Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 14
Besok? Benarkah dia akan menikah besok? Mata Arya tak bisa terpejam hingga larut malam. Apa yang sudah dilakukannya? Apakah dia sudah bertindak terlalu jauh dengan menyetujui permintaan Intan? Kedua kakak laki-laki Tiara sepertinya tak bisa dianggap remeh. Apakah mereka berdua serius dengan perkataan mereka saat di restoran? Seperti apa sebenarnya keluarga Tiara? Mengapa dari sebuah keluarga yang awalnya hanya terdiri dari dua orang wanita, tiba-tiba menjadi sebuah keluarga lintas negara dengan jumlah anggota yang sepertinya jauh lebih banyak?
Dan Tiara sendiri, benarkah dia mencintai dirinya sejak lama? Atau itu cuma alasan agar dirinya mau menerima permintaan Intan? Entahlah. Arya sebenarnya ingin tahu pasti kebenarannya. Tapi dia tak mungkin menanyakannya langsung ke Tiara. Bagaimana kalau ternyata itu tidak benar? Pastinya sungguh memalukan.
Arya kemudian bangkit menuju tempat wudhu. Dia ingin menenangkan dirinya dengan sholat dan tilawah, seraya memohon pertolongan pada Allah atas bimbingan dalam setiap keputusan yang telah dia ambil.
************
Tiara menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasa sedih melandanya saat mendengar penjelasan dari Intan tentang apa yang sebenarnya terjadi di restoran. Untunglah Tiara sempat menceritakan rencana pertemuan itu kepada Intan.
"Maafkan aku mbak, aku benar-benar tidak tahu kalau mereka bermaksud seperti itu. Mereka cuma bilang ingin berkenalan dan tahu lebih banyak tentang Mas Arya, itu saja mbak", mata Tiara berkaca-kaca setelah Intan menceritakan kejadian di restoran.
Hampir saja ia batal menikah dengan Arya karena kebodohannya.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi. Yang penting sekarang kamu persiapkan dirimu, karena besok Insya Allah kamu sudah menjadi isteri Arya"
"B..besok? Kenapa besok mbak? Bukannya satu minggu lagi?", Tiara terkejut mendengar ucapan Intan.
"Begini, mbak meminta Arya untuk menikah denganmu besok di KUA. Itu mbak lakukan karena khawatir Pierre dan Andre kembali berulah. Kamu.. keberatan kalau harus menikah besok?"
Tiara tertunduk, wajahnya merah menahan malu. Keberatan? Impossible. Andaikata dia harus menikah malam inipun, dia tak akan menolak.
Intan terkekeh melihat reaksi Tiara yang hanya diam tapi dari rona di wajahnya jelas sekali kalau hatinya tengah berbunga-bunga.
"Ya sudah, sekarang kamu tidur. Istirahat yang cukup, biar besok bisa tampil cantik di depan suami", ucap Intan sambil tersenyum usil.
"Mbak Intan... Apaan sih?!", Tiara buru-buru masuk ke kamarnya karena malu.
***********
"Bang Irwan? Kok, ada di sini juga?"
Arya sedikit terkejut melihat Irwan sesaat setelah sampai di KUA tempat dia akan melangsungkan akad nikah.
"Iya Ar, Intan memintaku datang sebagai saksi"
"Terima kasih bang", Arya menjabat tangan Irwan dengan hikmat.
Bersama Arya juga hadir Ustadz Farhan yang akan diminta sebagai saksi dari pihaknya. Arya menceritakan seluruh kejadiannya secara gamblang pada Ustadz Farhan dan beliau sangat mendukung keputusan Arya. Walau bagaimanapun, akidah seorang muslimah kini sedang terancam oleh keluarganya sendiri. Maka selaku saudara seiman, sudah seharusnya dia memberi dukungan dan pertolongan semampunya.
Beberapa saat kemudian Intan dan Tiara tiba di sana. Arya menjadi gugup saat melihat Tiara, sambil kembali mengulang pertanyaan yang terus-menerus muncul di benaknya. Apakah Tiara benar-benar jatuh cinta padanya?
Tiara menatapnya sekilas lalu mengangguk.
