Kisah kali ini bergenre fantasy lokal, Ini bukan Milky way 4, ini adalah perjalan seorang Resi yang mereka sebut sebagai Maha Guru di cerita Milky Way
ini awal mula sebuah kisah Milky Way. Perjalanan Seorang Resi bernama Mpu Bharada untuk menemukan tanah impian. sebuah tempat dimana dia bisa mendirikan sebuah kebahagiaan dan kedamaian.
Seharusnya ini menjadi flashback tiap episode Milky Way. tetapi karena cerita Milky Way akan berkembang ke arah dataran legenda yang mereka sebut sebagai negara tersembunyi, dan juga Milky Way 4 nanti menceritakan tentang kelahiran kembali Mpu Bharada di era modern, maka saya putuskan untuk membawa kisah perjalanan sang Resi dalam bentuk cerita utuh.
note : cerita ini adalah awal mula. jadi tidak perlu baca Milky Way seri Vallena dulu
untuk nama tokoh, mungkin tidak terdengar asing, sebab saya mengambil nama tokoh tokoh terkenal, mitos mitos dalam sejarah jawa kuno beserta ilmu ilmu kanuragan pada masa lampau
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovely, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raungan Buto Ijo yang Menggetarkan Desa
Saat Mpu Bharada meneguk seteguk air dari cawan yang diberikan oleh wanita tua, suara yang menggetarkan tiba-tiba terdengar. Raungan panjang dan dalam, seperti auman seekor binatang buas yang bergema di seluruh desa, membuat tanah bergetar dan udara terasa semakin berat. Suara itu tidak hanya keras, tetapi juga membawa perasaan dingin yang menusuk tulang.
Penduduk desa yang sudah terbiasa dengan teror ini segera bereaksi. Mereka berlari terburu-buru ke dalam rumah mereka yang rapuh, mengunci pintu dan menutup jendela dengan papan kayu yang nyaris tak berfungsi. Tidak ada yang berani menatap keluar, tetapi ketakutan terpancar dari wajah-wajah mereka yang pucat dan basah oleh keringat dingin.
Seorang pria tua terduduk di sudut rumahnya, menggenggam rosario tua sambil berdoa dengan suara bergetar. Anak-anak kecil menangis di pelukan ibu mereka, yang berusaha menenangkan dengan bisikan penuh kecemasan. Meski tahu bahwa dinding kayu rumah mereka tidak akan melindungi mereka dari bahaya yang mengintai, mereka tidak memiliki pilihan lain selain bersembunyi.
“Dia datang lagi…” terdengar bisikan seorang wanita dari balik pintu yang tertutup dengan gemetaran.
Di luar rumah-rumah itu, hanya wanita tua yang tetap berdiri di dekat Mpu Bharada. Wajahnya yang keriput tidak menunjukkan rasa takut, tetapi justru keputusasaan yang dalam. Ia menatap ke arah kabut tebal yang mulai melayang di tengah desa, tempat asal suara raungan mengerikan itu.
“Sudah cukup…” gumamnya dengan nada lembut, tetapi penuh luka.
Ia mulai berjalan perlahan, langkah-langkahnya gemetar tetapi penuh tekad. Mulutnya mulai melantunkan lagu-lagu Jawa kuno, suaranya serak tetapi masih mampu membawa melodi yang melintasi usia. Lagu itu bukan nyanyian untuk keberanian, melainkan nyanyian pengantar jiwa. Sebuah perpisahan terakhir.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Mpu Bharada dengan nada tajam, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk segera menghentikannya.
Wanita tua itu berhenti sejenak, tanpa menoleh ke arah Mpu Bharada dengan senyum kecil.
“Aku lelah hidup dalam ketakutan,” katanya pelan. “Lebih baik aku menyerahkan diriku… daripada terus hidup dalam kegelapan ini.”
Saat wanita tua itu mendekati kabut, Mpu Bharada merasakan hawa dingin yang luar biasa menyelimutinya. Kabut tebal yang menutupi sebagian desa mulai bergerak, seperti bernapas perlahan, membawa aroma busuk yang menusuk. Dari dalam kabut, dua titik merah menyala tiba-tiba muncul, seperti bara api yang menatap langsung ke jiwa.
