Bisikan Arwah Penasaran

Bisikan Arwah Penasaran

Rumah Seram Kakek

Caroline Blythe menatap kosong pada tumpukan piring kotor yang berserakan di dapur kecilnya. Jam di atas lemari menunjukkan pukul tiga pagi, tapi rasa kantuk seolah jauh darinya. Dia baru saja pulang dari shift malam di bar, menghabiskan waktu di antara tawa mabuk dan wajah-wajah asing yang tak lagi dikenalnya. Bukan ini hidup yang dia bayangkan lima tahun lalu.

Ponselnya berdering, menggetarkan meja kayu yang reyot. Mata Caroline menyipit, siapa yang menghubunginya di tengah malam seperti ini? Nomor tak dikenal muncul di layar, tapi entah kenapa ia tergerak untuk menjawab.

“Selamat malam, saya bicara dengan Caroline Blythe?” Suara laki-laki itu terdengar tenang namun penuh otoritas.

“Ya, ini Caroline,” jawabnya, mencoba mengendalikan rasa curiga.

“Perkenalkan, saya Richard Hastings, seorang pengacara. Saya ingin menyampaikan berita mengenai warisan dari mendiang kakek Anda, Reginald Ashbourne.”

Caroline terdiam. Nama itu seperti membawa angin dingin yang menyelinap ke dalam pikirannya. Kakeknya, Reginald, adalah sosok misterius yang hampir tak pernah ia dengar cerita tentangnya. Bahkan, ibunya, dalam keadaan mabuk sekalipun, jarang membahas keluarga besar mereka.

“Maaf, apakah ini semacam penipuan?” Caroline bertanya, lebih karena tak percaya daripada curiga.

“Tidak, Nona Blythe. Ini resmi. Kakek Anda meninggalkan rumah tua di pedesaan Inggris beserta tanah pertanian untuk Anda. Jika Anda bisa meluangkan waktu, saya akan menjelaskan lebih lanjut.”

Sepasang mata Caroline membulat. Di tengah krisis keuangan yang menjeratnya seperti jerat yang semakin mengencang, berita ini terdengar seperti cahaya samar di ujung lorong gelap. Sementara pikirannya masih sibuk mencerna, suara Richard melanjutkan, “Saya mengerti mungkin ini mengejutkan. Anda bisa datang ke kantor saya atau jika lebih nyaman, kita bisa bertemu di rumah warisan tersebut.”

Caroline tak butuh waktu lama untuk membuat keputusan. Dengan tabungan yang semakin menipis dan kenyataan pahit bahwa dia mungkin harus segera angkat kaki dari apartemen kecilnya, tawaran ini seperti secercah harapan.

---

Dua hari kemudian, Caroline menatap rumah tua di hadapannya. Rumah itu terletak di ujung pedesaan yang sepi, dikelilingi kabut yang seolah menutupinya dari dunia luar. Dinding batu abu-abu dan jendela besar yang sedikit retak membuat rumah itu terlihat angker, namun ada sesuatu yang membuat Caroline merasa tertarik untuk masuk.

Pintu besar berderit saat ia mendorongnya perlahan. Aroma lembap dan debu memenuhi udara di dalam rumah, seperti kenangan lama yang terbengkalai dan terlupakan. Di ruang tamu, perapian batu yang besar tampak gelap, tanpa nyala api yang memanaskan ruangan.

“Selamat datang, Nona Blythe,” suara Richard terdengar dari sudut ruangan. Caroline tersentak, sedikit terkejut dengan kehadiran pria itu yang sudah menunggu di dalam rumah.

“Mr. Hastings,” Caroline menyapa, mencoba menguasai kegugupan yang terasa menyelimutinya.

Richard tersenyum tipis. “Rumah ini sudah berdiri lebih dari dari 50 tahun lalu, penuh sejarah. Banyak yang bilang tempat ini memiliki ‘jiwa’ sendiri,” katanya sambil menatap sekeliling ruangan. “Kakek Anda tinggal di sini selama hampir seluruh hidupnya.”

Caroline mengangguk pelan. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Memori tentang kakeknya samar; yang ia tahu hanya bahwa pria itu hidup sendiri, jauh dari keluarga.

