NovelToon NovelToon
ANAK RAHASIA

ANAK RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Hamil di luar nikah
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.

Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?

Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NARASI Episode 07

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Kamala dan Reyna akhirnya tiba di depan sebuah bangunan tua dengan papan kayu bertuliskan.

"Panti Asuhan Harapan Baru"

Bangunan itu tampak sederhana, dengan cat yang mulai pudar dan pagar besi berkarat. Namun, di balik jendela-jendela kecilnya, ada cahaya redup yang masih menyala, pertanda masih ada orang di dalam.

Kamala menggandeng Reyna erat, menahan napas sebelum mengetuk pintu. Hatinya dipenuhi harapan sekaligus ketakutan.

Seorang wanita paruh baya membuka pintu. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya penuh kewaspadaan. "Malam-malam begini, ada keperluan apa?"

Kamala menelan ludah. "Saya mencari Sinta. Apa dia masih bekerja di sini?"

Wanita itu mengernyit. "Sinta?" Ia menggeleng pelan. "Dia sudah tidak di sini lagi. Sudah hampir setahun dia pindah."

Dunia Kamala seakan runtuh seketika. Harapannya hancur dalam satu kalimat singkat.

Reyna menatapnya bingung. "Ibu, kita nggak bisa tinggal di sini?"

Kamala menunduk, tak tahu harus berkata apa.

Wanita itu memperhatikan mereka beberapa saat, lalu mendesah. "Kalian butuh tempat menginap?"

Kamala ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Hanya untuk malam ini, Bu. Besok saya akan cari tempat lain."

Wanita itu terdiam sejenak, lalu membuka pintu lebih lebar. "Masuklah. Tapi kalian hanya bisa tinggal sementara. Panti ini sudah penuh, dan saya tidak bisa menerima lebih banyak orang."

Kamala mengangguk cepat, bersyukur masih ada sedikit kebaikan di dunia ini.

Ia dan Reyna akhirnya melangkah masuk ke dalam panti asuhan yang hangat meskipun sederhana.

Ruangan utama dipenuhi dengan kasur lipat, rak buku tua, dan beberapa anak kecil yang sudah tertidur di sudut-sudut ruangan. Aroma kayu dan makanan sisa memenuhi udara.

Wanita paruh baya itu menghela napas, lalu menunjuk ke sebuah sudut ruangan yang kosong. "Kalian bisa tidur di sana malam ini. Tapi besok pagi, kalian harus pergi."

Kamala mengangguk cepat. "Terima kasih, Bu."

Wanita itu tidak berkata apa-apa lagi dan berjalan pergi, meninggalkan Kamala dan Reyna untuk beristirahat.

Kamala membantu Reyna berbaring di atas tikar tipis yang tersedia. Gadis kecil itu sudah terlihat mengantuk. "Ibu, besok kita mau ke mana?" tanyanya dengan suara mengantuk.

Kamala menatap langit-langit, mencoba menyusun rencana, tetapi tidak ada jawaban pasti dalam pikirannya. "Kita cari tempat yang lebih baik, ibu janji."

Reyna tersenyum kecil sebelum akhirnya terlelap.

Namun, Kamala tidak bisa tidur. Ia masih memikirkan nasib mereka besok. Hidup di jalanan bukan pilihan yang bisa ia terima lagi, tapi ia juga tidak punya tempat tujuan.

Pikiran itu terus mengganggunya sampai akhirnya ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Kamala menoleh dan melihat wanita paruh baya tadi berdiri tidak jauh darinya.

Wanita itu menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Aku tahu kau butuh tempat berteduh lebih dari satu malam."

Kamala menegang, tidak tahu harus merespons apa.

Wanita itu melanjutkan, "Aku tidak bisa memberimu tempat di sini, tapi ada seseorang yang mungkin bisa membantumu. Seorang kenalan lama yang sering membantu orang-orang sepertimu."

Harapan kecil tumbuh di dada Kamala. "Siapa dia?"

