Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membangun Jembatan
Pagi itu, Mika terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya muncul ketika ia selesai mengepak kopernya. Ia memandangi kamar hotel dengan perasaan campur aduk—acara reuni yang seharusnya menjadi ajang penuntasan masa lalu, malah menyisakan banyak pikiran di benaknya. Antony, Dara, geng mereka, dan terutama perasaan lama yang tak diduga muncul kembali.
Dengan langkah ringan namun tergesa, Mika mengenakan sneakers putihnya. Ia harus segera kembali ke kotanya. Dua hari berada di kota lamanya sudah cukup menguras waktu dan energi. Bisnis kosmetiknya dan tugas kuliahnya sudah menunggu. Tidak ada waktu untuk larut dalam nostalgia atau urusan masa lalu.
Di perjalanan menuju bandara, Mika memandangi pemandangan kota lama yang berganti di luar jendela mobil. Ingatan-ingatan tentang sekolah, geng Dara, dan Antony berkelebat di kepalanya. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba memaksa pikirannya untuk fokus.
“Aku sudah bukan Mika yang dulu,” ia berbisik pada dirinya sendiri, seperti mantra yang berusaha ia tanamkan. Tapi, rasa aneh yang ditimbulkan dari tatapan Antony semalam sulit untuk ia abaikan. Ada sesuatu di dalam tatapan itu—bukan hanya sekadar penasaran. Seakan ada ketertarikan yang terpendam, dan itu membuat Mika merasa sedikit tidak nyaman, sekaligus… puas.
Setibanya di bandara, Mika menyeret koper kecilnya dan segera menuju counter check-in. Pesawatnya dijadwalkan lepas landas satu jam lagi, dan ia tidak ingin membuang waktu lebih lama di kota ini. Sambil menunggu boarding, Mika duduk di kafe bandara, memesan secangkir cappuccino dan membuka ponselnya.
Saat membuka sosial media dan email bisnisnya, notifikasi bertubi-tubi memenuhi layar. Pesanan produk baru, kerja sama endorsement, hingga tawaran undangan podcast dari beberapa influencer kecantikan.
Namun, di antara pesan-pesan itu, ada sesuatu yang membuat Mika berhenti sejenak: sebuah pesan Instagram dari akun yang tak terduga.
"Antony Donavan: Hey, kau masih mengingatku ?"
Mata Mika membulat sedikit, tak percaya. Antony mengiriminya pesan? Pria yang dulu hanya menjadi khayalan di masa SMA, yang kini menjadi suami Dara?
Tangan Mika terhenti di atas layar. Ia menatap pesan itu cukup lama, merasa ragu. Untuk apa Antony menghubunginya? Apakah ini sekadar basa-basi atau… ada maksud lain?
Dengan cepat, Mika menyusun kata-kata untuk membalasnya. Ia tahu, di balik ketidaknyamanan perasaannya, ini bisa jadi kesempatan. Kesempatan untuk memperlihatkan betapa jauh ia telah berkembang, dan mungkin, untuk memberi pelajaran kepada Dara—musuh bebuyutannya yang kini menjadi istri Antony.
"Tentu saja, Antony. Tak mungkin lupa! Bagaimana kabarmu? Sepertinya banyak yang berubah setelah sekian lama." Mika menekan tombol kirim dengan hati-hati. Ada rasa berdebar yang menyertai pesan itu, campuran antara kegugupan dan rasa ingin tahu.
"Aku membuka bisnis kosmetik dan kuliah jurusan kecantikan. Saat ini, semuanya berjalan baik." Mika mengetik dengan hati-hati, berpikir bagaimana mengarahkannya ke Dara.
"Kecantikan? Tentu saja! Itu sangat cocok untukmu. Selalu mencintai kecantikan dan gaya."
"Terima kasih, Antony. Aku selalu berusaha menjadi lebih baik." Mika menahan senyum, merasakan kepercayaan diri mengalir di tubuhnya. Ini adalah momen yang dia tunggu—momen di mana dia bisa menunjukkan kepada mereka bahwa dia bukan lagi Mika yang mudah dipermainkan.
