Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦱꦼꦩ꧀ꦧꦭꦤ꧀
Aja kagoda ing omongan.
Tentara Belanda, yang pada masa itu berada di bawah kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), mulai merasa cemas dan terdesak. Mereka mendapati bahwa upaya mereka untuk menundukkan dan menguasai tanah kerajaan Mataram, yang terkenal dengan kekuatan dan keteguhannya, semakin menemui jalan buntu. Berita yang mereka terima mengabarkan bahwa para penguasa Mataram sedang bersiap untuk menggulingkan keberadaan mereka dari tanah itu, seiring dengan gelombang perlawanan yang semakin menguat.
Jenderal mereka, William de Graf, yang sebelumnya diharapkan untuk memimpin pasukan Belanda dalam penaklukan tersebut, masih belum juga tiba di Nusantara. Ketiadaannya semakin memperburuk situasi Belanda, mengingat ia adalah harapan satu-satunya untuk membawa kemenangan. Bahkan, jika peperangan dipaksakan untuk dilaksanakan dalam keadaan seperti ini, akan sangat mungkin menjadi sebuah tindakan yang sia-sia, sebab tanpa kepemimpinan yang kuat, pihak Belanda justru akan menderita kekalahan telak.
Keterlambatan Jenderal William de Graf sendiri disebabkan oleh kondisi yang sangat genting di negeri asalnya, Belanda. Negara itu tengah terjerat dalam konflik panjang dengan Spanyol, yang menguras sebagian besar sumber daya dan perhatian mereka. Lebih parah lagi, ayah Jenderal William, Smith Graf, yang merupakan tokoh penting dalam keluarga tersebut, sedang mengalami luka yang sangat serius. Keadaan ini memaksa William untuk tetap berada di Amsterdam untuk mengurus urusan keluarga dan menstabilkan situasi politik dan militer di tanah airnya. Akibatnya, harapan Belanda untuk segera menundukkan kerajaan Mataram semakin suram, dan mereka harus menghadapi kenyataan bahwa kemenangan yang mereka impikan sangat sulit untuk tercapai dalam waktu dekat.
Di tengah ketegangan yang semakin memuncak, para prajurit Belanda yang berada di tanah Nusantara mulai merasakan kekhawatiran yang mendalam. Tanpa pemimpin yang kuat, mereka terperangkap dalam ketidakpastian. Jenderal William de Graf, yang seharusnya memimpin mereka menuju kemenangan, masih terhalang oleh perang yang berkecamuk di Eropa dan keadaan darurat keluarganya. Berita bahwa pasukan Mataram semakin siap untuk menggempur membuat para prajurit itu terperangkap dalam dilema besar. Mereka sadar bahwa bertindak sembarangan bisa berujung pada kehancuran, sementara menunggu tanpa arah jelas hanya memperburuk keadaan. Di tengah kebingungan dan ketakutan ini, mereka hanya bisa berharap kepada kedatangan sang jenderal, meski waktu terus berjalan dengan tak terduga.
"Kau dengar kabar terbaru, teman? Tentara Mataram semakin kuat, dan mereka sudah mendengar bahwa kita akan diusir dari sini. Apa yang akan kita lakukan jika mereka menyerang lebih dulu?"
"Ya, aku sudah mendengar. Ini benar-benar membuat kami semua resah. Kami belum mendapat perintah apa-apa dari Jenderal William de Graf, dan dengan keadaan seperti ini, aku merasa sangat tidak aman. Tanpa dia di sini, siapa yang akan memimpin kita?"
"Memang, Jenderal William de Graf seharusnya sudah datang untuk memimpin pasukan. Tapi, dengan perangnya Belanda melawan Spanyol dan masalah keluarganya, kita hanya bisa menunggu. Saat ini kita berada di sini tanpa arah yang jelas."
"Dan semakin lama kita tinggal di sini, semakin besar kemungkinan Mataram akan menyerang. Aku mendengar pasukan mereka sudah siap. Mereka tak kenal takut, apalagi dengan kabar bahwa mereka bisa mengusir kita dari tanah ini. Kalau kita tetap diam, kita bisa hancur."
"Tapi kita tidak bisa bertindak sembarangan. Tanpa Jenderal William, apa yang bisa kita lakukan? Peperangan saat ini akan menjadi hal yang sangat bodoh. Pasukan Mataram lebih unggul di medan ini, sementara kita terperangkap tanpa dukungan penuh."
