Damarius Argus Eugene (22 tahun), seorang Ilmuwan Jenius asli Roma-Italia pada tahun 2030, meledak bersama Laboratorium pribadinya, pada saat mengembangkan sebuah 'Bom Nano' yang berkekuatan dasyat untuk sebuah organisasi rahasia di sana.
Bukannya kembali pada Sang Pencipta, jiwanya malah berkelana ke masa tahun 317 sebelum masehi dan masuk ke dalam tubuh seorang prajurit Roma yang terlihat lemah dan namanya sama dengannya. Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah sistem bernama "The Kill System", yang mana untuk mendapatkan poin agar bisa ditukarkan dengan uang nyata, dia harus....MEMBUNUH!
Bagaimanakah nasib Damarius di dalam kisah ini?
Apakah dia akan berhasil memenangkan peperangan bersama prajurit di jaman itu?
Ikuti kisahnya hanya di NT....
FYI:
Cerita ini hanyalah imajinasi Author.... Jangan dibully yak...😀✌
LIKE-KOMEN-GIFT-RATE
Jika berkenan... Dan JANGAN memberikan RATE BURUK, oke? Terima kasih...🙏🤗🌺
🌺 Aurora79 🌺
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora79, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
R.K.N-10 : OBROLAN SANTAI...
...----------------...
"Seperti.... Aku pergi bersama Pasukan Elang, contohnya. Seharusnya aku tetap di sini dan membantu Camden mengelola tempat pertanian ini. Akan tetapi, kamu tahu keadaan kita...tugas menjadi abdi negara sudah mendarah daging di dalam diri kita semua!" ujar Gildas pada Damarius.
"Lihat saja dirimu, kamu adalah seorang Ahli Medis...akan tetapi, tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari Pasukan Elang!" tambah Gildas kembali.
"Untung saja Camden adalah seorang petani yang jauh lebih baik dari pada aku, tapi...belakangan ini sangat tidaklah mudah bagi para petani dari tempat-tempat kediaman kecil. Pasti sangat berbeda jauh dari pada saat pertama kali Marcus membersihkan lembah ini dan membangun sebuah hunian di sini..." ujar Gildas pada Damarius.
Mereka terlihat terdiam untuk beberapa saat, lalu Gildas berkata kembali.
"Kamu tahu tidak, aku sering bertanya-tanya apa yang ada dibalik pendirian tempat pertanian ini..." ujar Gildas.
Damarius mengernyitkan keningnya, heran.
"Apa maksudmu?" tanya Damarius.
"Um...begini...."
Gildas terlihat ragu-ragu untuk mengeluarkan persepsi dirinya tentang semua itu.
"Begini.... Dia... Marcus, maksudku...hanyalah seorang Senturion Junior di dalam Pasukan Elang...jika kisah keluargaku benar....ketika dia mendapatkan cedera dalam pemberontakan suku atau yang lainnya, dia dikeluarkan dari Pasukan Elang. Akan tetapi, Senat memberinya hadiah tanah dan pesangon penuh sebagai seorang pensiunan Senturion. Itu terdengar bukan seperti Senat yang memberinya hadiah dan keputusan itu!" ujar Gildas menjawab pertanyaan Damarius.
"Mungkin saja dia mempunyai seorang teman yang berpengaruh di bangku Senat. Hal semacam itu bisa saja terjadi..." ujar Damarius berpendapat.
Gildas menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Aku meragukannya! Kami bukanlah sebuah keluarga yang pandai mengumpulkan teman-teman yang berpengaruh!" ujar Gildas mematahkan pendapat Damarius.
"Jika begitu....mungkin...semacam imbalan atau...pembayaran khusus?" ujar Damarius berpendapat kembali.
"Hmmm... Itu adalah kemungkinan yang lebih besar! Akan tetapi, untuk apa?" ujar Gildas.
Damarius dan Gildas saling bertatapan, sudah jelas...mereka merasa bimbang untuk mengatakan sesuatu yang ada di dalam benak masing-masing.
"Apa kamu tahu soal itu?" tanya Damarius.