"Hey, bagaimana kalau kita bertemu lagi? Mungkin kita bisa bicara lebih banyak tentang bisnis atau sekadar catch up. Aku yakin Dara pasti ingin tahu tentangmu juga," Antony mengusulkan, tanpa menyadari bahwa Mika memiliki niat tersembunyi di balik setiap kata.
"Tentu, aku ingin sekali. Bagaimana kalau kita atur waktu?"
Mika menatap layar ponselnya di pesawat dengan tatapan penuh rencana. Tawaran Antony untuk bertemu tidak bisa dia lewatkan begitu saja. Namun, waktunya belum tepat. Dia tahu bahwa jika ingin memanfaatkan situasi ini dengan sempurna, dia harus bersabar dan merencanakan semuanya dengan matang.
"Sayangnya, aku sudah di pesawat sekarang. Tapi aku akan kembali ke kota kalian minggu depan. Mungkin kita bisa bertemu saat itu?" tulis Mika.
Pesan itu ia kirimkan dengan hati-hati, menjaga agar nada percakapan tetap ramah dan menggoda tanpa terkesan memaksa. Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk.
"Tentu saja. Aku akan atur waktunya dan kabari kau nanti."
Mika tersenyum puas. Semua berjalan sesuai rencana. Dia tahu Antony masih menyimpan rasa penasaran terhadap dirinya, dan itulah yang akan menjadi senjata utama Mika.
Setelah penerbangan berakhir, Mika tiba di rumahnya. Apartemen minimalis yang modern itu adalah tempat di mana dia merasa nyaman dan bebas menjadi dirinya sendiri. Segera setelah tiba, ia mengecek email bisnisnya dan memastikan semua urusan berjalan dengan baik selama dia pergi. Roda bisnis harus terus berputar.
Hari-hari berikutnya, Mika fokus pada bisnisnya dan juga kuliah. Namun, di sela-sela kesibukannya, pikiran tentang pertemuan dengan Antony terus menghantui. Dia memikirkan cara terbaik untuk memanfaatkan kesempatan ini bukan hanya untuk memancing Antony, tetapi juga untuk memberi pelajaran pada Dara.
Mika dan Antony semakin intens berbalas pesan selama seminggu sebelum pertemuan mereka. Percakapan mengalir dengan lancar, mulai dari nostalgia masa sekolah hingga obrolan ringan tentang kehidupan mereka saat ini. Antony sering kali menggoda Mika, meski nada pesan itu terasa ringan dan bersahabat.
Namun, Mika tahu betul—ini bukan sekadar pesan biasa. Antony terlihat semakin tertarik, dan Mika memanfaatkan setiap kata, setiap kalimat, untuk menciptakan rasa nyaman dan keakraban. Antony perlahan-lahan masuk dalam perangkap yang Mika rencanakan dengan rapi.
***
Di sisi lain kota, Dara duduk di tempat tidur bersama Antony, menatap suaminya dengan tatapan kesal. Antony tampak fokus pada ponselnya, jemarinya bergerak cepat di layar, seolah mengabaikan keberadaan Dara. Dara menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang semakin memuncak.
“Sayang, kamu lagi ngapain sih main HP terus?” ujar Dara, suaranya sedikit meninggi.
Antony tersentak, seolah baru menyadari keberadaan istrinya. "Hah? Oh, nggak, nggak apa-apa. Cuma cek email sama urusan kerja," jawab Antony sambil cepat-cepat mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di samping.
Namun, Dara tidak mudah percaya. Dia tahu benar suaminya, dan Antony terlihat sedikit gugup. Tatapan Dara yang tajam menyapu wajah Antony, mencari tanda-tanda yang bisa memberitahunya lebih banyak.
"Kerja sampai segitunya? Jam segini masih balas-balas pesan?" Dara melipat tangan di depan dada, jelas tidak puas dengan jawaban Antony.
Antony berusaha tersenyum, mencoba meredakan ketegangan. "Iya, akhir-akhir ini banyak klien. Bisnis kan lagi berkembang."