"Tunggu... Apakah benar Jenderal de Graf terjebak di Belanda karena konflik dengan Spanyol? Itu berarti kita tak akan mendapat bantuan dari sana dalam waktu dekat, kan?"
"Betul. Jadi kita harus lebih berhati-hati. Mungkin kita bisa mengirim pesan ke Belanda, meminta bantuan segera. Tapi siapa yang bisa diandalkan di sini? Para pemimpin lokal hanya mempergunakan kita sebagai alat, tanpa memberi kita arahan yang jelas."
"Jika kita bertahan lebih lama, kemungkinan besar kita akan terpojok. Aku rasa, kita harus siap dengan segala kemungkinan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika Mataram benar-benar menggempur kita."
"Ya, kita hanya bisa berharap ada perubahan yang cepat. Semoga saja Jenderal William bisa segera datang dan memberi kita solusi."
"Sampai saat itu, kita harus menjaga kekuatan dan kewaspadaan. Kita berada di tanah yang jauh dari rumah, dan saat ini, segala keputusan bisa menentukan nasib kita."
Sementara pasukan Mataram terus memperkuat garis pertahanan mereka, tentara Belanda terjebak dalam ketakutan dan kebingungan. Di bawah terik matahari tropis, mereka merasakan beban berat yang terus meningkat, baik fisik maupun mental. Hari-hari terasa semakin panjang tanpa adanya kabar jelas dari Belanda, dan tanpa Jenderal William de Graf yang mereka harapkan. Para prajurit mulai merasakan bahwa mereka hanya sebuah pion dalam permainan besar, tidak lebih dari sekadar alat yang digunakan untuk tujuan yang lebih tinggi. Namun, meski demikian, mereka tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kegagalan mereka untuk menguasai Mataram akan berimbas besar pada nasib mereka sendiri.
Di dalam kemah-kemah mereka yang sederhana, para prajurit berkumpul dalam perbincangan yang penuh kecemasan. Mereka tahu bahwa Mataram bukanlah kerajaan yang mudah dijinakkan. Pasukan Mataram dikenal dengan keberanian dan semangat juang yang tinggi, dan semakin hari, kekuatan mereka semakin mengancam keberadaan Belanda di Nusantara. Meski demikian, harapan mereka masih terjaga, meski tipis. Jika Jenderal de Graf bisa tiba dengan membawa bantuan, mungkin mereka masih punya kesempatan. Tetapi, ketidakpastian itu tetap menggerogoti mereka setiap saat, karena waktu terus berjalan tanpa kepastian.
"Lihatlah keadaan kita sekarang. Waktu terus berjalan, dan kita masih tidak tahu apa yang akan terjadi. Para pejuang Mataram semakin banyak dan semakin berani. Kita benar-benar terjebak tanpa pemimpin."
"Jenderal de Graf masih terperangkap di Eropa, berurusan dengan perang besar dan masalah keluarga. Kalau kita hanya menunggu, kita bisa saja lenyap. Aku mulai merasa cemas, bahkan takut."
Tentara Belanda yang ditempatkan di Nusantara pada masa itu adalah pasukan yang terdiri dari berbagai lapisan, mulai dari para prajurit yang lebih muda dan kurang berpengalaman, hingga tentara yang lebih tua dan terlatih. Mereka mengenakan seragam standar tentara kolonial Belanda, yang terdiri dari jas biru dengan kancing emas, celana panjang krem, serta topi tinggi yang terbuat dari bahan keras. Beberapa prajurit mengenakan sepatu bot kulit yang sudah tampak aus, sementara yang lainnya hanya mengenakan sandal kayu khas tropis. Di tangan mereka, senjata seperti musket dan pedang panjang tergantung, menunjukkan betapa mereka bergantung pada kekuatan senjata api, meski dalam situasi yang semakin tidak menguntungkan.
Wajah mereka dipenuhi kelelahan dan kekhawatiran. Beberapa prajurit lebih muda terlihat cemas, mencoba untuk menyembunyikan rasa takut mereka, sementara yang lebih tua dan berpengalaman mulai kehilangan kepercayaan pada kemampuan mereka untuk bertahan.