Wanita itu menatapnya tajam sebelum menjawab, "Namanya Pak Jaya. Dia punya warung kecil di pinggir kota dan sering menampung orang-orang yang kesulitan."

Kamala mencatat nama itu dalam pikirannya. Ini mungkin kesempatan mereka untuk keluar dari keadaan ini.

"Tapi ingat," wanita itu menambahkan, suaranya penuh peringatan, "kehidupan tidak pernah gratis. Selalu ada harga yang harus dibayar, entah dengan kerja keras atau sesuatu yang lebih sulit."

Kamala mengangguk. Ia tahu hidup tidak pernah murah.

Besok pagi, mereka akan mencari Pak Jaya. Dan Kamala hanya bisa berharap bahwa kali ini, keberuntungan berpihak pada mereka.

******

Pagi-pagi sekali, sebelum anak-anak panti asuhan bangun, Kamala sudah menggandeng tangan Reyna dan keluar dari sana. Udara masih dingin, matahari baru mulai menyinari jalanan sempit yang mereka lalui.

Perutnya kembali kosong, tetapi ia tidak punya pilihan selain terus berjalan. Ia harus menemukan Pak Jaya.

"Bu, kita jauh lagi jalannya?" tanya Reyna, suaranya sedikit serak karena baru bangun tidur.

"Enggak lama lagi, sabar ya," jawab Kamala, meskipun ia sendiri tidak yakin ke mana harus pergi.

Mereka menyusuri jalanan kota yang mulai ramai. Orang-orang bergegas pergi bekerja, pedagang membuka lapak, dan aroma makanan dari warung-warung kecil menggoda perut kosong mereka.

Kamala bertanya ke beberapa orang tentang Pak Jaya. Kebanyakan menggeleng tidak tahu, hingga akhirnya seorang pria tua yang sedang menyapu depan toko memberinya petunjuk.

"Pak Jaya? Oh, warung kecil di dekat terminal, ya?" katanya sambil menunjuk ke arah selatan. "Jalan kaki sekitar sepuluh menit dari sini."

Kamala mengucapkan terima kasih dan segera menarik Reyna melanjutkan perjalanan.

Saat mereka tiba di dekat terminal, Kamala melihat warung sederhana dengan papan kayu yang bertuliskan "Warung Jaya - Makan Hemat, Kenyang Bersahabat." Warung itu terlihat biasa saja, hanya ada beberapa bangku panjang dan meja kayu yang usang.

Seorang pria tua duduk di belakang meja kasir, menghitung uang receh. Rambutnya sudah banyak beruban, tetapi tubuhnya masih tegap.

Kamala ragu sejenak, lalu melangkah mendekat. "Permisi, Pak... Apa benar ini warung Pak Jaya?"

Pria itu mengangkat kepala, menatap Kamala dan Reyna dari atas ke bawah. Matanya tajam, tapi tidak terlihat menghakimi.

"Benar," jawabnya singkat. "Kamu siapa?"

Kamala menelan ludah. "Saya Kamala, Pak. Saya dan anak saya... butuh tempat berteduh. Ada yang bilang Bapak bisa membantu."

Pak Jaya menghela napas pelan, lalu mengusap dagunya. "Siapa yang bilang begitu?"

"Seorang ibu di panti asuhan," jawab Kamala.

Pak Jaya terdiam sebentar, lalu berdiri dan berjalan ke dalam warung. "Tunggu di sini," katanya tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Kamala menunggu dengan gelisah, sesekali melirik Reyna yang sudah terlihat sangat lelah.

Tak lama kemudian, Pak Jaya kembali dengan membawa dua piring nasi dan lauk sederhana. "Makan dulu," katanya, meletakkan makanan di depan mereka.

Mata Reyna berbinar. "Boleh, Bu?" bisiknya.

Kamala mengangguk, lalu membantu Reyna makan sebelum akhirnya ia sendiri menyuap nasi itu dengan lahap.