Mata itu. Sepasang mata merah besar yang penuh kebencian dan kekejaman. Mpu Bharada segera memahami bahwa mata itu bukan milik makhluk biasa. Setiap tatapan dari mata itu membawa tekanan yang luar biasa, seperti menekan seluruh desa dengan beban yang tidak terlihat.
“Berhenti!” seru Mpu Bharada kepada sang wanita tua.
Wanita itu tidak peduli. Ia terus berjalan mendekat, nyanyiannya semakin pelan tetapi tetap terdengar di tengah keheningan mencekam.
Perlahan, dari balik kabut, sosok besar mulai terlihat. Buto Ijo.
Saat kabut mulai memudar, Mpu Bharada akhirnya bisa melihat makhluk itu dengan jelas. Tubuhnya begitu besar, setara dengan bukit kecil. Kulitnya berwarna hijau tua, kasar dan penuh retakan seperti kulit kayu yang tua. Otot-ototnya besar dan menonjol, menandakan kekuatan luar biasa yang mampu menghancurkan apa pun di jalannya. Setiap gerakannya menciptakan bunyi gemuruh, seperti tanah yang berguncang.
Wajah Buto Ijo adalah pemandangan paling menyeramkan. Matanya besar, merah menyala seperti bara api. Mulutnya dipenuhi taring-taring tajam yang mencuat keluar, dengan air liur yang menetes dan berasap saat menyentuh tanah. Hidungnya besar, dengan lubang yang tampak seperti gua, menghembuskan napas berat yang terdengar seperti gemuruh angin topan.
Ketika ia bergerak, pohon-pohon di sekitar desa bergoyang hebat, beberapa bahkan tumbang karena getaran langkahnya. Setiap jejak kakinya meninggalkan cekungan besar di tanah, dan hawa dingin yang mengelilinginya semakin menusuk hingga membuat tubuh terasa membeku.
Wanita tua itu kini hanya berjarak beberapa langkah dari makhluk itu. Buto Ijo menatapnya dengan senyum mengerikan, menampakkan taring-taringnya yang bersiap mengunyah. Wanita itu berhenti, menengadah ke arahnya, masih dengan senyum kecil di wajahnya yang keriput. Ia tidak takut lagi, ia hanya ingin mengakhiri penderitaannya.
Mpu Bharada yang masih berdiri jauh hanya bisa tertegun, tubuhnya terasa berat oleh kelemahannya dan keterkejutan yang mengguncang batinnya.
“Makhluk ini bukan sekadar raksasa biasa,” pikirnya. “Ia adalah simbol kebencian, lahir dari penderitaan dan ketakutan para penduduk desa.”
Meskipun tubuhnya lemah dan kanuragannya terkunci, Mpu Bharada tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan wanita itu menjadi korban makhluk mengerikan ini. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia mencoba bergerak, tetapi tubuhnya hampir tidak merespons.
“Kembali!” teriak Mpu Bharada, suaranya penuh dengan keputusasaan. Tetapi wanita itu tidak mendengar, atau mungkin memilih untuk tidak peduli. Ia terus mendekat, hingga hanya berjarak beberapa langkah dari Buto Ijo.
Buto Ijo menggeram pelan, suaranya seperti gemuruh petir yang jauh. Ia membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya yang besar ke wanita tua itu. Nafasnya yang busuk menerpa wanita tersebut, tetapi wanita itu tetap berdiri tegak, menatap langsung ke mata merah makhluk itu.
Saat itu, Mpu Bharada merasakan sesuatu dalam dirinya, sebuah dorongan yang memaksa dirinya untuk bertindak, meskipun tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya.
“Aku harus menghentikan ini,” pikirnya. “Tidak peduli seberapa lemah aku sekarang, aku tidak bisa membiarkan kebencian ini memakan lebih banyak jiwa.”
Dengan langkah perlahan, Mpu Bharada mulai berjalan menuju Buto Ijo, meskipun ia tahu bahwa pertemuan ini bisa menjadi pertempuran yang ia tidak siap untuk menangkan. Tetapi ia juga tahu, dalam hati yang paling dalam, bahwa ia adalah satu-satunya harapan desa ini.
tapi untuk penulisan udah lebih bagus. deskripsi lingkungan juga udah meningkat 👍