Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12 Jatuh Dari Angan
Cecil, sekretaris setia Auriga semakin tidak bisa menahan rasa penasaran. Siapa wanita ini? Kenapa dia selalu ada di dekat bosnya belakangan ini? Apalagi sekarang, mereka bahkan harus mengantarkan wanita itu ke kamar penginapan untuk istirahat padahal jadwal mereka padat sekali.
Meski penuh tanya, Cecil tetap bersikap sopan, duduk di kursi depan, sementara Auriga dan Abel duduk di belakang.
Dari kaca spion, Cecil melirik ke arah Abel yang bersandar di sisi jendela, tampak lemas dengan mata terpejam. Namun, yang lebih menarik perhatian Cecil adalah Auriga, yang sesekali melirik ke arah wanita itu dengan ekspresi tak terbaca.
Sampai tiba-tiba ponsel Cecil berbunyi mengudarakan nada pesan berkali-kali, ia lalu melihat ke belakang, "Pak Riga, Pak Sanders sudah sampai," kata Cecil, memecah keheningan.
Auriga mengangguk kecil. "Baik, kita langsung ke sana. Setelah Ana turun."
Mobil pun berhenti di lobi hotel. Abel membuka matanya perlahan, menyesuaikan diri seolah benar-benar baru bangun dari tidur panjang.
"Terima kasih, Mas, Maaf merepotkan." ucapnya pelan, menatap Auriga saat hendak turun.
Panggilan "mas" oleh Ana kepada Auriga membuat Cecil semakin shock dalam hati tapi dia mencoba tetap tenang menyembunyikan segalanya. Apakah bosnya sudah move on dari Sahara mantannya?
Auriga lalu menatap pada Abel. "Kamu bisa jalan sendiri?"
"Pak, biar saya antar," tawar Cecil, dengan senyum ramahnya seperti biasa.
Auriga mengangguk, tapi kemudian, mendadak dia berubah pikiran. Saat Cecil turun untuk membantu Abel, Auriga dengan suara tegas berkata, "Cecil, kembali ke mobil. Saya yang akan antarkan dia."
Cecil sedikit terkejut, tapi tak berani membantah. "Ba-baik, Pak," jawabnya, melirik Abel sejenak sebelum kembali ke tempatnya.
Abel yang sedang memeluk tasnya hampir saja loncat kegirangan. Astaga! Dia turun! Auriga sendiri yang mau antar gue! Ini keajaiban okay anggap aja hadiah ulang tahun gue dari semesta.
Namun Abel tetap mempertahankan ekspresi lemah dan tenangnya.
"Pak, saya bisa sendiri kok," ucap Abel pelan, mencoba basa-basi.
"Jalan," balas Auriga singkat, suaranya seperti perintah.
Abel pun melangkah pelan menuju pintu masuk hotel, dengan Auriga mengikuti dari belakang.
Astaga, astagaaaa! batinnya berteriak penuh bahagia. Haruskah aku pura-pura oleng biar dia gendong? Wah, ide bagus! Tapi... jangan lebay Abel. Kalau terlalu dramatis, lo bukan di gendong tapi bisa dilempar ke ambulan dan langsung mendarat di UGD.
Abel menahan tawa kecil yang hampir keluar. Dengan hati berdebar, ia terus melangkah, sementara Auriga tetap berada beberapa langkah di belakang, memastikan wanita itu sampai dengan selamat ke kamarnya.
Sesampainya di kamar, Abel terus diam, memerankan sosok polos yang seolah-olah butuh perhatian dan bantuan. Padahal, di dalam hatinya, ia tertawa bahagia karena mendapatkan momen spesial bersama Auriga.
Kamar itu adalah salah satu kamar terbaik di hotel itu, dengan jendela besar yang menghadap langsung ke pemandangan kota dan kamar yang identik dengan kemewahan. Auriga, tentu saja, memilihkan kamar yang layak untuk dirinya sendiri.
Auriga masuk lebih dulu, diikuti Abel yang masih pura-pura lamban, seakan tak tahu apa-apa. Ia melihat Auriga menyalakan lampu, memeriksa ruangan, dan mulai berbicara dengan nada serius seperti biasa. “Pesan makan lewat telepon, di meja itu ada daftar kontaknya. Kalau butuh sesuatu, hubungi resepsionis.”
Abel hanya mengangguk pelan, berpura-pura bingung.
Auriga mendekat, suaranya terdengar lebih tegas. “Mana ponselmu?”
Abel terdiam, seolah tidak tahu apa yang harus dilakukan, lalu dengan ragu Abel menyerahkan ponselnya. Auriga mengambilnya tanpa basa-basi, memeriksa sebentar, dan berkata, “Kalau ada apa-apa, hubungi Cecil.”
