Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11: Trial of the Cold Heart
Bima dan Nora memulai perjalanan menyusuri hutan yang lebat di sepanjang pinggir sungai, berharap menemukan jejak Wira. Medannya sangat sulit dan penuh tantangan, tidak ada jalan setapak, dan mereka harus melewati rintangan alam yang kasar. Mereka berjalan melewati akar pohon yang menonjol, tanah yang licin, dan lereng yang curam.
Ketika mereka menuruni sebuah lereng yang cukup terjal, Nora tiba-tiba terpeleset. KRAK! terdengar bunyi yang membuat Bima tersentak. Ia segera menghampiri Nora yang terjatuh, dan mendapati bahwa kakinya terluka parah. Dengan raut wajah khawatir, Bima bertanya, "Kau baik-baik saja, Nora?"
Nora menahan sakit sambil mengangguk pelan. “Kakiku terkilir. Maafkan aku, Bima...”
Bima melihat jam tangannya, sudah pukul 16.00. “Tidak apa-apa, Nora. Medan ini memang sulit. Sekarang sudah sore, kita sebaiknya kembali. Tidak aman berada di sini saat gelap.”
Nora mengangguk dengan wajah menyesal, merasa bersalah karena harus menghentikan pencarian lebih awal. Bima menenangkannya dengan mengatakan bahwa mereka akan mencoba lagi nanti. Ia lalu menggendong Nora di punggungnya, dan mereka perlahan kembali ke markas dengan langkah yang hati-hati.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di markas dalam kondisi letih. Bima mengumpulkan teman-temannya untuk berdiskusi mengenai kondisi pencarian. Dengan wajah tegas, ia memulai, “Teman-teman, sepertinya mustahil mencari Wira dalam waktu dekat.”
Flora yang cemas segera bertanya, “Kenapa, Bima?”
Bima menjelaskan, “Untuk mencari Wira, kita harus menyusuri seluruh pinggiran sungai, mulai dari hulu sampai ke hilir. Medan di sepanjang pinggir sungai itu adalah hutan belantara yang sangat sulit ditembus. Bahkan untuk berjalan kaki, perjalanan itu sangat berbahaya.”
Rizki bertanya dengan nada kecewa, “Jadi, apakah kita menyerah untuk mencari Wira?”
Bima menatap mereka dengan tatapan serius. “Tentu saja tidak. Aku tidak akan menyerah. Aku harus memastikan bahwa Wira selamat... atau kalau pun tidak, aku harus tahu pasti.”
Rizki mengangguk. “Jadi, apa rencanamu untuk mencarinya?”
Bima hening sejenak, tampak memikirkan jawaban yang tepat. “Aku akan menyusuri hutan itu sendirian,” ucapnya mantap.
Sontak, teman-temannya langsung bereaksi, satu per satu mengajukan diri untuk ikut mendampingi Bima, tetapi Bima dengan tegas menolak, “Kita semua punya peran masing-masing di sini. Rizki, kau harus menjaga energi kita dan menyelesaikan senjata-senjata yang kita butuhkan. Nora, kau yang bertugas menyembuhkan dan merawat kami—itu sangat penting. Flora, tugasmu mengelola makanan juga tidak kalah penting. Aku bertugas menjaga kalian. Mencari Wira adalah bagian dari tanggung jawabku, dan aku bisa melakukannya sendiri. Tidak perlu khawatir. Aku kuat.”
Mendengar penjelasan Bima, mereka semua terdiam, memahami bahwa Bima sudah memikirkan ini dengan matang. Masing-masing dari mereka merasa tanggung jawab yang dipegang Bima adalah keputusan yang besar dan berani. Akhirnya, Bima menambahkan, “Aku akan mengumpulkan persediaan makanan sebanyak mungkin untuk beberapa hari ke depan. Setelah itu, aku akan bersiap untuk menyusuri hutan, mencari Wira, dan kembali. Kuharap kalian mengerti dan mendukung keputusanku.”
