Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Serangan Tawon
Pagi itu, Blokeng bangun dengan rasa semangat yang baru. Setelah melalui malam yang panjang dan banyak kejadian aneh, dia merasa siap menghadapi dunia. Hari ini dia berencana untuk berkumpul dengan teman-temannya di alun-alun, menghabiskan waktu bersenang-senang dan melupakan masalahnya sejenak. Namun, nasib sepertinya tidak berpihak padanya.
Setelah sarapan seadanya, Blokeng bersiap-siap dengan mengenakan kaos kesayangannya dan celana pendek. Dia melangkah keluar rumah dengan penuh percaya diri. “Hari ini pasti seru!” gumamnya sambil melangkah ke alun-alun.
Namun, saat sampai di tengah perjalanan, tiba-tiba dia merasakan gatal di matanya. “Aduh, ada apa ini?” teriaknya sambil mengusap-usap matanya. Ternyata, tanpa disadarinya, sekelompok tawon telah bersembunyi di balik semak-semak. Tawon-tawon itu merasa terganggu dengan kehadirannya dan segera menerkam.
Blokeng panik ketika merasakan sengatan tajam di matanya. “Aaaaaaahhh!” teriaknya ketakutan sambil menggaruk-garuk area yang tersengat. Dalam sekejap, dia merasakan nyeri yang sangat.
“Duh, mataku!” teriaknya, berusaha menghindar dan berlari menjauh dari semak-semak. Namun, tawon-tawon itu seolah mengejarnya, terbang melingkari kepalanya. “Gila! Ngapain sih ini tawon?!” Blokeng berlari dengan panik, menghindar dan melompat-lompat.
Di tengah pelariannya, Blokeng berpapasan dengan beberapa orang yang sedang berjalan santai. Melihat Blokeng yang berlari terbirit-birit, mereka semua melongo. “Blokeng, kenapa?” teriak salah satu temannya, Ardi.
“Tawon! Tawon! Tolong!” jawab Blokeng sambil terus berlari, matanya berair dan nyeri. Suasana menjadi konyol saat Blokeng berusaha menghindar sambil mengangkat kedua tangan di atas kepalanya.
Ardi dan teman-teman lainnya tidak bisa menahan tawa melihat situasi konyol Blokeng. “Kamu lihat dia, seperti orang gila!” ujar Ardi sambil terbahak.
Akhirnya, Blokeng menemukan tempat berlindung di sebuah kedai kopi. Dia masuk dengan terburu-buru, menutup pintu dengan keras. Nafasnya terengah-engah, dan semua orang yang ada di dalam kedai menatapnya dengan bingung.
“Blokeng, kamu kenapa?” tanya pemilik kedai, Mbak Sari, yang sudah mengenalnya lama. Blokeng menjelaskan dengan napas yang masih tersengal-sengal, “Tawon! Tadi ada tawon nyengat mataku!”
Mbak Sari menggelengkan kepala, berusaha menahan tawa. “Ya ampun, Blokeng. Tidak ada yang bisa menolongmu?”
“Saya butuh air dingin! Segera!” teriaknya. Mbak Sari segera memberikan segelas air es dan Blokeng meminumnya dengan lahap, berharap dapat meredakan rasa nyerinya.
Setelah beberapa saat, tawon-tawon itu tampak pergi, tetapi rasa sakit di matanya masih terasa. “Kamu harus hati-hati, ya! Jangan sampai menyerang tawon lagi,” kata Mbak Sari, masih sambil tersenyum.
Setelah mereda, Blokeng keluar dari kedai dan melihat teman-temannya masih berada di sana. “Loh, kamu selamat juga?” tanya Ardi, masih dengan senyum lebar di wajahnya.
“Untungnya!” jawab Blokeng sambil mengusap matanya yang masih terasa perih. “Sekarang kita jadi bisa lanjut ngumpul-ngumpul.”
Dengan semangat yang kembali pulih, mereka semua melanjutkan hari itu dengan cerita dan tawa. Blokeng mungkin sudah mengalami pengalaman aneh dan konyol, tapi dia tahu satu hal: hidup harus terus berjalan meski ada tawon atau rintangan lainnya.
Saat hari semakin sore, mereka memutuskan untuk bermain permainan ringan di alun-alun. Walaupun peristiwa konyol dengan tawon itu masih terbayang di kepala Blokeng, ia bertekad untuk menjadikan hari itu tetap berkesan dengan tawa dan keceriaan.
“Hari ini memang penuh kejutan, ya!” kata Blokeng sambil menatap teman-temannya. “Tapi, kita tetap harus bersenang-senang!”
Semua orang setuju dan kembali bersenang-senang, meninggalkan ingatan tentang tawon yang membuat Blokeng berlari seperti orang gila.