Namun, tanpa diduga dan tidak sepengetahuan Abel Auriga malah memasukkan nomor kontaknya sendiri ke dalam ponsel Abel.
Saat ini jantung Abel berdegup kencang. Auriga berdiri sangat dekat seakan tanpa batasan asing, suaranya yang rendah terasa begitu akrab dengannya. Apa lagi aroma parfumnya jelas sekali tercium.
“Jaga diri baik-baik,” kata Auriga akhirnya, sambil menyerahkan kembali ponsel itu.
"I-iya mas."
Setelah memastikan semuanya aman dan nyaman untuk Abel, ia beranjak pergi tanpa menoleh lagi.
Saat pintu tertutup dan suara langkah Auriga menghilang di lorong, Abel tak bisa lagi menahan diri. Ia melompat-lompat kecil di tempat.
“Oh my God! Oh my God! OMGGG!!!” teriaknya pelan, menekan mulutnya agar tak bersuara terlalu keras.
Ia berputar-putar di dalam kamar, memegang ponsel dengan erat. “Ini mimpi atau apa Tuhan?! Auriga sedekat itu denganku! Aaaaah!”
Abel akhirnya jatuh terduduk di tepi ranjang, menutup wajah dengan kedua tangannya. Malu, senang, dan tak percaya semuanya terjadi begitu cepat.
***
Di tempat lain Auriga melangkah keluar dari mobil hitamnya dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas abu-abu yang rapi dengan dasi gelap yang memberikan kesan profesional dan menawan.
Sepatu kulitnya memantulkan sinar matahari pagi, menambah kesan berwibawa saat ia menuju lokasi proyek infrastruktur besar. Di sekelilingnya, crane menjulang tinggi, truk-truk konstruksi berlalu lalang, dan para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing.
Dia berkala ke area pertemuan, tampak meja panjang yang dikelilingi oleh pria-pria bule dengan penampilan formal. Mereka berasal dari berbagai negara, membawa portofolio dan proposal. Beberapa mengenakan jas, sementara yang lain memakai pakaian bisnis kasual. Auriga duduk di salah satu kursi utama, lalu membuka laptopnya dan memulai presentasi. Ia berbicara dengan fasih dalam bahasa Inggris, sesekali berganti ke bahasa Prancis dan sedikit Mandarin, tergantung pada lawan bicaranya. Nada suaranya formal namun tetap friendly, menunjukkan keahliannya dalam bernegosiasi.
“A comprehensive approach to resource management will be crucial for maximizing luput while minimizing cost,” ucapnya dengan percaya diri, membuat para eksekutif mengangguk setuju.
Salah satu pria bule dengan rambut pirang membalas dalam aksen Inggris yang kental, “Your analysis is quite compelling, Mr. Auriga. However, how do you plan to manage the environmental challenges?”
Auriga menjawab dengan senyuman tipis, mengeluarkan dokumen dari mapnya. “We’ve already partnered with sustainable development experts to ensure all processes comply with international green standards.” Jawabannya membuat ruang diskusi dipenuhi gumaman persetujuan.
Setelah pertemuan berakhir, Auriga memimpin tur ke area proyek bersama para tamu. Ia menjelaskan detail teknis, menunjukkan peta infrastruktur, dan memberikan solusi strategis pada setiap pertanyaan yang diajukan.
Wibawanya memancar, membuat semua mata tertuju padanya, meskipun ia dikelilingi oleh pria-pria asing dengan posisi dan reputasi yang tak kalah tinggi.
Auriga tak hanya seorang pemimpin di sana tapi dia juga adalah pusat perhatian yang mengendalikan arah diskusi dengan cerdas, sekaligus menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang layak untuk diandalkan dalam proyek besar ini.
***
Di tempat lain Abel terbangun setelah tidur selama hampir dua jam. Ia menguap pelan, lalu bangkit dan berjalan ke balkon kamar hotel.
“Udah siang banget, ya...” Katanya disana.
Udara segar menyambutnya, pemandangan kota terlihat jelas dari ketinggian lantai tempat ia menginap.
Abel tidak tahu harus melakukan apa, dia lalu mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Ode. Hatinya di selimuti rindu, terutama setelah beberapa hari jauh dari rumah.
“Odeee... kangen,” ucap Abel manja.
Dari seberang sana, terdengar tawa kecil sebelum akhirnya Ode menyahut, “Bocil sakjiw! Akhirnya ko muncul ke permukaan.”
Abel tertawa kecil, “Ode, lo harus tahu! Lo harus tau!” Abel segera melanjutkan, menceritakan pengalamannya bersama keluarga Auriga.
Ia bercerita tentang betapa sibuknya ia membantu Oma dan betapa melelahkan semuanya secara panjang lebar.