"A...aku....aku tidak yakin...." jawab Gildas terbata.
Tanpa diduga, wajah Gildas terlihat memerah sampai ke akar rambut warna merahnya.
"Tapi aku selalu bertanya-tanya, apakah mungkin semua itu ada hubungannya dengan Legiun Kesembilan...?" ujar Gildas kembali.
"Legiun Kesembilan...? Yang ditugaskan menuju Valentia untuk mengatasi masalah, dan tidak pernah terlihat kembali?" tanya Damarius dengan nada kebingungan.
"Benar! Oh, aku tahu hal ini terdengar tidak masuk akal! Aku tidak pernah membahas ini dengan siapapun, kecuali kamu! Tapi harus kamu ingat, Ayah Marcus menghilang bersama Legiun Kesembilan itu. Dan di dalam keluargaku selalu ada kisah yang tidak jelas seperti petualangan ke Utara saat Marcus masih muda dan liar, sebelum dia menikah dan menetap di sini. Itu saja, dan seperti perasaan....perasaan yang aku miliki...kamu tahulah!" jawab Gildas menjelaskan pada Damarius.
Damarius menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Dia hanya berkata...
"Aku ingin tahu... Kamu tahu semuanya ini masih agak baru untukku. Kamu pasti mengetahui sejarah keluargamu dengan sangat baik..." ujar Damarius.
"Hahahahahaha!"
Gildas tertawa dengan lepas, keseriusan dan keanehan dari moment tersebut langsung hilang dengan cepat.
"Bukan aku....bukan aku! Tapi Bibi Helcia! Tidak ada seorang pun yang bersin di dalam keluargaku selama dua ratus tahun, tanpa diingat oleh Bibi Helcia! Dia bisa mengingat segalanya dengan baik!" ujar Gildas setelah menyelesaikan tawanya.
Lalu Gildas mencondongkan tubuhnya ke arah depan untuk memanggil Camden, yang baru datang di teras terendah dari tiga tingkat tanaman anggur itu.
SREET!
"Sa ha...!! Camden, kami diatas sini!" teriak Gildas kencang.
Lelaki tua itu mendongak dan melihat mereka, lalu mengubah arah perjalanannya untuk menuju ke arah mereka.
TAP!
TAP!
TAP!
Langkah panjang seorang Legiuner terdengar tegas, seakan membawa serta gemerincing bisu perlengkapan ketentaraan.
"Aku melihat kalian!" seru Camden sambil melangkah.
TAP!
Camden lalu berhenti tepat di bawah mereka.
"Turunlah! Evanthe sudah hampir selesai menyiapkan untuk makan malam!" ujar Camden pada Damarius dan Gildas.
Gildas dengan cepat menganggukkan kepalanya.
"Kami akan segera datang!" seru Gildas.
Akan tetapi, dia tidak bergerak dari posisi nyamannya. Gildas serasa enggan meninggalkan posisi yang menguntungkan itu, di malam terakhir masa cutinya.
"Kami tadi sempat membincangkan tentang tempat pertanian ini yang terlihat sangat baik!" ujar Gildas setelah beberapa saat.
"Ya....tidak begitu buruk! Mengingat segala sesuatu yang terjadi di sini..." jawab Camden.
Tanpa di sadari, Camden menggemakan kata-kata Gildas beberapa saat yang lalu.
"Menurutku, kita sudah ketinggalan zaman! Aku ingin sekali memiliki sebuah kincir air gaya baru di kolam bawah sana....kita mempunyai tekanan air yang memadai untuk memutar rodanya!" ujar Camden pada Gildas.
"Aku juga menginginkan itu....tapi itu...mustahil!" jawab Gildas cepat.
"Aku tahu! Dengan kenaikan pajak jagung yang melonjak tinggi, kita nyaris tidak bisa mempertahankan milik kita. Apalagi untuk menambah barang baru yang tidak perlu!" keluh Camden pada Gildas.
Tiba-tiba Gildas berkata dengan wajah serius.