Eh, apa itu? Apakah Tiara mendengar kata hatinya dan tengah menjawab iya? Arya sedikit kaget, lalu tersenyum tipis menyadari kekonyolannya.
Proses akad nikah seadanya berlangsung hikmat tanpa mengurangi rukun, syarat dan tujuan mulia dibaliknya. Tiara yang tak punya wali dari keluarganya, dinikahkan dengan wali dari pihak KUA. Intan menangis haru saat kedua saksi menyatakan pernikahan itu sah. Arya salut dengan cara Intan mengurus semuanya. Mata lelahnya menunjukkan betapa keras usahanya demi kelancaran pernikahan adik kesayangannya. Pihak KUA pun menjelaskan kalau surat nikah mereka baru akan siap beberapa hari lagi karena pernikahan mereka yang dilaksanakan secara mendadak.
"Orang tuamu tahu tentang ini Ar?"
"Belum Mbak, aku takut kalau nanti mereka jadi bingung dan berpikiran yang tidak-tidak. Biarkan mereka berpikir semuanya berjalan seperti di awal. Biar nanti pas hari H sesuai rencana, Arya akan memberitahu mereka"
Intan mengangguk paham sambil tersenyum.
"Kita ke rumah kami dulu ya, kita adakan syukuran kecil-kecilan"
Mereka semua kemudian berangkat ke rumah Intan dan Tiara.
Sesampainya di sana, Ustadz Farhan menyuruh Arya dan Tiara untuk sholat berjamaah pertama sebagai sepasang suami isteri.
Tak terkira betapa gugupnya kedua pengantin baru itu saat pertama kali hanya berdua di dalam kamar Tiara. Tiara menghamparkan sajadah untuk Arya di depan sajadah miliknya. Sementara Arya hanya memperhatikan Tiara.
"Kok masih dipake cadarnya? Masih mode ninja nih?", celetuk Arya melihat wajah Tiara yang masih tertutup.
"Memangnya Mas Arya maunya aku pensiun jadi ninja? Gak usah pake cadar lagi, gitu?"
"Ya jangan lah.. Maksudnya ini kan mau sholat", padahal sebenarnya dia hanya ingin melihat wajah Tiara.
"Iya.. Nanti pas Mas Arya sudah takbiratul ihram aja ya, baru Tiara buka cadarnya. Kalau sekarang.. masih malu..", Tiara menyahut pelan seraya menunduk.
Arya jadi tak karuan mendengar suara Tiara. Tak pernah dia mendengar Tiara bicara sangat lembut seperti itu sebelumnya. Jantungnya terasa melompat-lompat kesana kemari.
"Atau.. Mas Arya mau aku buka cadarnya sekarang?", tanya Tiara lagi masih sambil menunduk, merasa tak enak walaupun dalam hatinya merasa gugup kalau-kalau Arya mengiyakan.
"Gak papa, nanti juga gak masalah. Kita sholat sekarang ya?"
Tiara mengangguk lega mengiyakan.
Setelah selesai salam, Arya buru-buru memalingkan wajahnya. Berharap sempat melihat sekilas wajah Tiara. Tapi sayangnya Arya kalah cepat, karena Tiara juga berpaling ke belakang untuk memasang kembali cadarnya lalu berbalik lagi menghadap Arya dengan perasaan menang. Akhirnya mereka berdua hanya terkekeh.
"Ayo salim dulu!", Arya pura-pura galak seraya mengulurkan tangannya.
Tiara beringsut perlahan mendekati Arya. Tapi belum sempat dia menyambut tangan Arya, tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar. Mereka pun segera berdiri dan keluar kamar untuk mencari tahu penyebab keributan itu.
Baru saja Arya berada di luar kamar, dua orang polisi sudah menghadangnya dan mengatakan kalau dia ditangkap atas dugaan upaya pembunuhan. Arya terperangah tak percaya. Ustadz Farhan dan Irwan yang sedari tadi berusaha minta penjelasan dari para polisi itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya ditunjukkan surat perintah penangkapan. Sedangkan Tiara dan Intan hanya bisa menangis melihat Arya diborgol dan diseret keluar rumah lalu kemudian dimasukkan ke dalam mobil.
"Tiara! Tiara!", panggil Arya.