Setelah pengalaman menakutkan dengan tawon yang menyengat matanya, Blokeng merasa murka. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa dia, si preman yang dikenal tangguh, telah dibuat lari ketakutan oleh sekawanan tawon. Murka yang menggelora membuatnya mencari pelampiasan. Dan targetnya kali ini adalah pohon pisang yang tumbuh di pinggir alun-alun.
“Dasar tawon sialan!” teriak Blokeng sambil melangkah menuju pohon pisang. Dia mengepalkan tangannya, menggenggam dengan erat, dan tanpa berpikir panjang, dia melayangkan pukulan keras ke batang pohon pisang itu.
“Duk!” suara keras terdengar ketika tinjunya mengenai batang pohon. Rasa sakit menjalar ke tangannya, tetapi Blokeng tidak peduli. Dia terus melayangkan tinjunya, memukul berulang kali hingga batang pohon itu bergetar dan daun-daunnya berjatuhan.
Orang-orang yang berada di sekitar alun-alun terkejut melihat aksi Blokeng. Beberapa orang menatap dengan bingung, sementara yang lain hanya bisa tertawa melihat kelakuannya. “Blokeng, kamu ngapain sih?!” teriak Ardi, salah satu temannya, berusaha menahan tawa.
“Ini pohon pisang yang mau aku hancurkan! Supaya tawon-tawon itu kapok!” jawab Blokeng sambil tetap memukul dengan semangat. Dia merasa bahwa dengan menghancurkan pohon itu, dia bisa membalas dendam pada tawon yang telah mengusiknya.
“Ya ampun, Blokeng! Yang dihancurkan bukan pohon, tapi tawonnya!” Ardi berusaha menjelaskan, tetapi Blokeng sudah terlanjur emosi. Dia terus memukuli pohon dengan angkuh, seolah-olah itu adalah lambang dari semua ketidakadilan yang dia rasakan.
Setelah beberapa pukulan, batang pohon pisang mulai menunjukkan tanda-tanda kehampaan. Rumpai-rumpai yang tumbuh di sekitarnya pun ikut berjatuhan. “Hah! Ambil itu!” Blokeng berteriak, merasa bangga dengan pencapaiannya.
Namun, setelah merasa cukup, dia mundur dan melihat hasil kerjanya. Pohon pisang itu tampak sangat terpukul, meski masih berdiri kokoh. Blokeng merasakan nyeri di tangannya dan mulai menyadari bahwa dia mungkin telah berlebihan. “Eh, kayaknya ini terlalu,” ujarnya pelan sambil mengusap tangannya yang memerah.
Beberapa orang di sekelilingnya mulai tertawa lepas, melihat tingkah Blokeng yang konyol. “Dah, Blokeng, udah cukup! Kasihan pohonnya!” teriak seorang gadis dari kerumunan, sambil menepuk tangan untuk meredakan tawa.
Melihat kerumunan yang tersenyum dan tertawa, Blokeng merasa sedikit malu. Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mengembalikan rasa percaya dirinya. “Gak ada yang bisa menghentikan saya! Termasuk tawon!” serunya, berusaha mengangkat citranya meskipun rasa malu mulai merayap di hatinya.
Mendengar seruan itu, teman-temannya semakin tidak bisa menahan tawa. “Oke, Blokeng, kita lihat seberapa kuat kamu dengan tawon-tawon itu selanjutnya!” Ardi menjawab, dan semuanya setuju untuk melanjutkan pertemuan mereka dengan tawa dan keceriaan.
Blokeng tersenyum, meskipun hatinya masih mendidih. Dia tahu dia butuh cara untuk melepaskan emosinya tanpa harus menghancurkan pohon atau mencari musuh yang tidak ada. “Baiklah, kita lanjut! Kali ini, kita harus main yang lebih seru!” ujarnya.
Dengan semangat yang baru, mereka beranjak pergi dari lokasi pohon pisang yang porak-poranda. Hari itu menjadi lebih berarti, dan meski pengalaman dengan tawon masih terasa, Blokeng bertekad untuk menjalani hidupnya dengan cara yang lebih baik—tanpa harus mengandalkan kekerasan.
Namun, dalam hati Blokeng, rasa penasarannya tentang tawon-tawon itu tetap ada. “Siapa tahu, ada tawon lain yang menunggu untuk menyerang,” pikirnya sambil tersenyum. “Aku akan bersiap!”
Ketika mereka melanjutkan langkah, suasana alun-alun yang ceria membuat Blokeng merasa seolah tidak ada yang bisa menghentikannya, bahkan tawon sekalipun. Hari itu berlanjut dengan penuh keceriaan dan tawa, dan meski ada kekonyolan, semuanya menjadi kenangan yang tak terlupakan.