Richard kemudian mengeluarkan sebuah kunci kuno dari kantongnya. “Ini adalah kunci untuk seluruh rumah dan pertanian di sekitar sini. Anda adalah satu-satunya ahli waris yang sah, dan rumah ini beserta tanah pertaniannya sekarang menjadi milik Anda.”

Caroline memegang kunci itu dengan tangan gemetar. Ada perasaan aneh yang merayap di hatinya, antara rasa penasaran dan ketakutan yang tidak bisa dijelaskan.

“Saya harus menandatangani sesuatu?” tanyanya, mencoba menenangkan pikirannya.

Richard mengangguk, membuka dokumen yang sudah ia siapkan dan menyerahkannya pada Caroline. Setelah tanda tangan selesai, Richard mengamati Caroline dengan tatapan penuh perhatian.

“Jika saya boleh memberi saran,” katanya hati-hati, “jangan biarkan rumah ini kosong terlalu lama. Rumah ini... tempat ini, butuh perawatan dan kehadiran seseorang. Dan... beberapa warga desa mengatakan bahwa Reginald selalu berpesan agar rumah ini tidak dibiarkan sendirian.”

Caroline mengerutkan kening, merasa ada sesuatu di balik kata-kata Richard. Tapi ia hanya mengangguk dan menelan pertanyaannya.

---

Malam pertama di rumah itu tidak berjalan dengan mulus. Caroline tak bisa tidur. Angin malam menyelinap dari celah jendela yang retak, membuat tirai bergoyang pelan seolah ada seseorang yang sedang mengintip dari luar. Suara gemerisik dari lantai atas terdengar samar, membuatnya berkali-kali berpikir ada yang berjalan di lantai kayu yang tua.

Caroline mencoba menenangkan diri. Ini hanya rumah tua, ia meyakinkan dirinya. Tapi rasa dingin yang melingkupinya terasa semakin nyata. Ia pun berjalan menuju dapur, mencari sesuatu untuk diminum agar tubuhnya lebih rileks.

Saat ia menyalakan lampu dapur, pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto tua yang tergantung di dinding. Foto hitam putih itu menampilkan seorang pria tua dengan wajah keras, berdiri di depan rumah yang sekarang dimilikinya. Pria itu tampak angkuh, dengan tatapan yang menembus dan seolah menilai siapapun yang berani menatap balik.

“Jadi ini kakekku,” bisiknya, merasa ada rasa nyeri aneh yang menyelinap di dadanya. Seolah bayangan pria di foto itu masih hidup dan menatapnya dari jauh.

Caroline kembali ke ruang tamu dengan secangkir teh hangat, berharap ini akan menenangkannya. Namun, saat dia duduk di kursi, sebuah suara lembut bergema di telinganya. Bukan suara angin atau desiran dedaunan, tapi lebih seperti bisikan samar yang datang dari sudut ruangan.

“Caroline...”

Cangkir teh di tangannya hampir jatuh ketika ia mendengar namanya disebut. Ia menoleh cepat, namun ruangan itu kosong. Ia mengedarkan pandangannya, berharap ini hanya imajinasinya. Namun, semakin lama, bisikan itu semakin jelas, menggema dalam pikirannya.

“Caroline... selamat datang di rumah.”

Nafasnya tertahan, tubuhnya menggigil. Dia mencoba bangkit dari kursinya, namun tubuhnya terasa berat. Seolah ada sesuatu yang menahannya, mengikatnya di tempat itu.

Sebuah bayangan samar terlihat di ujung ruangan, sesosok siluet yang tinggi dan kurus, dengan mata yang berkilat di antara kegelapan. Caroline menatapnya dengan perasaan takut dan takjub. Sosok itu hanya berdiri, menatapnya dengan mata yang dingin.

Saat dia mengedipkan mata, bayangan itu menghilang, menyatu dengan kegelapan. Caroline menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Mungkin ini hanya kelelahan, pikirnya, meskipun dia tahu jauh di dalam hati bahwa ada sesuatu di rumah ini. Sesuatu yang sudah lama menunggu kehadirannya.

Keesokan paginya, dia menemukan jejak-jejak langkah berdebu di lantai kayu menuju pintu belakang. Dia tahu jejak itu bukan miliknya, karena dia bahkan belum menyentuh bagian belakang rumah.

Dan dari sinilah kisah seram perjalanan caroline dimulai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!