Saat mereka hampir selesai makan, Pak Jaya duduk di depan mereka dan menatap Kamala serius. "Kamu butuh tempat tinggal?" tanyanya.

Kamala menegakkan punggung. "Iya, Pak. Saya mau kerja juga kalau bisa. Asal saya dan anak saya bisa bertahan."

Pak Jaya menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapnya lama. "Aku bisa kasih tempat tinggal. Bisa bantu kau dan anakmu makan. Tapi kau harus tahu, ada harga yang harus dibayar."

Kamala merasa tengkuknya meremang. "Saya bisa kerja keras, Pak. Cuci piring, bersih-bersih, apa pun..."

Pak Jaya menggeleng pelan. "Bukan itu yang kumaksud."

Hening sejenak.

Dunia seakan melambat saat Kamala memahami maksud pria itu. Tangannya mengepal di bawah meja.

"Kau cantik, masih muda," lanjut Pak Jaya, suaranya seakan berusaha terdengar ramah. "Ada banyak pria di luar sana yang mau membayar mahal buat wanita sepertimu. Kau kerja sedikit, dapat uang banyak. Anakmu nggak perlu kelaparan lagi."

Reyna, yang masih duduk di sebelah Kamala, tidak memahami percakapan itu. Gadis kecil itu hanya sibuk dengan sisa makanannya.

Kamala menarik napas dalam, menahan gemetar di tangannya. Ia sudah sering menghadapi pilihan seperti ini, jalan yang tampak mudah tetapi penuh kegelapan.

Kamala akan terus menolak, karena ada Reyna di sampingnya. Ada janji yang harus ia tepati.

Ia mengangkat wajah, menatap mata Pak Jaya dengan tajam. "Maaf, Pak," katanya dengan suara rendah tapi tegas. "Saya datang ke sini untuk kerja, bukan untuk jual diri."

Pak Jaya menatapnya lama, ekspresinya sulit ditebak. Kemudian, pria itu tertawa kecil, seakan menemukan sesuatu yang menghiburnya.

"Kau keras kepala, ya?" katanya akhirnya. "Mirip seseorang yang dulu pernah datang ke sini."

Kamala tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Reyna lebih erat.

Pak Jaya menghela napas, lalu berdiri. "Baiklah, kalau itu keinginanmu. Tapi aku tidak bisa memberikan pekerjaan pada dirimu, karena tugasku sebagai pencari wanita yang ingin menjadi pelacur."

Kamala mencoba meredam ketakutan dan kekecewaannya. Harapan yang tadi sempat tumbuh, kini hancur seketika.

Pak Jaya menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi dan menatapnya dengan ekspresi datar. "Dengar, Nak. Aku cuma menjalankan tugas. Kalau kau berubah pikiran, kau bisa kembali ke tempat ini."

Kamala mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia ingin marah, ingin berteriak, tetapi percuma. Ini bukan pertama kalinya dunia memperlakukannya seperti ini.

Reyna menarik ujung bajunya, menatapnya dengan wajah polos. "Bu, kita nggak boleh tinggal di sini?"

Kamala tersenyum tipis, meski hatinya remuk. Ia mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Tidak, Sayang. Kita cari tempat lain."

Pak Jaya tertawa kecil, menggelengkan kepala. "Keras kepala seperti wanita itu," gumamnya, nyaris tak terdengar.

Kamala terkejut. "Apa?"

Pak Jaya menatapnya, lalu mendecakkan lidah. "Lupakan. Pergilah, aku tidak bicara denganmu."

Kamala tidak ingin berlama-lama di sana. Ia meraih tangan Reyna, berdiri, lalu berjalan keluar dari warung tanpa menoleh ke belakang.

Di luar, angin pagi masih dingin, tetapi jauh lebih hangat dibandingkan suasana di dalam sana.

Kamala menarik napas panjang, menatap ke arah langit yang akan gelap. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tetapi ia tahu satu hal, ia tidak akan menyerah begitu saja.

Tidak sekarang, dan tidak untuk selamanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!