NovelToon NovelToon
Benih Pengikat Kaisar

Benih Pengikat Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / CEO / Cinta setelah menikah / One Night Stand / Percintaan Konglomerat
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Puji170

Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.

Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.

"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."

Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Hampir saja Eka melontarkan kata-kata tajam itu—Benihmu sudah tertanam di rahimku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan, terima atau hadapi akibatnya.

Jika saja Kai tetap bersikeras menghindar, ia tidak akan ragu mengatakannya. Tapi, entah keajaiban dari mana, di hadapan Kakek Harjuno, setelah sekilas ragu, Kai akhirnya mengucapkan sesuatu yang tak pernah Eka duga.

"Aku akan menikah."

Sekarang, setelah kakek Harjuno pergi untuk mempersiapkan pernikahan mereka, Eka dan Kai akhirnya berdiri berhadapan. Tanpa ada orang lain, tanpa ada batasan.

Kai menatapnya lama sebelum akhirnya membuka suara. "Apa kamu puas sekarang?"

Eka tidak mundur sedikit pun. Ia menatap balik pria itu dengan keberanian yang baru ia temukan dalam dirinya.

"Tentu saja. Ini yang aku harapkan."

Kai menyipitkan mata, seolah menilai sesuatu dalam diri Eka yang berbeda dari sebelumnya. Senyum tipis terukir di sudut bibirnya sebelum, dalam sekejap, ia menarik pinggang Eka dengan satu gerakan tegas.

Tubuh mereka bertabrakan, dada Kai yang bidang menekan tubuh mungil Eka.

Kai tidak berkata apa-apa, hanya menundukkan wajahnya sedikit, membiarkan napasnya yang hangat menyapu kulit Eka. Dekat, begitu dekat.

Ia masih menyukainya. Masih mengingatnya.

Bau tubuhnya, kehangatannya, dan bibirnya yang sejak awal sudah menjadi candunya.

Eka membeku. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu tak karuan, sementara genggaman Kai di pinggangnya terasa kokoh, seolah tak berniat melepaskannya.

“Kai…,” gumam Eka, mencoba menarik napas dengan stabil.

Namun, Kai justru mempererat pegangan dan menurunkan wajahnya lebih dekat. Bibirnya hampir menyentuh telinga Eka saat ia berbisik, “Satu bulan tidak bertemu, sepertinya banyak yang berubah darimu.”

Nada suaranya rendah, dalam, dan sarat akan sesuatu yang tak bisa langsung Eka artikan.

“Apa maksudmu?” Eka memberanikan diri menatap mata pria itu.

Kai tidak langsung menjawab. Matanya mengunci pada wajah Eka, mengamati setiap ekspresi yang melintas di sana—tatapan yang dulu sering ia lihat dalam kebimbangan, kini terlihat lebih tegas, lebih menantang.

“Kamu bukan lagi perempuan yang dulu bisa aku permainkan,” gumamnya, jari-jarinya kini bergerak perlahan di sisi pinggang Eka, membuat tubuhnya menegang. “Sekarang kamu berani menuntut sesuatu dariku.”

Eka mengepalkan tangan, berusaha mempertahankan kendali atas dirinya sendiri. “Karena kali ini aku membawa nyawa dalam tubuhku. Aku tidak bisa membiarkan anak ini hidup tanpa kejelasan.”

Kai menatapnya lama. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit dijelaskan—bukan kemarahan, bukan pula ketidaksenangan.

Lalu tiba-tiba, ia tersenyum miring.

“Tapi kamu tahu kan, menikah denganku bukan berarti segalanya akan jadi mudah?” tanyanya dengan nada menggoda.

Eka menelan ludah. “Aku tahu.”

Kai mengangkat alis. “Dan kamu siap menghadapi semua konsekuensinya?”

Eka tidak langsung menjawab, tapi dalam hatinya, ia sudah tahu jawabannya. Ia memang sudah terjebak sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.

“Kalau itu yang harus kulakukan untuk anak ini, maka aku siap.”

Kai mendekat, hidungnya nyaris bersentuhan dengan hidung Eka. “Bagus,” bisiknya, sebelum akhirnya, tanpa peringatan, bibirnya mendarat di bibir Eka.

***

Di sisi lain keluarga Wirawan.

Adit kini terjerumus dalam jeratan utang demi mempertahankan perusahaan yang ia bangun dengan susah payah. Rasa frustrasi dan kecemasannya semakin menumpuk seiring waktu. Keputusan yang diambilnya di masa lalu—terutama kegagalannya menjual Eka untuk tidur dengan salah satu bos kontraktor—membuatnya kehilangan kesempatan besar. Kini, ia harus berjuang sendiri, tertatih-tatih mencari cara untuk bertahan, sementara tekanan dari berbagai sisi terus menghimpitnya.