Mereka mengangguk dalam keheningan, menghormati keputusan Bima yang penuh tanggung jawab. Suasana dalam markas terasa lebih sunyi, namun mereka merasa ada tekad dan keyakinan baru yang menyelimuti kelompok mereka.
Bima kini sudah mempersiapkan diri sepenuhnya untuk perjalanan panjang mencari Wira di sepanjang pinggir sungai. Setelah menghabiskan 25 hari mengumpulkan persediaan makanan di markas, dia memasukkan ke dalam tasnya peralatan bertahan hidup dasar, seperti pisau, matras, korek, serta satu granat kriogenik. Sebuah pistol tergantung di pinggangnya, siap digunakan jika diperlukan. Selesai memeriksa perlengkapannya, Bima melangkah ke arah teman-temannya, berpamitan.
“Ini sudah waktunya. Semuanya sudah siap. Jaga diri kalian, dan jaga Meyrin juga. Aku berangkat!” ucap Bima dengan mantap, melambaikan tangannya kepada mereka.
Nora dan Flora membalasnya dengan penuh semangat, “Jaga dirimu baik-baik, Bima!” Rizki, yang biasanya serius, menatap Bima dengan raut sedikit khawatir, namun tak mengucapkan sepatah kata pun, cukup dengan anggukan tegas.
Gubuk kakek tua
Di gubuk kakek tua, lima hari setelah Bima berangkat, malam telah tiba. Wira dan kakek selesai dengan sesi latihan hari itu, termasuk pembahasan strategi tempur yang intens. Kakek tua itu menatap Wira dengan tatapan tajam, lalu berkata, “Bocah, besok adalah ujian terakhirmu.”Wira mengangkat alis, penasaran. “Baiklah, jadi... apa ujiannya kali ini?”
“Bertahan hidup,” jawab kakek, nadanya datar dan dingin.
“Ha? Meremehkanku, Kek? Setiap hari aku sudah cukup bertahan hidup dari mulutmu,” Wira tertawa kecil, mencoba meringankan suasana.
Namun, kakek hanya memberikan sedikit senyum penuh arti, lalu menjawab, “Tidak, kali ini akan berbeda. Hewan buasnya adalah aku.”
Wira merasa sedikit gentar dan menelan ludah, terkekeh gugup. “Ahaha... ini baru ujian.” Dalam hati, dia bergumam, Kenapa rasanya kakek tua ini lebih mengancam daripada Ruo?
Kakek melanjutkan dengan tegas, “Bocah sombong. Besok sebelum matahari terbit, aku akan mulai memburumu. Aku tidak akan ragu membunuhmu. Jika kau mati, berarti kau memang tak layak menjadi muridku.”
Wira langsung terdiam mendengar kata-kata dingin kakek, ekspresinya mulai serius. Kakek tua melanjutkan, “Misimu besok hanyalah bertahan hidup sampai jam menunjukkan pukul 18.00. Ketika kau membuka matamu besok pagi, semuanya adalah musuhmu. Mengerti?”
Dengan wajah datar, namun penuh kesungguhan, Wira mengangguk. “Baiklah.”
Wira tahu ini bukan hanya latihan fisik biasa. Ini adalah pertarungan hidup dan mati.
Kakek membuka matanya di pagi itu dengan tatapan tajam, menyadari bahwa Wira sudah menghilang dari gubuk. Setelah memeriksa waktu pada jam tangan dan jam dinding, dia segera mengenakan peralatannya, mengambil senapan, dan mencuci wajahnya dengan air sungai yang dingin untuk benar-benar menyegarkan kesadarannya. Dengan langkah penuh kewaspadaan dan ketenangan seorang tentara berpengalaman, dia memulai perburuan, mengitari sekitar gubuk sebelum bergerak lebih jauh ke dalam hutan.