"Tunggu pak, saya mau bicara sebentar dengan isteri saya"
Tiara tergopoh-gopoh menghampiri mobil itu sambil menangis.
"Tiara, aku tidak melakukan apapun yang mereka tuduhkan. Percaya padaku, aku akan segera kembali. Tolong minta Zaki untuk menyusulku"
"Iya mas, aku percaya", sahut Tiara seraya menangkup wajah Arya dengan air mata yang terus mengalir membasahi cadarnya.
Kemudian mobil polisi itu melaju meninggalkan rumah. Sementara Ustad Farhan mengendarai mobilnya mengikuti mobil itu menuju kantor polisi.
Intan bergegas kembali ke dalam rumah untuk mengambil ponselnya. Beberapa saat kemudian panggilan terhubung pada seseorang.
"Puas kalian sekarang hah? Puas kalian sudah membuat Tiara menangis? Apa kalian tak punya hati? Inikah cara kalian menyayangi kami? Omong kosong! Sampaikan pada Pére, jangan harap dia memperoleh maaf dari Tiara bila dia bertindak kejam seperti ini"
Intan kemudian langsung mematikan panggilan. Sedangkan tangisnya belum juga hilang.
Irwan yang ada di sampingnya yang kebetulan paham bahasa Perancis merasa bingung dengan ucapan Intan di telpon tadi.
"Sebenarnya ada apa In? Kamu habis menelpon siapa tadi?", tanya Irwan penasaran.
"Maafkan aku Wan. Aku janji akan ceritakan semuanya, tapi nanti. Sekarang kita ada masalah yang jauh lebih penting" Intan terlihat sedikit panik.
Bergegas dia kembali keluar rumah untuk memanggil Tiara yang masih berjongkok menangis di halaman agar segera masuk.
"Dengarkan Mbak, Tiara. Kau harus segera meninggalkan rumah ini. Secepatnya"
Tiara bingung dengan ucapan kakaknya.
"Nanti Mbak jelaskan. Sekarang cepat kemasi barang-barangmu seperlunya. Jangan lupa surat-surat penting. Wan, tolong aku. Carikan tempat tinggal sementara untuk Tiara. Aku mohon.."
"Baiklah. Kamu tenang saja, aku akan membawanya ke tempat aman. Tapi bagaimana denganmu sendiri?"
"Aku harus menunggu beberapa orang yang akan datang ke sini. Ayo Wan, cepat!", ucap Intan lagi seraya menarik tangan Tiara yang sudah siap dengan tas di pundaknya.
Irwan dan Tiara sudah di dalam mobil. Sekali lagi Intan berpesan pada Tiara.
"Dengar, bila Pierre atau Andre sekalipun yang menelponmu, jangan diangkat. Bila kau ingin segera berkumpul kembali dengan suamimu, tolong patuhi ucapan Mbak. Matikan ponselmu, nanti Mbak berikan ponsel yang lain, oke?"
Tiara hanya mengangguk walaupun dia masih benar-benar bingung dengan situasi ini. Kemudian mobil Irwan pun berlalu dari rumah Intan.
"Bang Irwan, tadi Mas Arya pesan minta Mas Zaki menyusulnya ke kantor polisi"
"Benarkah?"
Tiara hanya mengangguk.
Irwan kemudian melakukan penggilan kepada Zaki dan menyampaikan pesan Arya padanya.
"Kita ke villa keluargaku saja, di sana ada Bik Tinah dan Pak Umar yang bisa menemani dan membantumu mengurus keperluanmu"
Intan kembali hanya mengangguk. Tangisnya belum reda sepenuhnya karena mengingat Arya yang tengah dituduh melakukan tindakan kriminal.
Sementara Ustadz Farhan yang berada di kantor polisi juga tak bisa mendapatkan informasi berarti tentang kasus yang dialami Arya. Akhirnya dia memutuskan untuk ke rumah Arya untuk memberitahu kedua orang tuanya.
Tak terkira betapa kagetnya ibu dan ayah Arya mendengar kabar tersebut. Aisyah seketika menangis pilu sementara Wira segera menghubungi pengacara untuk mendampingi Arya sebelum akhirnya mereka berangkat ke kantor polisi.
