangkah maju, menarik rambut Sartika dengan kasar hingga ia meringis kesakitan. "Kita nggak perlu buang waktu lagi. Bawa dia ke kamar belakang. Pastikan dia paham tempatnya di sini," katanya dengan nada mengancam.

Jantung Sartika berdegup kencang. Ia menjerit, meronta, mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman pria itu terlalu kuat.

"Tolong! Jangan! Aku mohon!" teriaknya panik.

Namun tidak ada yang peduli.

Dengan paksa, pria itu menarik Sartika menuju pintu lain di dalam ruangan itu, tempat yang lebih gelap dan tersembunyi.

Sartika menggigil ketakutan. Ia tahu, jika ia melewati pintu itu, semuanya akan berakhir.

Sartika mengumpulkan keberanian, pikirannya berpacu mencari celah. Dalam sekejap, ia merasakan kuku-kukunya mencengkeram tangan pria yang menariknya. Dengan sekuat tenaga, ia menggigit lengan pria itu.

"Aaarggh!" pria itu menjerit kesakitan, cengkeramannya melemah sesaat. Sartika tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menghentakkan kakinya ke lantai, mendorong tubuhnya ke belakang, lalu menyikut perut pria itu sekuat tenaga.

Brakk!

Pria itu terhuyung, mengumpat kasar. Sartika berbalik, berlari menuju pintu keluar ruangan. Ia mendengar suara Sri berteriak, "Tangkap dia! Jangan biarkan dia kabur!"

Namun Sartika tidak peduli. Adrenalin memenuhi tubuhnya. Ia berlari melewati lorong gelap, melewati ruangan-ruangan lain yang berisi perempuan-perempuan lain yang tampak pasrah dengan nasib mereka.

Beberapa wanita menatapnya dengan mata penuh ketakutan, beberapa bahkan menggelengkan kepala seolah mengatakan bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan. Tapi Sartika tidak mau menyerah.

Dari belakang, suara langkah kaki berat mendekat. Sartika tahu mereka mengejarnya.

Pikirannya berputar. Ia harus menemukan jalan keluar.

Di ujung lorong, ada pintu kecil yang tampaknya mengarah ke luar. Sartika meraih gagangnya, mencoba membukanya, terkunci!

"Sial!" desisnya.

Ia menoleh, melihat bayangan pria-pria kekar itu semakin dekat.

Tidak ada pilihan lain. Sartika meraba-raba sekeliling, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan. Di dekatnya, ada tabung pemadam kebakaran yang terpasang di dinding.

Dengan cepat, ia meraihnya, mengangkatnya dengan susah payah. Begitu salah satu pria mendekat, Sartika mengayunkannya dengan sekuat tenaga.

Brakkk!

Tabung itu menghantam kepala pria itu. Ia terjatuh dengan erangan kesakitan.

Namun, yang lain masih mengejar.

Sartika mengambil tabung itu lagi, lalu dengan putus asa, ia membantingnya ke kaca jendela yang ada di dekatnya.

Kraakkk!

Kaca itu pecah berkeping-keping. Angin malam segera masuk melalui celah itu.

Tanpa berpikir panjang, Sartika memanjat jendela, merasakan pecahan kaca melukai telapak tangannya. Tapi ia tidak peduli.

Di luar, udara dingin menyambutnya. Ia berada di gang belakang gedung, tempat sampah berserakan, bau busuk menusuk hidung.

Dari dalam, terdengar suara Sri yang murka, "Cari dia! Jangan biarkan dia pergi!"

Sartika berlari. Ia tidak tahu ke mana, ia hanya tahu bahwa ia harus menjauh dari tempat itu.

Dengan tangan berdarah dan tubuh yang lelah, ia berlari menyusuri jalan sempit, berharap ada seseorang yang bisa menolongnya, sebelum semuanya terlambat.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!