“Good job bociiiiiiiil,” komentar Ode. “Akhirnya lo belajar banyak hal. Enggak Cuma jadi si manja aja di rumah.”
Abel tersenyum miris. “Tapi Ode, gue kangen Papa...”
Di seberang sana, Ode menghela napas pelan. “Papa juga yang pasti. Kemarin baru balik dari Vietnam, Biasanya kalo balik dari mana-mana kan langsung ke kamar lo, apalagi saat anaknya birthday. Tapi lo enggak ada, jadi dia Cuma meluk anak-anak bulu lo di sofa, ucapin birthday.”
Mata Abel mulai berkaca-kaca mendengar cerita Ode. Ia merasa bersalah sekaligus rindu. “Ode, lo nyebelin!” gumamnya, suaranya serak oleh air mata yang mulai meluncur pelan di pipinya. “Jagain Papa, ya. Janji gue enggak bakal lama.”
“Ya kapan, Bel? Lo ngomong sebentar, tapi ini udah beberapa hari. Harus ada kepastian dong,” jawab Ode dengan nada tegas.
“Sebentar lagi, Ode. Please sabar, ya...” Abel mencoba meyakinkan, tapi hatinya tahu ia membuat Ode kecewa.
Ode mendesah panjang. “Bel, lo sadar enggak apa tujuan lo sekarang? Kalau lo Cuma mau menarik perhatian dia atau kenal lebih dekat, kan lo udah dapatkan. Apa Lo mau? dia suka sama lo? Jangan terlalu jauh, Bel. Hidup lo masih panjang.”
Kata-kata Ode terasa seperti tamparan bagi Abel. Ia menelan ludah, tak mampu langsung menjawab. “Iya Ode i know... paling enggak akhir bulan ini gue balik,” gumamnya akhirnya, mencoba memberikan kepastian.
“Lama lagi, Abel. Nggak bisa lo harus berangkat secepat mungkin. Abel ini demi masa depan lo!"
“Ode iya gue udah lihat tanggalnya, gue balik sebelum tanggal itu, please...ngertiin gue I love you, Ode...bye!”Abel menutup telepon cepat-cepat, tak ingin Ode terus menguliahi dia dengan ucapan-ucapan tamparannya.
Namun belum sempat ia menghela napas lega, pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Abel terlonjak panik, buru-buru menyembunyikan ponselnya di belakang bantal. Matanya melebar, jantungnya berdegup kencang, berpikir itu adalah Auriga yang datang.
Ternyata yang masuk adalah Cecil, sekretaris Auriga, membawa tas kecil berisi sesuatu. Cecil melirik Abel, mengangkat alis, tetapi tak berkata apa-apa.
Abel menarik napas mencoba memasang wajah tenang, meskipun masih merasa gugup.
“Maaf ganggu, Mbak Ana,” ucap Cecil sopan. “Pak Riga minta anda turun, dia tunggu di bawah, kita segera berangkat ke rumah sakit.”
“Oh... terima kasih, Mbak Cecil,” jawab Abel, mencoba terdengar normal meski detak jantungnya belum kembali seperti biasa.
Cecil tersenyum kecil, “Ini juga ada snack dari pak Riga, saya tunggu di luar.“ Cecil lalu meletakkan tas di meja dekat tempat tidur sebelum pergi, meninggalkan Abel yang kembali duduk di ranjang.
Abel melirik bungkusan yang katanya dari Auriga itu, yakin buat gue? Dengan rasa penasaran Abel pun segera meraih bungkusan itu dan terkejut sebuah kotak kecil Abel pun membukanya.
“Kalung.” Dengan liontin berbentuk bundar lalu belakangnya ada ukiran kecil dalam bahasa asing, seperti bahasa latin bertuliskan -Fortuna favet audaci-
Abel shock kenapa Auriga memberikan dia ini.
Sebuah hadiah? dia suka gue? tidakkah ini terlalu cepat, dia tertarik sama gu2? Ini cepat banget! Enggak! Gue nggak percaya! Ode gue mau pingsan! Gue butuh bahu elo!
“Fortuna favet audaci artinya keberuntungan berpihak pada yang berani.” Tiba-tiba Cecil masuk lagi sambil menjelaskan, dia menatap kalung yang di pegang Abel itu sinis. “Itu hadiah dari rekan bisnis pak Riga dari Prancis, di kasih ke kamu juga ya? Aku juga dapat sih....” Cecil melirik dengan tatapan seperti mengejek. Padahal dia kesal karena dia yang mau benda itu ternyata Riga hanya memberikan dia sebuah kaos saja.
Abel terkejut dengan kemunculan Cecil yang tiba-tiba itu, sambil menjelaskan rasa penasaran Abel seolah-olah menarik Abel turun secara paksa dari angan-angannya.
hayyoo lohhhh bel