**********
"Ayolah Intan, dimana kau menyembunyikan Tiara?"
Pierre kesal karena Intan terus menolak menjawab pertanyaannya. Ia hanya duduk diam di sofa, nggan menanggapi pertanyaan Pierre.
"Dengar Intan, kami sudah memperingatkanmu untuk membatalkan pernikahan itu. Tapi kau tak mendengarkan kami. Kau membuat kami tak punya pilihan lain"
"Pierre, seharusnya kau memberitahukan sebelumnya dengan jelas tentang semuanya kepada Intan. Kalau begini, bukankah akan menjadi lebih besar masalahnya?", Andre menyesalkan.
"Memberitahukan apa maksudmu?", akhirnya Intan terpancing untuk berbicara.
Pierre mendelik ke arah Andre kemudian beralih menatap Intan seraya menghela nafas.
"Masalah anak laki-laki keluarga Vermont", Pierre akhirnya ikut duduk.
"Maksudmu Louis? Si Kerempeng Louis?", tanya Intan memastikan.
"Ya, dia. Tapi dia sudah tidak kerempeng lagi. Bahkan kini otot-ototnya membuat kami para lelaki menjadi iri. Yah.. siapa yang menyangka?"
"Kau melantur Pierre, ada apa dengan Si Kerempeng Louis? Kenapa dia sampai dibawa-bawa dalam masalah ini?"
Pierre melengos mendengar Intan yang tetap menyebut Louis kerempeng. Mungkin karena sudah terbiasa.
"Kau tak tahu kalau Pére telah lama menawarkan Tiara untuk menjadi isterinya. Bahkan sebelum dia masuk sekolah militer"
"Apa?! Tapi Tiara waktu itu baru SMA. Apa yang ada di pikiran Pére?"
Pierre menatap Andre seolah minta bantuan untuk menjelaskan.
"Ehm.. dengar. Waktu itu, Pére sedang ada masalah. Maksudku masalah yang sangat besar yang bisa membuat dirinya dan beberapa anggota keluarga lainnya harus berurusan dengan pihak berwajib"
"Kau tahu, hanya orang seperti Gerard Vermont yang bisa menolongnya. Pére tahu kalau sedari kecil, Louis sudah menyukai Tiara. Jadi..", Andre belum selesai dengan kalimatnya.
"Pére menjual Tiara pada keluarga Vermont?!", potong Intan dengan suara tinggi dan wajah murka.
"Pére tak punya pilihan saat itu Intan. Hanya itu yang bisa dia usahakan", Andre meringis melihat reaksi Intan.
"Dengan mengorbankan puteri satu-satunya? Begitukah? Apa dia sudah gila?!"
Mata Intan memerah karena emosi. Pierre dan Andre hanya tertunduk. Pada dasarnya mereka juga tak suka situasi ini.
"Kau tahu, setidaknya Louis mencintainya. Lagipula kau kenal dia sejak kecil kan? Dia anak yang baik, sampai sekarang pun dia masih begitu. Sungguh berbeda dengan ayahnya. Bukan begitu Andre?"
"Tapi dia bukan seorang muslim Pierre. Dan yang jelas Tiara tidak mencintainya", Intan membuang muka.
"Dia bersedia untuk berpindah keyakinan"
Intan terkekeh.
"Kalian memang menganggap berpindah keyakinan itu hanya seperti berganti pakaian. Mana yang sedang kalian perlukan, itu yang kalian pakai. Dan saat kalian merasa gerah dengan semua pakaian itu, kalian akan telanjang. Begitu bukan?!"
Pierre dan Andre hanya menghela nafas, tak ingin mendebat Intan lebih jauh lagi. Mereka paham ucapan Intan tadi menyinggung ayah mereka yang kini bukan seorang muslim lagi.
"Begini Intan, mengapa tidak kita tanyakan langsung kepada Tiara tentang masalah ini. Yah.. kau tidak bisa mengklaim dia tidak mau. Mana tahu dia punya pemikiran dan pertimbangan berbeda denganmu lalu akhirnya bersedia menikah dengan Louis", Andre mencoba mencari solusi.
"Sudah terlambat, Tiara sudah menikah tadi pagi"
Bagus...