"Jangan pernah mengeluhkan pajak jagung itu, Camden! Jika kita ingin memiliki armada dan benteng di sepanjang pantai untuk menghalangi orang-orang Saxon, kita harus membayar untuk itu!" ujar Gildas tegas.
"Kamu juga pastinya ingat sebelum Kaisar Carausius memegang kekuasaannya, bukan? Saat malam musim panas, saat kita melihat tanah pertanian di sepanjang pantai terbakar...dan bertanya-tanya tentang seberapa jauh Serigala-Serigala Laut itu akan memasuki daratan?" tambah Gildas pada Camden.
"Ya.... Aku ingat sekali... Kamu tidak perlu mengingatkanku akan hal itu juga, Gildas!" gerutu Camden kesal.
"Ya sudahlah! Aku tidak akan mengeluhkan pajak jagung yang tinggi itu lagi, karena aku sudah bisa melihat manfaatnya. Walaupun...ingatlah...mereka benar-benar mengatakan jika tangan kanan Kaisar yang menangani hal-hal itu, dan tidak menyetujui Kaisar dalam hal kenaikan pajak! Dan dia akan mencari cara untuk meringankan pajak itu, seandainya dia bisa..." ujar Camden kembali.
Damarius dan Gildas terkejut mendengarnya.
"Kamu dengar dari mana tentang itu?" tanya Gildas cepat.
"Orang-orang! Salah satu pemungut pajak itu sendiri yang mengatakannya di Venta, kira-kira seminggu yang lalu!" jawab Camden santai.
Lalu Camden meninggalkan dinding batu tempat dia bersandar sebelumnya.
"Lihatlah! Evanthe sudah menyalakan lampu tanda dia sudah selesai masak! Aku akan turun untuk makan malam, jika kalian tidak mau turun!" ujar Camden pada Gildas dan Damarius.
TAP!
TAP!
TAP!
Lalu Camden berjalan pergi memasuki senja yang turun dengan lembut, menuju ke cahaya terang warna keemasan di jendela rumah tempat dia tinggal.
...💨💨💨...
Kedua saudara sepupu itu mengamati Camden sejenak dalam keheningan, lalu berpaling dan menatap atas sebuah kesepakatan bersama.
Dalam sekejap, muncul pemikiran samar dalam benak mereka bahwa mereka harus mengikuti Dorymene, lelaki yang sudah memikirkan kebaikan rakyat...bukan Carausius!
Damarius membuat celah kecil yang dalam diantara sepasang alisnya, lalu dia berkata dengan cepat.
"Itu yang kedua...." ujar Damarius.
"Ya... Aku baru saja memikirkannya. Tapi dia membungkam mulut Dasha dengan rapat!" jawab Gildas.
Damarius mengingat kembali adegan kecil yang tidak penting di toko obat yang berada di bawah Rutupiae itu, dan menyadari sesuatu yang tidak dia sadari sebelumnya.
"Tapi dia tidak menyangkalnya..." ujar Damarius.
"Mungkin saja itu benar...." jawab Gildas.
"Aku tidak melihat perbedaannya..." jawab Damarius.
Gildas menatap Damarius sejenak.
"Kamu benar....tentu saja tidak ada bedanya..." ujar Gildas pelan.
"Astaga..!" seru Gildas tiba-tiba.
"Kita ini seperti sepasang gadis b0d0h yang penuh dengan khayalan sambil duduk diatas sini dalam senja! Pertama-tama tentang Legiun Kesembilan...dan kini.... Oh, ayolah! Aku ingin makan malam!" ujar Gildas kesal.
Gildas langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menuruni sebuah jalan setapak yang curam, melewati beranda-beranda tanaman anggur, dan menuju ke arah cahaya di jendela bawah sana.
TAP!
TAP!
TAP!
Damarius hanya mengikutinya dari arah belakang. Dan dia tidak ingin membicarakan bahwa bukan dirinyalah yang mempunyai ide mengenai Legiun Kesembilan itu.
"Dia yang ngomong masalah Legiun Kesembilan itu, dia juga yang merasa kesal...! Huh! Dasar aneh...!"
...****************...
mampir juga ya dikarya aku jika berkenan/Smile//Pray/