Usahanya untuk bangkit tidak berjalan mulus. Bisnisnya terus mengalami kemunduran, dan kehidupan pribadinya pun semakin kacau. Rumah yang dulunya terasa nyaman kini hanya menjadi tempat penuh beban dan tuntutan yang tak ada habisnya.

Adit duduk di sofa dengan wajah kusut, jari-jarinya mengetuk sandaran tangan dengan gelisah. Pikirannya penuh dengan angka-angka hutang yang terus menumpuk, klien yang pergi satu per satu, dan kebangkrutan yang semakin nyata di depan mata.

Sementara itu, di depannya, Rina dan Nadin asyik berbincang dengan penuh semangat.

"Kak Nadin, pokoknya besok kita harus belanja lagi! Ada diskon besar-besaran di pusat perbelanjaan," seru Rina sambil menggoyangkan ponselnya, memperlihatkan katalog promo. "Aku butuh beberapa baju baru, terus ada sepatu yang udah lama aku incar!"

Nadin tertawa kecil, tangannya mengusap perutnya yang semakin membesar. "Benar! Aku juga harus beli perlengkapan bayi lagi. Aku ingin semuanya yang terbaik buat anak kita, Mas. "

Adit mengerjap, tatapannya beralih dari ponsel Rina ke wajah istrinya yang berseri-seri. Ada sesuatu dalam dirinya yang meletup, campuran antara lelah, frustrasi, dan amarah yang ia tahan selama ini.

"Kalian pikir uang itu datang dari mana?" Suaranya rendah, tapi tajam.

Rina dan Nadin spontan menoleh, ekspresi mereka berubah.

"Mas, maksud kamu apa?" tanya Nadin, masih dengan nada santai.

Adit menghela napas panjang, menahan dorongan untuk membentak. "Aku ini jungkir balik cari uang, tapi kalian enaknya ngomong belanja ini-itu? Rina, kamu udah bukan anak kecil lagi! Dan Nadin, kamu tahu kondisi kita sekarang nggak sebaik dulu, kan?"

Rina mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Kak Adit, kenapa sih marah-marah? Aku cuma mau beli beberapa barang, itu juga pakai uangku sendiri!"

Adit mendengus sinis. "Uangmu sendiri? Dari mana? Masih minta ke aku, kan?"

Wajah Rina memerah, jelas tak bisa membantah. Ia menggigit bibirnya, tapi tidak juga mengalah. "Ya ampun, Kak! Aku juga nggak tiap hari belanja! Sekali-kali kan boleh."

"Sekali-kali?" Adit tertawa miris. "Kamu sadar nggak, tiap bulan aku harus bayar hutang, gaji pegawai, dan sekarang biaya rumah sakit buat Nenek juga makin besar? Kalian pikir aku punya pohon uang di belakang rumah?"

Nadin yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Mas, aku ngerti kamu lagi stres, tapi kamu juga nggak bisa marah-marah terus. Aku sekarang ini istrimu, aku juga butuh perlengkapan buat bayi kita."

Adit menatapnya lekat-lekat. "Aku tahu, Nad. Aku tahu kamu butuh ini-itu buat bayi kita, dan aku mau kasih yang terbaik. Tapi bisa nggak, kalian sedikit lebih bijak? Jangan setiap ada diskon, kalian langsung kalap belanja."

Nadin kesal, ia merasa satu tahun bertahan mendampingi Adit menjadi kekasih gelapnya kini sia-sia. Sebulan yang lalu Adit masih orang yang memiliki banyak uang dan sekarang tiba-tiba pailit.

"Aku capek, Nad." Suara Adit melemah. "Setiap hari aku mikirin gimana caranya biar kita tetap bertahan, tapi kalian malah sibuk belanja, seolah semuanya baik-baik saja. Aku nggak bisa sendiri."

Keheningan menggantung di ruang tamu.

Nadin pun menghela napas, tangannya menyentuh lengan Adit. "Udahlah Mas, kamu itu kepala keluarga udah sepantasnya kamu bertanggungjawab atas pengeluaran biaya kita. Aku gak nuntut lebih, intinya kebutuhan anak kita nanti tercukupi."

Adit menatapnya sejenak, lalu menarik napas panjang. "Tapi Nad..."

"Aku capek mau istirahat. Ayo, Rin," ajak Nadin langsung masuk ke dalam kamar.

Adit menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap langit-langit. "Kenapa semua jadi kacau begini?"

"Kenapa keberuntungan keluarga ini tidak sama lagi seperti saat ada Eka? Apa aku harus membawa Eka kembali?"

1
Dia Fitri
/Ok/
Hayurapuji: terimakasih kakak
total 1 replies
Muslika Lika
Ya ampun patkaai..... imajinasi mu lho thor.... melanglang buana....
Muslika Lika: bener bener si eka eka itu ya.....😂
Hayurapuji: hahhaha, dia dipanggil anak buahnya Pak kai, nah si eka kepleset itu lidahnya jadi Patkai
total 2 replies
@Al🌈🌈
/Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!