Sepanjang perjalanan, kakek bergerak seperti bayangan, nyaris tanpa suara. Setiap pohon, semak, dan batu diperiksa dengan cermat, setiap gua disusuri dengan kejelian. Berjam-jam berlalu, dan jejak Wira masih belum terlihat sama sekali. Kakek melirik jam tangan, pukul 15.00. Wira, anak yang tanpa pengalaman bertahan di hutan, ternyata cukup pandai menghilang.
Kakek menghela nafas. “Bocah ini lumayan juga,” gumamnya, sedikit heran namun tetap serius. Dia berjalan lebih jauh hingga mencapai tepi sebuah tebing yang curam dan tinggi. “Tidak mungkin dia melewati tebing ini…”
Kakek mulai tertawa kecil saat tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di benaknya. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. “Berbakat? Bocah itu tak punya bakat untuk ini.” Matanya melebar seketika. “Bocah sialan!” Kakek segera berlari kembali ke arah gubuk.
Sesampainya di gubuk, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, hanya setengah jam sebelum batas waktu ujian berakhir. Dari kejauhan, dia melihat lampu gubuknya menyala dan langsung menggeram. “Bocah licik!” teriaknya dalam hati.
Kakek mendobrak pintu gubuk dengan keras. Tepat saat itu, sebuah balok kayu melesat cepat, mengarah tepat ke kepalanya. Refleks kakek menahan balok tersebut dengan tangan kiri, namun kaca pada jam tangannya pecah. Di balik pintu, Wira berdiri menyeringai.
“Selamat datang kembali, Raja Iblis!”
Kakek melempar balok itu ke samping dan menatap Wira dengan dingin, yang sekarang mundur beberapa langkah dan memasang kuda-kuda tinju. Kakek memasang kuda-kuda jujitsu dengan tatapan intens.
Dalam hati, Wira menyadari bahwa dia tidak bisa bertahan jika tertangkap. Tapi dia juga tahu kakek sudah sedikit kelelahan setelah berlari kembali dari dalam hutan. Dengan cepat, Wira maju dan melemparkan jab ke arah kakek, diikuti oleh hook kanan yang kuat. Kakek menahan pukulannya, tapi kini mengganti kuda-kudanya ke posisi Krav Maga yang lebih ofensif.
“Hei, ini curang!” seru Wira dengan nada bercanda, namun kakek tetap tidak mempedulikan.
Kakek maju dengan sebuah jab yang berhasil dihindari Wira dengan cepat, namun tepat ketika Wira menunduk, lutut kakek menghantam wajahnya dengan keras. Wira terhuyung, tetapi dengan cepat bangkit kembali. Kakek melancarkan serangan dengan cengkraman tangan, dan Wira melompat mundur, melayangkan sebuah pukulan ke perut kakek, yang ditahan lagi oleh kakek dengan tangannya yang kuat.
Kakek kini mendekat dengan niat jelas untuk menangkap Wira. Tanpa memberikan waktu, dia langsung melayangkan hook, Wira menghindar dan membalas dengan uppercut yang mengenai dagu kakek. Kakek tersentak sedikit, tetapi segera kembali dengan serangan, mengayunkan kakinya dalam sebuah tendangan yang nyaris mengenai tubuh Wira, membuat Wira tersandung dan kehilangan keseimbangan.
Sebelum Wira sempat benar-benar berdiri, kakek mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke lantai dengan keras. BRAKK!
Wira terbaring di lantai, tetapi dengan gigih segera mengganti tekniknya ke posisi armbar, mengunci lengan kakek yang tampak terkejut namun tidak sepenuhnya tak berdaya. Perlahan, kakek mulai mengangkat tubuh Wira, yang masih berpegangan kuat pada lengan kakek.
“Setelah berlari dari ujung hutan, kekuatannya masih seperti ini?” gumam Wira, tercengang.
Kakek kembali membanting Wira yang masih dalam posisi mengunci lengannya. BRAKK! Wira hampir menyerah, tetapi melihat jam dinding yang menunjukkan waktu hanya tinggal beberapa menit lagi, dia memutuskan untuk tidak melepaskan kuncian.
Merasa terancam, kakek mengumpulkan seluruh tenaganya, mengangkat Wira sekali lagi dan membantingnya dengan lebih keras. BRAKK! Wira merasakan tubuhnya mulai melemah, namun dalam sepersekian detik dia mengubah posisinya ke belakang kakek dan mengunci lehernya dalam rear-naked choke.
Namun, kakek tidak menyerah begitu saja. Dengan seluruh kekuatan, dia menarik kerah baju Wira, mengangkatnya, dan membanting Wira ke depan dengan keras. Nafas Wira mulai tersengal. Tanpa ragu, kakek mencekik leher Wira yang hampir kehilangan kesadaran.
Detik-detik terakhir. 10... 9... Nafas Wira semakin pendek, pandangannya mulai kabur. 3... 2... Tepat sebelum semua jadi gelap, Wira melihat jam menunjukkan pukul 18.00 dan dengan sisa tenaga, dia mengangkat tangan menunjuk ke jam dinding.
Kakek akhirnya melepaskan cengkeramannya dan berdiri, sementara Wira tersungkur ke lantai, terengah-engah namun tersenyum lemah. “Hahaha….aku menang.”
Kakek menatapnya, terdiam beberapa saat, kemudian berkata dengan nada datar, “Kau memang keras kepala, bocah.”
Setelah pertarungan yang melelahkan, Wira duduk di lantai sambil tersenyum lemah, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Ia menyeka darah di sudut bibirnya lalu menoleh ke arah kakek. “Hei, kek? Apa kau nggak penasaran kenapa aku tiba-tiba ada di gubuk?”
Kakek hanya mendengus sinis, mengangkat alis. “Entahlah. Yang kutahu kau ini bocah licik.”
“Licik? Hei, jangan marah begitu dong, kek!” Wira tertawa kecil, suaranya masih terdengar lelah. “Tapi kau benar-benar iblis! Bagaimana bisa tenaga dan staminamu nggak habis-habis? Walaupun tadi keringatmu sudah bau tanah, sih.”
Kakek menyipitkan mata, tatapannya mengancam. “Haruskah ujiannya kuperpanjang sampai jam 12 malam?”
“Ahaha, sepertinya itu nggak perlu!” Wira tertawa, mengangkat tangannya dengan gerakan damai. “Lebih baik kita bereskan gubuk ini dulu, kek. Sekarang malah terlihat seperti kapal pecah.”
Tanpa sepatah kata, kakek mendesah panjang dan mulai mengangkat barang-barang yang berserakan di lantai. Mereka berdua sibuk membereskan gubuk dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran masing-masing. Setelah sekitar 20 menit berlalu, Wira melihat kakek yang tengah memeriksa jam tangan retaknya.
“Kakek tua, maaf ya. Sepertinya aku merusak jam tanganmu. Itu pasti jam mahal, kan?”
Kakek meliriknya sebentar, sedikit terkejut. “Tumben sekali kau minta maaf, bocah.” Dia memperhatikan jam tangannya, lalu mengangkat pandangan ke arah jam dinding. Saat itu, matanya berhenti bergerak. Jam tangan di pergelangannya menunjukkan pukul 18.00 tepat.
Kakek tertegun, menatap jam tangan dan jam dinding bergantian. Bocah ini memajukan jam dinding 20 menit… pikir kakek, mulai menyadari rencana licik di balik wajah polos Wira. Jadi, ia hanya perlu bertahan 10 menit lagi, bukan 30 menit.
Kakek hanya bisa mendengus pelan, menahan senyum tipis yang terbit tanpa disadarinya. Ia menggeleng, memandangi bocah di hadapannya. “Dasar kau, bocah… benar-benar licik,” gumamnya pelan, tanpa amarah, malah ada sedikit kekaguman.
Wira menatap kakek dengan seringai kemenangan yang tersirat, bangga bahwa rencananya berhasil tanpa harus menjelaskan sepatah kata pun.